![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 09
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Suatu
Tempat dalam Kurungan Hening
Satu
Tahun Kemudian
Aditya
tertegun membaca puisi yang didapatinya dalam sebuah majalah. Dan nama penulis
puisi itu makin membuat dadanya bergetar.
Suatu
tempat dalam kurungan hening
jalan-jalan
dengan lampu temaram
keriuhan
menjelma dalam senyap
mengajarkan
hati untuk bersikap sederhana
Kota
telah lelap tertidur
kudengar
suara mendengkur
kututup
buku harianku
bisikkan
merdu di telingaku
Bahwa
tak akan kutemukan lagi
orang
yang pernah kau tinggalkan
oh,
cintaku yang sejati
tangisku
pecah bersama bumi
Syanda!
Kurang
lebih setahun. Ah, nama itu masih begitu lekat di hatinya. Bahkan, menjelang
saat-saat terakhirnya di panti rehabilitasi ini. Beratus-ratus hari lewat
sudah. Aditya membalik kalender yang penuh coretan merah. Begitu banyak coretan
merah yang menandakan ketidakhadiran Syanda.
Dan
hari ini, nama itu sekonyong-konyong kembali berdenyar. Sejak kapan Syanda
menulis puisi? Aditya tahu bahwa Syanda telah pergi jauh. Entah ke mana. Semua
diketahuinya dari Sonya. Namun, hingga detik ini tidak ada sebaris pun SMS terkirim
di HP-nya. Tidak sepotong berita pun terbang ke telinganya sekadar memberitahu
tujuan Syanda mengucilkan diri. Apakah untuk menghindariku? Apakah dia malu?
Aditya membatin gundah.
Beratus
hari di panti rehabilitasi ini membuatnya merasa selangkah lebih dewasa. Dari
Romo Dirgo dia banyak belajar tentang Tuhan. Tentang kebatilan dan kebajikan.
Dan semua itu membuatnya arif, mampu menahan segala rasa yang menghunjam
tatkala Syanda perlahan-lahan mulai berpaling darinya.
Hampir
setahun.
Aditya
menghela napas. Agaknya Syanda tidak menganggap dirinya sebagai bagian hidupnya
lagi. Agaknya Syanda tidak ingat lagi kepadanya. Agaknya semua memang harus
terkubur.
“Selamat
sore, Aditya,” sapa Romo Dirgo.
“Eh,
Romo….”
“Tertarik
pada puisi?”
“Eh,
ti-tidak. Kebetulan penulisnya adalah….”
“Gadismu?”
terka Romo Dirgo.
“Romo
tahu? Ah, dia bukan lagi milik saya….” kilah Aditya dengan mata masih menyimpan
harap.
Romo
Dirgo mengangguk bijak. “Berapa kali Romo bilang, Aditya. Kita ini hanya anak
wayang. Apapun yang terjadi merupakan kehendak Ki Dalang. Dan kamu tahu, siapa
Dalang kita?”
Aditya
mengangguk. Kepalanya menengadah ke atas. Dilihatnya matahari mulai terbenam di
sisi barat. Tenggelam membawa impiannya selama ini. Dibacanya bait demi bait
puisi Syanda sekali lagi, tapi tidak ditemukannya apa-apa. Dia memang tidak
mengerti apapun tentang puisi. Bahkan, puisi yang ditulis Syanda sekalipun.
Baginya,
sikap Syanda selama ini merupakan ultimatum putusnya hubungan mereka. Mengapa
kamu tidak berterus terang kepadaku, Syanda? Sejak dulu masih kusimpan
segalanya. Tapi hari ini, malam terakhir di panti rehabilitasi ini, malam
kebebasanku, kamu tetap tidak datang. Tidak juga kabarmu. Kita telah begitu
jauh, dan aku si tolol ini masih menyimpan segala kenangan yang kita rajut
bersama dulu.
“Saya
telah mengerti, Romo.”
“Bagus.”
“Saya
telah mantap. Terima kasih untuk segalanya, Romo.”
“Bukan
saya, tapi Dia yang di atas sana.” Romo Dirgo menunjuk ke langit.
Dan
sekali lagi Aditya melihat matahari bergerak kemerahan, dan sosok Syanda
sekilas melintas. Seperti melambai. Lantas ikut tenggelam bersama matahari. Ke
ujung barat. Ujung tanpa batas. Ujung yang entah di mana. Ujung yang tidak
pernah dapat terkejar.
***
“Suaramukah
itu, Syan?!” seru Sonya seperti menemukan kembali sahabatnya yang hilang.
“Ya,
ya….” Syanda tertawa tertahan.
“Ya
Allah, kupikir kamu telah….”
“Kamu
pikir aku bunuh diri, ya? Karena kebingungan, begitu?”
“Bukan
itu saja. Aku pikir kamu lebih ketimbang itu….”
“Apa
itu?”
