![]() |
BLOGKATAHATIKU/EFFENDY W |
Mengenang Sendok dan Sedotan
Oleh Dewi Lestari
Di tengah sawah dan hotel mewah di Ubud, saat
saya dan beberapa rekan penulis diminta hadir oleh UNAIDS untuk program
pengenalan HIV/AIDS. Saya sempat bertanya dalam hati: adakah titik balik di
mana virus mematikan itu dapat menjadi akselerator kehidupan? Dan “hidup” dalam
konteks ini artinya bukan berapa lama kita bernapas, melainkan seberapa
bermakna kita mampu memanfaatkan hidup, mortalitas yang berbatas ini?
Momen serupa saya alami ketika menghadiri
peluncuran buku almarhumah Suzanna Murni, seorang aktivis HIV/AIDS yang
mendirikan Yayasan Spiritia. Saya terenyak dan terhanyut membaca buku Suzanna.
Pertama, karena otentisitas dan kejujurannya. Kedua, karena Suzanna adalah
seorang penulis yang sangat bagus.
Dan kembali saya merenung, HIV bisa jadi
hadiah terindah yang didapat Suzanna Murni. Dengan mengetahui keberadaan bom
waktu yang dapat menyudahi hidupnya setiap saat, Suzanna menggunakan energi dan
waktunya untuk membangun, membantu, dan berkarya. Sementara kebanyakan dari
kita menjalani hari-hari seperti mayat hidup yang bergerak tapi mati, ada dan
tiada, tanpa makna dan tujuan, tanpa menghargai keindahan dan keajaiban proses
bernama hidup.
Saya lalu kembali dihubungi UNAIDS untuk
menjadi mentor dalam program pelatihan menulis bagi para ODHA. Dan di sinilah
untuk pertama kalinya saya berinteraksi dekat dengan teman-teman ODHA.
Sejujurnya, saya merasa tidak perlu mencantumkan keterangan “ODHA”, yang
seolah-olah memagari mereka dengan saya atau dengan orang-orang lain.
Sama halnya seperti saya merasa tidak perlu
mengatakan “teman-teman leukeumia” atau “teman-teman hipertensi”. ODHA pasti
mati, saya yang bukan ODHA juga pasti mati. Bom waktu itu ada di mana-mana.
Kematian adalah jaminan, sebuah kepastian. Caranya saja yang bervariasi, hasil
akhir toh sama.
***
Di sebuah penginapan di Karang Setra, saya
berkenalan dengan empat peserta program mentoring. Saya mengamati mereka satu per
satu, yang kebetulan semuanya perempuan. Satu bertubuh kecil mungil. Dua
peserta lain posturnya jauh lebih berisi ketimbang saya. Satu sedang hamil, mengandung
enam bulan.
Tugas demi tugas mereka lakukan dengan
cemerlang, bahkan di luar dugaan. Hanya ada satu program yang kami terpaksa
batalkan: menulis di kebun binatang. Pada saat itu isu flu burung sedang
santer-santernya di Kota Bandung, dan demi keamanan kondisi kesehatan mereka,
kami memutuskan untuk tidak pergi. Barulah saya merasakan ada restriksi itu,
kondisi-kondisi khusus yang membedakan ruang gerak kami. Selebihnya, tak terasa
ada perbedaan sama sekali. Di luar dari isi tulisan mereka, tidak ada kesedihan
atau keputusasaan yang terungkap. Tak seperti reklame tentang ODHA yang selama
ini beredar dan mengeksploitasi ketidakberdayaan, terkapar kurus kering
kerontang menunggu ajal.
Saya hanya berkenalan dengan pergumulan
mereka lewat apa yang mereka tulis. Dari sanalah saya mencoba memahami beragam
proses yang mereka lewati dengan HIV, terutama implikasinya terhadap semua yang
mereka kenal, keluarga, teman-teman, kekasih, dan seterusnya. Saat kami
mengobrol langsung, yang ada hanyalah tawa. Dan saya tersadar, kekuatan itu
bisa hadir karena mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. Konseling,
penerangan, aktivitas, dan kebersamaan, dapat menyalakan pelita dalam diri
mereka untuk menjadi kekuatan dan bukan menjadi yang terbuang.
***
Pada malam terakhir pelatihan, salah satu
fasilitator berulang tahun dan merayakannya di restoran di Dago Pakar.
Sebagaimana hari-hari mentoring, kami asyik mengudap sambil menghadap ke lembah
kota yang menyala pada malam hari. Sambil mengobrol dan ketawa-ketiwi, kami
mencicip-cicip makanan dan minuman satu sama lain. Hingga kami berpisah, saya
kembali ke rumah, dan tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi. Sebuah pesan
masuk.
“Mbak, makasih ya buat malam ini. Kami
terkesan sekali Mbak mau berbagi sendok dan sedotan dengan kami, karena ortu
saja belum tentu mau. Terima kasih sudah menambah kepercayaan diri kami.”
Lama saya terdiam, memikirkan apa gerangan
yang telah saya lakukan. Momen sepanjang di restoran itu rasanya berlalu
wajar-wajar saja. Lama baru saya ingat, dalam acara saling coba-cobi tadi, saya
telah menghirup minuman dari gelas memakai sedotan yang mereka pakai, lalu
mencicip es krim dengan sendok yang mereka pakai.
Lama saya termenung, mengenang sedotan yang
sekian detik mampir di bibir saya, mengingat sendok yang sekian detik
menghampiri lidah saya. Betapa hal kecil yang saya lewatkan begitu saja
ternyata menjadi perbuatan besar dan berkesan di mata mereka.
Dan barangkali demikian pula halnya dengan
rangkaian keajaiban dalam hidup ini. Sering kita berjalan mengikuti arus tanpa
sempat lagi mengamati keindahan-keindahan besar yang tersembunyi dalam hal-hal
kecil yang kita lewati. Kita menanti perbuatan-perbuatan agung yang tampak
megah dan melupakan bahwa dalam setiap tapak langkah ada banyak kesempatan untuk
melakukan sesuatu yang bermakna.
Jika saja virus itu tidak ada dalam darah
mereka, perbuatan spontan saya tidak akan berarti. Saya mungkin tidak akan
dikirimi pesan itu, dan saya tidak akan merenungi hal ini.
Pertanyaan
saya di Ubud terjawab dengan sebuah pengalaman. Pada satu titik, virus itu
telah menyentuh hidup saya. Menjadi akselerator kehidupan saya. Bukan untuk
memperlama denyut jantung, tapi mengajarkan saya bahwa hidup itu amat berharga
dan selalu kaya makna, andai saja kita memilih untuk mengetahuinya.
Suzanna Murni tahu hal itu. Demikian pula
para peserta mentoring tadi. Saya hanya berharap mereka terus mengingatnya,
demikian juga kita.
Pesan singkat itu dikirim 13 Mei 2006, dan
masih saya simpan hingga hari ini.