 |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Cinta
Telah Berdebu
Oleh
Kurnia Effendi dan Ryana Mustamin
Ujungpandang,
1987
Untuk
pertama kali aku menyusuri pantai dengan hati belah. Jajaran perahu nelayan
kehilangan pesona. Panorama senja dan anak-anak pesisir pun menyingkir dari
perhatian. Betapa pun mereka pernah kau himpun dalam rencana idealmu, meski kau
tahu: alangkah susah mengubah nasib yang telah menjadi garis hidup mereka di
perkampungan tepi laut ini.
Kira-kira
di sini, lima tahun silam, mataku memandang punggungmu tanpa sengaja. Aku
mengawasi tanganmu menari di depan kanvas, hanyut oleh ekspresi goresanmu.
Sampai kau menoleh dan terkejut.
“Kau
sungguh berbakat melukis,” ujarku tulus.
Alismu
terangkat, tak percaya. “Aku... aku hanya belajar,” kudengar suaramu gugup. “Aku
hanya memindahkan apa yang kulihat.”
“Tapi
gambarmu hidup,” pujiku sungguh-sungguh.
“Dengan
warna-warna mentah begini?”
“Tentu
karena belum jadi. Nampaknya kau berlatih sendiri, ya?”
“Ya.
Kusadari betul, dalam darahku tak mengalir bakat seni....”
“Kau
berbakat!” sanggahku. “Kau paham tentang lukisan, sayang kalau tak
dikembangkan. Ingin aku memperkenalkanmu kepada Kak Yudhis.”
“Kak
Yudhis? Siapa dia?” Alismu nyaris bertaut.
“Dia
pelatihku di Teater Merah Putih. Juga seorang pelukis yang memiliki sanggar. Kau
bisa belajar melukis di sana.”
“Sanggar?”
Matamu membulat seketika. “Tidak!” gelengmu tegas, membuatku tercengang.
“Melukis
dalam sanggar akan menjadikanku mati rasa. Aku tak bisa menyaksikan matahari
tenggelam, ombak yang pecah, dan burung-burung laut. Aku tak bisa bermain
dengan anak-anak di sini, tidak bertemu belibis. Tidak! Jangan pisahkan aku
dengan semua itu!”
Aku
melihat biasan kaca di matamu. Dalam beberapa detik aku terpana. “Kau... kau
begitu mencintai tempat ini rupanya,” kataku berhati-hati.
Kepalamu
mengangguk.
“Mengapa?”
“Tempat
ini menenteramkan.”
“Hanya
tempat ini?” Tiba-tiba rasa ingin tahuku membuncah.
“Setidaknya
bila dibandingkan dengan rumahku,” suaramu tak acuh.
“Agaknya
kau tidak bahagia di rumah.” Aku sungguh tak pandai memelihara kesabaran.
Kau
menoleh terkejut. Tapi pijar matamu kelam. Lantas kau buang pandangmu ke kaki
langit yang jauh, dan bergumam tak jelas.
“Aku
ingin mendengar ceritamu,” aku penasaran. “Kalau boleh.”
“Tentang
mengapa tempat ini menenteramkan bagiku?” tanyamu.
Kuanggukkan
kepala.
“Karena
laut selalu membuatku tenang. Menerbangkan angan-angan.”
“Kau
pasti suka melamun.”
“Ya,”
sahutmu tak mengelak. “Kalau punya masalah, aku membaginya kepada ombak dan
burung-burung, pada kanvas ini...” Ada kegetiran yang mengalir lewat
pengakuanmu.
“Meskipun
masalah itu akan menyongsongku kembali begitu tiba di rumah.”
“Kau....”
Aku menatapmu lurus-lurus. “Kau menyimpan persoalan?”
“Banyak.”
“Aku
terkejut sekaligus gembira. Tidak setiap orang bisa secepat itu mempercayai
orang lain. Apalagi, belum saling menyebutkan nama. Tapi kau percaya kepadaku!”
“Apakah
persoalan itu menyangkut keluargamu?” tanyaku lebih jauh.