“Aku
pikir, kamu adalah hantu yang mengabariku via HP-ku. Hahaha….”
“Ah,
ada-ada saja kamu ini, Son.”
“Hahaha.
Tapi, aku cukup surprais juga waktu membaca namamu pada sebuah majalah.”
“Puisiku?”
“Ya.
Bahkan majalah itu sempat kuberikan kepada… maaf, kamu jangan marah ya?” Suara
Sonya Melemah.
Syanda
merapatkan ponsel ke telinganya. “Aditya…?” terkanya yakin dengan suara pelan
sebelum Sonya menuntaskan kalimatnya.
“Ya.”
Syanda
menghela napas. Satu tahun memang bukan waktu yang sebentar. Tiga ratus enam
puluh hari lebih telah ditinggalkannya semua yang pernah jadi bagian hidupnya
hanya sekadar membuktikan, siapakah sebenarnya yang paling memaksanya untuk
segera pulang serta siapa yang paling dirindukannya!
Dan
sekarang semua telah terjawab. Untuk siapa dia pergi dan untuk siapa dia pulang
kini….
“Kamu
masih di sana, Syan?” tegur Sonya.
“Ya,
ya. Apa kabarnya Aditya?”
“Baik.”
“Aku
pun telah mengiriminya SMS. Barusan.”
“Bagus
itu. Kamu tahu, belakangan ini Aditya mulai sering menulis dan juga ditulis….”
“Maksudmu?
Menulis puisi seperti aku? Ah, sejak kapan Aditya mengerti soal seni?” seru
Syanda tidak percaya.
“Bukan
puisi, tapi… ah, aku pun tidak mengerti apa namanya. Tapi yang jelas, Aditya
banyak membantu sebuah majalah rohani dalam rubrik tanya jawab. Semacam
konsultasilah. Dia juga mengasuh sebuah kolom di majalah tersebut yang menyerukan
antidrugs!”
“Oya?”
“Ya.
Dan dia juga banyak ditulis di media massa. Semua mata mulai terbuka bahwa
sebetulnya Aditya dulu tidak bersalah. Dia hanya korban drugs semata.”
Syanda
tertegun. Inikah jawaban Tuhan atas doanya selama ini? Inikah jawaban dari
segala penantian dan kesetiaannya? Rasa-rasanya ingin segera dikejarnya kereta
api di Stasiun Solobalapan dan berangkat kembali ke Jakarta. Berkumpul kembali
di tengah orang-orang yang ditinggalkannya. Mama, Papa, Santi, Sonya, Ivan,
dan… Aditya! Semuanya terasa berakhir dengan begitu manis.
“Syanda,
kapan kamu kembali?”
“Besok
sore.”
“Beri
kepastian, Syan. Aku akan menjemputmu.”
“Thank’s.
Oya, sebelum lupa, bagaimana kabar Mama dan Santi?” tanya Syanda.
“Astaga!
Jadi kamu bahkan belum pernah sekali pun mengabari mereka? Kamu keterlaluan,
Syan! Putri durhaka!” Sonya tergelak. “Terkutuklah kamu!”
“Aku
ingin kepulanganku menjadi sebuah kejutan. Untuk semuanya, kecuali kamu karena
aku tahu kamu jantungan.” Syanda mengolok, lalu ikut tergelak.
“Mulai
lagi, nih!”
“Oke,
besok sore aku kembali. Jemput, ya? Salamku untuk Aditya… eh, jangan! Jangan
bilang siapa-siapa, ya?”
“Ehem….”
Di seberang sana Sonya sengaja berdeham.
“Janji,
ya?”
“Iya,
iya. Eh, hati-hati ya, Non. Besok kujemput kamu.”
“Thank’s
ya, Son. Bye.”
Bip.
Syanda
menutup HP-nya. Ditinggalkannya travel kecil samping pondokannya di daerah
Makam Haji dengan dada lapang sembari mengipas-ngipaskan badannya dengan tiket
kereta apinnya. Sesaat ditatapnya langit biru, lalu gugusan rumah sederhana
dengan atap genteng khas penduduk Kota Solo. Kurang lebih setahun diakrabinya
semuanya dalam masa permenungannya. Menyepi, menggali makna hidup ini. Dan
keramahan kota kecil di belahan tengah Pulau Jawa itu telah membantu
menjernihkan pikirannya. Menenteramkan hatinya yang dilanda kegalauan.
Membantunya menentukan siapa yang pantas mendampingi hidupnya kelak.
Cerita
Sonya telah membuncahkan kebahagiaan di hatinya. Inilah akhir cerita lara yang
dirangkainya bersama Aditya. Dia akan minta maaf kepada Aditya atas keraguannya
selama ini. Dan semua orang akan minta maaf kepada Aditya. Atas tuduhan mereka
yang tidak benar sama sekali tentang Aditya yang terlibat dalam penggunaan
narkoba.
Senyum
Syanda mengembang. Semuanya bakal menjadi pelangi.