Oleh
Dewi Lestari
Merayap
pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar sekolah merupakan pelatihan
observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam mikroskop, kecepatan lambat
memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, trotoar yang
hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan penumpang sebanyak-banyaknya,
pedagang kaki lima yang bersesak memepet jalan aspal, dan manusia... lautan
manusia.
Di
balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye.
Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan
Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur
aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua
dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling
mendekati.
Banyak
hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur
dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir.
Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi.
Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput
tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
***
Dalam
keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta.
Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta.
Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan
buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan.
Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus
berganti.
Langit
senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris
tak terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu
kemurnian ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya
tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan
penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang
harus dimainkan dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak:
Langit
senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan.
Dalam
kelima hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak
bersuaka. Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh
berganti, sehat-sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada
keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja,
untuk tertawa lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk
mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit
manusia lain lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua
penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana.
Sungguh
saya tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya.
Pacar-pacar gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan
dunia materi dan sensasi ini. Bahkan, kemacetan bubar sekolah di Jalan Katamso
yang sempit tak mampu membendung cinta ini.