Kau
menoleh, tersenyum pahit, lantas menggeleng tak yakin. Kuhela napasku
hati-hati.
Merasa
sedang menghadapi sebuah 'puisi'.
“Kau
lihat tembok rumah yang tinggi di sana?” Jarimu menunjuk ke dinding yang
menjulang di belakang perkampungan nelayan.
Aku
mengangguk penuh perhatian.
“Itu
rumahku! Rumah yang megah!” Suaramu sinis. “Aku tidak suka tinggal di situ. Alangkah
kontras pemandangan yang dihadirkannya. Beberapa langkah saja dari sana, kita
menemukan gubuk-gubuk kumuh di sini.”
Aku
mengangguk lagi, membenarkan.
“Pernahkah
penghuni rumah-rumah megah itu tahu apa yang terjadi tiap hari di sepanjang
pantai di belakang istana mereka ini?” tanyamu dengan suara emosional.
Aku
hanya diam, termangu oleh satu sinis yang tak ketus.
“Papa
atau Mama tidak ingin tahu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka cuma
tahu kehidupan di tepi pantai lain. Di Akai, Barata, Makassar Golden Hotel, Safari
Park, dan sekitarnya. Mereka menutup mata bahwa di belakang rumah mereka ada
kampung nelayan yang miskin....”
Kuperhatikan
matamu sungguh-sungguh. “Kau memusuhi orang tuamu?”
Kau
tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sesaat matamu melamun, sebelum
akhirnya berkata dengan suara serak. “Aku tak bisa membayangkan daerah ini di
masa depan.”
“Agaknya
kau mengkhawatirkan sesuatu.” Aku menatapmu lunak.
“Tanah
tempat mereka mendirikan perkampungan itu, dulunya adalah laut. Mereka bersusah
payah-payah menimbunnya dengan mengeruk pasir laut. Tahukah kau, ketika mereka
melakukan pekarjaan berat itu seluruh tenaga dikerahkan, termasuk anak-anak
kecil. Tapi, hasilnya bukan tidak mungkin sia-sia. Tanah yang seharusnya milik
mereka tidak dilindungi Undang-undang, akan direnggut oleh orang-orang di rumah
megah itu. Dan bila kelak tergusur, kita hanya akan menyaksikan lagi drama
kemanusiaan yang mengharu-biru.”
Saat
itu, entah berapa banyak kalimat yang hendak kutuangkan tapi tertelan kembali. Aku
hanya mampu memandang wajah ayumu dalam remang petang dengan perasaan ganjil. Aku
ingin memperpanjang perbincanganku denganmu di waktu-waktu berikutnya.
Aku
tahu kamu memandang kecewa menghadapi kenyataan. Mungkin kau 'sakit'. Kau
memandang duniamu hanya hitam dan putih, tentu oleh suatu sebab yang tidak
sederhana.
Di
senja yang lain, kutemui kamu sedang melukis di tempat yang sama. Lukisanmu
senada, dan membuatku bertanya-tanya. “Kau begitu menyukai langit senja,”
usikku.
Tanpa
merasa terganggu, kau menoleh kepadaku. Dalam kanvasmu kulihat ada sapuan
nuansa hitam di bagian langit. Seolah-olah kau tidak jujur merekam objek.
“Lukisan
senjamu....” Kembali aku tak berhasil mengendalikan kesabaran. “Alangkah kelam.”
Kau
agak terperanjat, namun kemudian tersenyum. “Ini bukan lukisan senja. Ini
lukisan kehidupan!”
Ada
dua kalimat yang ingin kulontarkan. Pertama: kamu sudah mampu melukis di
sanggar, jauh dari objek. Tapi aku memilih yang kedua: “Kamu memiliki masa lalu
yang muram?”
“Aku....”
Matamu sedikit panik. “Aku tidak berkata begitu!” Tertangkap nada penyesalan. “Aku
hanya mengibaratkan kanvas sebagai sebuah kehidupan. Kenyataan yang mengikuti
kemana aku melangkah.”
“Itu
yang membawamu ke pantai ini, bukan?” Aku memojokkanmu.
