![]() |
KERATON
YOGYAKARTA - Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan terakhir dari semua kerajaan
yang pernah berjaya di ranah Jawa. BLOGKATAHATIKU/IST
|
BLOGKATAHATIKU - Banyak ilmu
pengetahuan yang bisa diperoleh saat mengunjungi Keraton Yogyakarta. Mulai
kebudayaan Jawa, pertunjukan seni, hingga sejarah masuknya kebudayaan lain di ranah
Jawa.
Keraton
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan nama Keraton
Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah
Istimewa (DI) Yogyakarta. Beberapa waktu lalu penulis berkesempatan mengunjungi
tempat ini.
Keraton
Yogyakarta tempatnya berada di tengah-tengah Yogyakarta. Ketika diambil garis
lurus antara Gunung Merapi dan Laut Kidul, maka keraton menjadi pusat dari
keduanya. Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan terakhir dari semua kerajaan
yang pernah berjaya di ranah Jawa. Ketika kerajaan Hindu-Buddha berakhir,
diteruskan kerajaan Islam pertama di Demak, lalu berdiri kerajaan lain seperti
Mataram yang didirikan Sultan Agung. Terakhir, muncul Keraton Yogyakarta yang
sampai sekarang masih menyimpan kebudayaan yang sangat mengagumkan.
Di
tempat ini, wisatawan dapat belajar dan melihat langsung bagaimana budaya Jawa
terus hidup serta dilestarikan. Keraton Yogyakarta dibangun Pangeran Mangkubumi
pada 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya keraton, lantaran tanah
tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari
kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat
gempa besar pada 1867, bangunan Keraton Yogyakarta tetap berdiri kokoh dan
terawat baik.
Mengunjungi
Keraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga, mengesankan, dan
sarat unsur pendidikan. Jika masuk dari Tepas Keprajuritan, wisatawan bisa
memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil, serta melihat koleksi beberapa
kereta keraton. Sementara, jika masuk dari Tepas Pariwisata, maka bisa memasuki
Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton. Di sini, terdapat Bangsal Kencono yang
menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua
tidak jauh. Wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau
naik becak.
Tiket
masuk ke Keraton Yogja sangat terjangkau. Cukup menyisihkan uang sekitar Rp 10
ribu, sudah bisa menikmati hampir semua lingkungan istana yang berdiri megah
dan indah. Petualang diharuskan untuk tidak memakai topi atau kacamata bila
masuk ke lingkungan keraton guna menghormati kebudayaan Jawa. Jam berkunjung ke
keraton untuk Minggu dan hari lainnya dibatasi dari pukul 07.00-12.00 Wib.
Ada
banyak hal yang bisa disaksikan di Keraton Yogyakarta. Mulai aktivitas “abdi
dalem” yang sedang melakukan tugasnya, atau melihat koleksi barang keraton.
Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan
tersebut, baik keramik, barang pecah-belah, senjata, foto, miniatur dan
replika, hingga aneka jenis batik.
Penulis
juga melihat sudut keraton yang lain seperti Kedhaton, yang merupakan tempat
bertemunya raja dengan semua pemangku keraton. Dengan suasana bangunan “joglo”
yang indah, dengan beberapa ornamen ala Jawa-Arab, menghiasi setiap tembok dan
pilar, juga berbagai tanaman rindang, menambah suasana sakral Jawa yang sejuk
dan damai.
Pilar-pilar
yang berjajar sedemikian rupa di Kedathon, menambah gagah dan kuatnya Keraton Yogyakarta.
Beberapa bangunan taman juga menghiasi setiap sudut komplek Kedhaton Keraton Yogyakarta.
Ada yang menarik di kompleks Kedhaton, ketika wisatawan masuk pintu area keraton,
maka akan selalu bertemu para penjaga atau yang biasa disebut Abdi Dalem.
Abdi
Dalem tersebut tidak boleh atau dilarang untuk membelakangi Kedhaton. Ketika
penulis menanyakan alasannya, Abdi Dalem mengatakan Kedhaton merupakan simbol raja.
Di tempat ini, Raja duduk dan begitulah salah satu cara untuk menghormati raja.
Pertunjukan
Seni Khas Jawa
Apabila
datang sekitar 09.00 Wib, wisatawan berkesempatan melihat pementasan tari khas
Jawa. Pagelaran tari-tari Jawa berbagai cerita yang dipentaskan penari andal,
mampu memukau penonton, sehingga terbawa suasana sakral yang sangat
menghipnotis. Diiringi suara gemelan yang mengalun indah, bercampur bait-bait
Jawa, dilantunkan indah pesinden dan warangono Keraton Yogyakarta.
Selain
tari, juga disajikan pentas wayang orang yang sangat menarik. Wayang orang ini
berbeda pentas kebanyakan. Pasalnya, gerakannya hampir mirip gerakan balet.
Pementasan tari Jawa tersebut dilakukan di tempat terbuka, mirip dengan pendopo
keraton, jadi petualang leluasa menyaksikan dari berbagai sudut. Kesempurnaan
dari sebuah budaya jawa, tarian yang indah layak untuk dilihat.
Untuk
menikmati pertunjukan seni, wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Jika
datang pada Selasa Wage, bisa menyaksikan lomba “jemparingan” atau panahan gaya
Mataraman di Kemandhungan Kidul. Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka
tinggalan dalem Sri Sultan HB X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap
peserta wajib mengenakan busana tradisional Jawa dan memanah dengan posisi
duduk.
Pasukan
Bugisan dan Dhaeng
Sejarah
mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan penjajah pada1670-1679, juga
melibatkan prajurit-prajurit Bugis-Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan
Gowa-Tallo, Karaeng Galesong, dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda.
Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sementara Daeng Naba menyusup ke kesatuan
penjajah Belanda, menopang kekuatan Mataram.
Dari
beberapa prajurit keraton, ada dua kelompok dari pasukan tersebut dinamakan
Prajurit Bugisan (Bugis) dan Dhaeng (Daeng) dengan segala atribut yang meraka
kenakan. Yang menarik adalah instrumen musik yang mereka pakai saat prosesi
upacara adat di Keraton Yogyakarta.
Pasukan Keraton Bugisan (Bugis) dan Dhaeng
(Daeng), dalam prosesi adat mengunakan musik yang sudah berbeda dari yang diketahui
dari suku Bugis- Makassar, yakni mengunakan ganrang (gendang), suling, gong,
dan puik-puik (instrumen tiup yang menyerupai suling). Barikade musik pasukan
Keraton Bugis dan Daeng mengunakan instrumen tambur, suling, bende, ketipung, dan
puik-puik.