![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 07
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Sepenggal
Cinta Lain
Hari
terus bergulir bagai roda pedati yang terus berputar. Dan Syanda semakin larut
dalam memori indah hari-harinya yang hilang dulu. Segalanya. Hampir segalanya
ditemukannya dalam diri Ivan. Semua sifat Aditya, tercermin dari sikap dan
tingkah Ivan. Di sana, ada kebahagiaan yang pernah menjadi bagian termanis
dalam hidupnya. Tanpa dia sadari, semua itu semakin melarutkannya. Menyeretnya
lebih jauh ke alam yang sebetulnya semu. Yang sebetulnya sama sekali tidak
diinginkannya.
Senja
itu, seusai menghabiskan seharian waktu JJS di Grand Indonesia, Sarinah Thamrin, mereka
beristirahat di Starbucks.
“Minum
apa?” tanya Ivan pada Syanda sewaktu pelayan datang.
“Cappuccino.”
“Makan?”
Syanda
menggeleng.
“Cappuccino
satu, espresso satu, dan roti cruissant-nya,” ujar Ivan kepada pelayan.
“Kenapa
kamu baik banget sama aku, Van?” tanya Syanda, lebih untuk dirinya sendiri.
“Aku?
Baik sama kamu? Kamu ini lucu.” Ivan tersenyum.
“Ak-aku…
ah maksudku, sebelumnya belum pernah ada orang setulus kamu selain….”
Mereka
bertatapan. Tanpa sadar, sesaat jemari mereka saling menggenggam, namun Syanda
sadar dan cepat menarik-nya.
“Maafkan
aku,” tukas Ivan, seperti tahu apa yang ada di benak gadis di hadapannya.
Seolah tahu bahwa Aditya masih menjadi bayang-bayang baginya.
“Mungkin
aku adalah orang terbodoh di dunia,” keluh Syanda. “Seorang calon psikolog yang
tidak mampu menolong dirinya sendiri.”
“Aditya….”
“Dia….”
“Aku
tidak pernah memaksamu untuk bertindak apapun, Syan.”
“Aku
tahu, karena itu kukatakan kamu adalah satu-satunya orang yang tulus yang
pernah kukenal selain Aditya.”
Ivan
terdiam dengan pandangan menerawang. Ludahnya tiba-tiba memahit.
“Ak-aku
takut dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Tapi, ah… lupakanlah. Bicaraku memang
tidak karuan.” Syanda mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir pikiran yang
sempat melintas barusan.
“Kamu
masih mempertahankan kesetiaan bagi Aditya?” tanya Ivan perlahan. Di matanya
tersimpan berjuta harap cemas.
Syanda
mengangguk. Tapi sesaat kemudian menggeleng. Mengangkat bahunya seperti orang
bingung yang tidak memiliki pegangan sama sekali.
“Aku
tidak tahu,” desisnya.
“Kamu
sedang gundah, Syan. Dan aku tidak pernah memaksamu untuk memutuskan apapun.
Biarlah waktu yang mengatur segalanya….”
“Yang
aku tahu, aku harus menyelesaikan semuanya,” putus Syanda sambil menatap lurus
ke dinding kaca berlogo Starbucks.
“Maksudmu,
kamu akan…?”
“Aku
akan mengosongkan hati dan pikiranku sementara waktu tanpa seorang pun yang
mengganggu.”
“Ja-jadi…?”
“Aku
harus memberi tahu Aditya. Kurasa… ah, bagaimana pendapatmu?”
Percakapan
terhenti sesaat ketika pesanan mereka datang. Syanda mengaduk-aduk
cappuccino-nya tanpa semangat. Sementara Ivan menatap roti cruissant-nya dengan
perasaan hambar.”
“Itu
keputusan yang baik. Tapi, apakah tidak terlalu terburu-buru?”
“Tidak.
Orang-orang benar, aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Masa depanku.”
“Kamu
mencintainya, Syan?” Ivan seolah menuntut jawaban yang pasti.
Syanda
mengangkat bahunya seraya menghela napas berat. “Sejak dulu aku tidak pernah
tahu jawabannya.”
“Kamu
harus membuktikannya.”
“Caranya?”
“Mungkin
dengan tidak menemuinya untuk sementara waktu. Atau… ah, aku bingung!”
Syanda
tertawa dengan mimik paksa. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin jalinan kehidupannya
yang terasa kian rumit dari hari ke hari.
Mereka
menghabiskan minuman dan makanan tanpa banyak bicara. Ketika mendung memayungi
bumi, mereka beranjak meninggalkan Starbucks. Di luar, senja mulai basah oleh
gerimis.
Syanda
menerawang.
Dibiarkannya
Ivan memakaikan jaketnya dan menggandengnya menuju mobil. Perhatian dan
kesabaran Ivan semakin membuatnya terjerat. Semakin mendilematisasikannya
terhadap dua pilihan yang sama-sama sulit.
Aditya
adalah bagian dari hari-harinya yang dulu. Dan Ivan….
“Ke
mana sekarang?” tegur Ivan ketika mobil mulai melaju meninggalkan pelataran
parkir.
“Ke
mana lagi? Sudah seharian kita jalan-jalan, atau apa kamu mau bawa aku ke
bulan?” canda Syanda.
“Mungkin.
Ke mana saja, asal kamu tidak bermuram durja begitu.”
Sekilas
dirasakannya tangan Ivan membelai pelipisnya. Ah.
“Hentikan
segala kebaikanmu ini, Van,” desahnya perlahan.