“Kau....”
Suara dan matamu basah. Kau berbalik begitu cepat dengan bahu yang terguncang.
“Tunggu!”
Aku melompat menggapai lenganmu. “Maafkan kelancanganku.”
Bibirmu
bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terucap. Aku menyaksikannya dengan
lara, turut merasa tersiksa. Sejenak kau menyapu wajahku dengan tatapan yang
sulit kupahami. “Terima kasih. Kau telah sudi mendengar cerita tentang kampung
nelayan ini.”
Kau
membereskan kanvas dan cat-cat minyakmu. Memasukkannya ke dalam kotak, lantas
pergi meninggalkanku. Aku tergugu, justru karena telah mendengar sedikit
perihal dirimu.
Tersisa
sesal di dada lantaran pada hari-hari kemudian tak lagi kudapatkan kamu melukis
di pesisir ini. Terus terang aku menemukan inti teater dari pertemuan kita.
Bukan
di sanggar Kak Yudhis. Rasanya aku kepergok sebuah puisi yang sukar, dan
apresiasiku jadi buntu. Selanjutnya, aku bahkan kehilangan puisi kesayangan
itu. Dirimu!
Menantimu
di tempat ini, dalam musik laut tak henti-henti, hatiku bagai digasak badai.
Nyeri sekali. Makin hari rasa kehilanganku bertambah. Harapanku menjumpai
seorang gadis duduk menggambar langit senja, tak kunjung nyata. Barangkali kau
sakit. Atau marah? Sementara, aku tak berani mencarimu ke deretan rumah megah
itu.
Hari-hari
menunggu itu akhirnya mencapai batas sabarku. Kenangan pertemuan denganmu mulai
kulupakan. Hingga suatu hari, ketika kusampaikan surat ke rumah Tante Mei, tiga
tahun sejak kukenal wajahmu.
“Kau...?”
Bulat matamu bagai hendak terlompat. Tapi aku lupa kepadamu. Kudengar suaramu
kecewa. “Kau tidak ingat kepadaku?”
Bagaimana
aku bisa mengingatmu jika hanya dua kali bertemu, juga tidak pernah kutahu
namamu? Tapi kau mengingatku dengan baik!
“Rasanya
aku pernah melihatmu. Tapi di mana?” tanyaku jujur.
Kau
tersenyum. Begitu anggun, dan mau mengerti. “Pernah melihat lukisan kehidupan?”
Ya,
Tuhan! Tak sengaja aku terpekik oleh ingatan yang lengkap. Garis-garis wajah
serta jemari yang dulu selalu kulihat menggenggam batang kuas, membangkitkan
kenangan dengan utuh. Ah, dulu kamu lebih temperamental.
“Kenapa
tidak melukis lagi?” tanyaku kecewa.
“Sebab
aku merasa tidak berbakat. Tiga tahun yang lalu kita masih sama-sama
kanak-kanak. Penilaianmu hanya untuk menghiburku.”
Aku
hendak membantah, tapi matamu yang tajam menahanku.
“Aku
punya bukti!” katamu seraya beranjak ke dalam.
Kau
bawa setumpuk lukisan dari kamarmu dan kau pamerkan kepadaku. Senja Satu sampai
Senja Delapan. Katamu, itu lukisan kehidupan!
“Aku
tak bisa menggambar objek lain.”
“Kau
tidak mencobanya.”
“Sudah.”
“Mana
hasilnya?”
“Kalau
berhasil, tentu aku tak menolak kau sebut berbakat.”
“Apa
yang kau gambar?”
“Manusia.”
“O,”
aku mengangguk. “Bocah-bocah nelayan maksudmu?”
Kamu
menggeleng dan berpaling. “Kamu!”
“Aku?!”
Seluruh isi dadaku rasanya ikut terhampar keluar.
Kau
tersenyum, tenang luar biasa. Sementara aku kalang kabut tapi tak bisa
mengatakan apa-apa. Tiga tahun tak melihatmu, membuatku kehilangan banyak. Kau
jadi lebih dewasa dan pintar menyimpan gejolak. Tidak gegabah, tidak
meledak-ledak. Kau semakin matang, terutama dalam mengungkapkan cinta. Siapa
yang telah mengajarmu?
“Barangkali
pengalaman, Raga.” Tante Mei, adik ibumu, mengatakan kepadaku ketika aku gagal
mengorek cerita dari mulutmu. Kamu terlampau tegar untuk membagi masa lalumu
kepada orang lain. Bahkan, tidak kepadaku: kekasihmu!
“Sasha
adalah anak hempasan badai,” ujar Tante Mei. “Pada usia dua belas tahun, orang tuanya
bercerai. Enam tahun setelah itu pacarnya meninggal karena kecelakaan.”
Dia
pindah kemari ketika sudah benar-benar benci terhadap suasana rumahnya. Dia
anak tunggal yang malang....”
Daun-daun
kering luruh dari ranting di depan jendela. Aku mengawasinya diam-diam. Kalau
saja tidak memiliki kekuatan hati, nasibmu mirip daun yang gugur. Melayang tak
tentu arah.
“Sasha
berusaha melupakan peristiwa pahit itu dengan menyibukkan diri di kampus.
Menjenguk kampung nelayan, bermain dengan anak-anak gelandangan. Mengunjungi
panti wredha atau melukis di kamarnya. Tapi Raga, tak semua orang pintar
menghapua jejak traumatiknya, bukan?”
Pendapat
sahabat ibuku itu benar. Kewajibanku, tentu saja, menyediakan sekeranjang
pengertian. Dan merebutmu dari hari-hari bersama kawan-kawan kecilmu. Karena
aku mencintaimu.
Aku
ingin berbuat apa saja demi kau. Tapi cinta bukan hanya dirasakan, melainkan
juga dimanifestasikan. Aku ingin kita bisa saling mengerti. Aku ingin kamu
membutuhkanku, seperti aku membutuhkanmu. Tapi, bagaimana mungkin bila kau
mampu mengatasi segalanya? Kau hindari bantuan orang lain hanya untuk mendapat
pengakuan bahwa prahara tak membuatmu terbanting.
Berada
di dekatmu, aku tak ubahnya anak kecil. Kau terlalu kukuh dan karib dengan
kesendirian. Sehingga seorang Raga tak lebih dari boneka, hanya teman bercakap
sewaktu kau lepas dari kepungan bocah-bocah pesisir. Dua tahun percintaan kita
berlangsung dengan aneh.
Salahkah
jika aku mengungsikan kecewaku kepada makhluk mungil yang tidak menganggapku
patung? Di depan gadis manja yang mudah merengek, aku menjadi laki-laki sejati.
Ternyata aku membutuhkan seekor burung yang lincah, genit, dan cengeng....
“Maaf,
Sasha, semalam aku absen. Aku menemani Aline mencari perlengkapan busana untuk
pementasan kami minggu depan.” Aku meneleponmu Minggu pagi. “Kamu marah?”
Tawamu
yang lunak terdengar di seberang. “Raga, sebaiknya jangan ganggu konsentrasimu
dengan berpikir macam-macam. Pementasanmu sudah dekat....”
Untuk
kesekian kalinya aku tidak berakhir pekan di beranda rumahmu. Dan aku tetap
gagal membuatmu marah, cemburu, atau merajuk. Hatimu terbuat dari pualam!
Kesabaran
habis. Semula aku ragu akan kesungguhanmu ingin menata langkah yang sama
bersamaku. Lambat laun aku merasa pasti: tak ada rongga hatimu yang patut
kuhuni.
Apalagi
tatkala tangan yang menyalamiku pertama kali seusai pagelaran: bukan tanganmu!
“Selamat,
Raga! Gelar The Best Actor Festival Teater tahun ini ada di tanganmu!”
Aline
menatapku dengan sepasang mata berbinar.
O,
burung prenjak ini sangat memperhatikan aku. Dia laksana oase manakala sedang
kulintasi gurun. Kuraih kepalanya, kucium keningnya di balik panggung. Dan aku mendengar
suaramu.