Sungguh.
Dia tidak ingin mengkhianati Aditya.
***
“Aku
mendapat SMS dari Aditya,” lapor Syanda kepada Sonya melalui horn di HP-nya.
“Oya?”
“Ya.
Dan aku butuh pertimbanganmu.”
“Apa
yang ditulisnya?”
“Antara
lain, dia kangen. Dia bingung karena aku tidak membesuknya lagi. Dia bertanya
tentang banyak hal.”
“Jadi,
kamu benar-benar sudah tidak pernah mengunjunginya lagi?” pekik Sonya tertahan.
“Gila kamu! Sebuah revolusi yang tidak pernah kuduga sebelumnya.”
“Kini
aku harus memutuskan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh.”
“Dengan
Ivan?”
“Ah,
Sonya. Antara aku dan Ivan tidak pernah ada apa-apa. Bagiku, dia adalah dewa
penyelamat. Aku tidak pernah berani membayangkan lebih dari itu.”
“Lalu,
apa rencanamu?”
“Aku
akan membalas SMS-nya, atau mungkin mendatangi Aditya dan menceritakan
semuanya. Kurasa, keterusterangan lebih baik sekalipun kelihatannya
menyakitkan. Aku tidak mau membohongi Aditya.”
“Kamu
masih mencintainya, Syan? Soalnya, aku merasakan hal itu dari ucapanmu.”
“Cinta?
Ak-aku….”
“Sudahlah….”
Sonya tidak mau peduli. Dia sadar benar kalau Syanda masih menyimpan perasaan
cintanya untuk Aditya.
“Jadi,
menurutmu, apakah aku harus juga memberitahu Ivan?”
“Ya,
kalau prinsipmu adalah keterbukaan. Tapi, hei… kamu kan tidak mengatakan bahwa
kamu mencintai Ivan?”
“Son,
please. Berhentilah mengucapkan kata ‘cinta’,” pinta Syanda.
“Oke.”
Sonya tertawa.
“Tapi,
Son, aku ragu. Aku takut perbuatanku hanya akan menambah luka hati Aditya. Kamu
kan tahu, selama ini semua orang telah meremehkannya. Meninggalkannya. Apa
jadinya kalau aku pun, orang yang paling dipercayainya, ikut berpaling dari
dia?”
“Syan,
kamu kan tetap temannya. Hanya, ikatan yang ada di antara kalian kini agak
renggang. Tidak serapat dulu. Jelaskanlah kepadanya. Kamu kan, calon
psikolog….”
Syanda
menghela napas panjang.
“Masih
ada lagi?” tanya Sonya.
“Tidak.
Thank’s.”
Syanda
mematikan HP-nya. Hatinya berdebar. Dia harus membenahi kehidupannya sendiri. Dia
tidak selamanya harus bergantung pada kesetiaannya menanti Aditya. Dan
membiarkan hidupnya sendiri porak-poranda. Selama ini orang-orang ternyata
benar, hanya dia yang kelewat sentimentil. Menutup mata dan telinganya
rapat-rapat sehingga dibutakan cinta.
Pikirannya
melayang kepada Ivan. Ataukah, keputusan ini datang karena ada Ivan? Karena ada
yang menjanjikan hari baru? Mungkin dia akan membiarkan waktu mengatur
segalanya. Seperti kata Ivan, believe in time.
Maafkan
aku, Dit. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita. Syanda membatin. Setelah itu
dia lalu mengacungkan cangkirnya tinggi-tinggi seolah menyalami Aditya sebagai
tanda perpisahan. Lalu meneguk cappuccino-nya sampai tandas.
Dibacanya
kembali penggalan SMS Aditya yang diterimanya siang tadi.
Syanda,
Maafkan
aku kalau sikap dan kata-kataku tempo hari menyakiti hatimu, membuatmu
tersinggung. Aku tahu, prahara inilah yang menyebabkan keretakan di antara
kita. Kerenggangan, ketidakdekatan kita, memang membuat kita masing-masing
asing dan berubah.
Dan,
aku yang seolah terpenjara kini hanya dapat merenda impian indah bersamamu.
Bertemu denganmu, adalah anugerah yang terindah dalam hidupku kini. Namun aku
sadar, sadar sepenuhnya untuk tidak terlalu menuntut banyak darimu. Sebab, aku
tahu banyak hal yang dapat membahagiakanmu di luar sana ketimbang mengharap
pemuda ringkih tanpa daya yang mendekam di panti ini.
Aku
mafhum kalau kamu sekarang lebih memilih renjana indah. Bukannya renjana tak
berujung dalam sarat beban penantian yang panjang. Lupakanlah aku, Syanda!
Lupakanlah masa lalu kita berdua. Aku ikhlas melihatmu berbahagia dengan siapa
pun yang dapat membahagiakanmu. Jangan tunggu aku lagi, sungguh pun aku rindu
kabarmu, wajahmu, suaramu. Segalanya. Segalanya tentang kamu!
Tuhan
beserta kita.
Salam
sayang,
Aditya
Syanda
kembali menghela napas panjang. Dia harus sesegera mungkin menemukan jawaban
hatinya. Dia untuk siapa. Lalu, diputuskannya hengkang dari Jakarta. Mungkin
pada sebuah tempat nun jauh di sana, dari setiap permenungan yang dijalaninya,
dia dapat menemukan jawaban.
Ada
butiran hangat sebesar bulir padi yang masih mengalir di pipinya. Kepalanya
memberat. Dia merasa pening tiba-tiba.