“Raga.”
Aku
dan Aline menoleh bersamaan dengan sejumlah kaget. Ternyata hanya persoalan
waktu.
Kau
mencari ke belakang layar tentu hendak memberiku selamat. Dengan ketenangan
menakjubkan kau tersenyum, mengulurkan tangan. “Proficiat!”
Suaramu
tidak menyiratkan kemarahan, sementara aku hampir gila mendengarnya. Kau
memandang Aline dengan hangat. “Ini gadismu, Raga?”
“Aline,”
Aline menyambut jabatan tanganmu.
“Aku
Sasha, sahabat Raga.” Kamu tersenyum manis sekali. Aku merasa pita suaraku
tiba-tiba tak berfungsi. “Raga sering cerita tentang kamu.” Kau sentuh pipi
Aline seperti seorang kakak terhadap adiknya. “Jaga Raga baik-baik. Dia nakal,
tapi hatinya baik.” Kau tertawa lembut. “Nah, aku pergi dulu.”
Bah!
Sandiwara macam apa ini?
“Sasha!”
Aku memekik memanggilmu tanpa peduli perasaan Aline. Aku melompat, mengejarmu
dengan hati luluh-lantak. Sungguh mati, aku mencintaimu. Aku mencintaimu,
Sasha. “Sasha!”
Di
pintu gerbang pertunjukan, hanya dingin yang menyambutku. Kulihat sisa penonton
yang menunggu kendaraan pulang, dan sebuah taksi yang tiba-tiba menjauh dari
halaman parkir.
Kakiku
sulit dibawa melangkah, meskipun tahu persis bayangmu ada di balik kaca sedan
yang sedang pergi.
Pada
akhirnya aku mengambil sikap yang amat buruk: meninggalkan dunia teater justru
ketika kuraih gelar terhormat sebagai pemain terpuji. Aku berpisah dengan Kak
Yudhis, yang tentu sangat kehilangan. Aku hanya merasa gagal memelihara sebuah
hati. Hatimu, Sasha! Yang kini menjadi 'Sri Panggung' dalam dimensi yang tak
mengenalku lagi.
Engkau
memainkan teater yang sesungguhnya. Pelupuk matamu menyipit, kadang membara,
atau bahkan menatap kosong tanpa makna. Mulutmu meracau, sesekali tertawa
sedih. Ucapan-ucapanmu semakin jauh, dan tak lagi tergapai oleh akal sehatku.
Tungkai kakiku gemetar.
Hatiku
remuk dan membanjirkan darah. Aku ternyata bukan aktor yang baik. Perasaanku
tak dapat dimanipulasi. Laki-laki akan tertawa dan menangis untuk satu kejadian
saja. Sebab rasa yang dimiliki laki-laki: bugil bagai bayi. Maka aku menangis
untukmu, Sasha. Betul-betul mengeluarkan airmata, yang berjatuhan membasahi
catatan harianmu selama mencintaiku.
Kalau
kelak aku mampu jatuh cinta lagi, barangkali tak sedalam ini perasaanku.
“Kepundan
itu meletus, Raga.” Suara Tante Mei terdengar kering waktu itu. “Dia sudah tak
sanggup lagi memendam lahar!”
Kupandangi
wajah berduka itu dengan putus asa. Aku tidak membutuhkan kalimat penjelasan
serupa itu. Aku justru memerlukan pernyataan dari orang-orang di sekeliling.
Aku butuh keyakinan bahwa kamu, gadisku, bukanlah orang gila!
Astaga,
aku mulai menggigil oleh angin laut yang basah. Matahari sudah lama menghilang.
Suara ombak terus terdengar, seriuh lima tahun lalu. Tapi kini cinta telah
berdebu dan segalanya kurasakan jauh berbeda.
Tak
kumiliki apa-apa lagi di pantai ini, kecuali sebuah kenangan yang menambah
jumlah bersalahku dari tahun ke tahun. Tanpa kau, Sasha, pengembaraan ini jadi
semakin sunyi. Seperti debu yang sendiri.