![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 05
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Masih
Ada Damba yang Tersimpan
Halo.”
Syanda menyambut gagang telepon yang diberikan Santi kepadanya.
“Halo
juga, Non. Masih ingat saya?”
“Maaf.
Tidak. Ini dengan siapa, ya?”
“Nimo.
Geronimo Panggabean. Masih lupa? Atau, perlu keterangan lainnya? Hahaha... apa
kabar, Syan?”
Cowok
bersuara bariton di seberang sana terdengar tertawa. Dan saat itu baru Syanda
teringat. Tawa Nimo mengingat-kannya pada masa-masa silam. Masa SMA-nya.
“Astaga!
Apa kabar, Nimo?”
“Baik.
Kamu sendiri?”
“Baik.”
“Masuk
psikologi, ya?”
“Kok,
tahu?”
“Santi
yang cerita.”
“Oh.
Kamu sendiri?”
“Aku
ambil komputer di San Fransisco. Sedang liburan, kembali ke Jakarta.”
“Welcome
back, kalau begitu.”
“Thank’s.
Hei, Kamu sekarang sombong, Syanda. Tidak pernah menelepon. Tidak pernah
mengabari aku lagi. Sampai-sampai aku harus mencari tahu kabarmu lewat
teman-teman SMA dulu,” ujar Nimo dengan nada suaranya yang khas. Keras.
“Ah….”
“Bagaimana
kabarnya, Aditya?”
“Ba-baik!”
Syanda terbata.
“Aku
turut... turut apa, ya? Mendengar kabar Aditya masuk panti rehabilitasi, aku
ikut prihatin. Sungguh Syan, aku tidak nyangka Aditya seburuk itu. Aku....”
“Sudahlah!”
penggal Syanda jengkel. “Kalau kamu hanya menelepon untuk membicarakan
kejelekan Aditya, lain kali saja!”
“Oh,
maaf. Tunggu dulu, Syan. Aku hanya....”
“Semua
selalu menuduh Aditya yang bukan-bukan. Aditya yang salah, Aditya yang buruk,
Aditya yang junkies. Lalu buntut-buntutnya aku yang bodoh, yang mau saja
menanti cowok bengal tukang teler yang sudah tidak punya masa depan lagi!” seru
Syanda dengan isak tertahan.
“Syanda....”
“Beratus
kali sudah kukatakan kepada semua orang. Aditya tidak bersalah. Dan aku juga
tidak salah menanti dia. Kesetiaanku selama ini bukanlah sesuatu yang tolol dan
sia-sia. Kamu dengar itu?!”
Klik.
“Hallo!
Hallo! Syan, Syanda...!”
Tapi
Syanda telah membanting gagang teleponnya. Menuntaskan setiap percakapan
tentang Aditya. Tentang kebodohan dirinya. Tentang penantiannya yang terasa
sia-sia. Penantian yang tak berujung.
Benarkah
tindakanku ini? Syanda bertanya kepada dirinya sendiri. Ditatapnya bayangan
dirinya dalam cermin besar bufet di muka pesawat telepon. Ada seraut wajah
tirus dengan sepasang mata sayu di sana.
Aditya
telah pergi membawa hari-hariku. Akankah dia kembali? Haruskah kutunggu dia dan
kubiarkan diriku sendiri hancur oleh penantian dan kerinduan yang sarat? Tidak
bolehkah aku sedikit memikirkan diriku sendiri? Membenahi hatiku yang
porak-poranda dan menata kembali hari-hariku? Mencari secuil keceriaan, tawa,
dan semangat dari orang lain?
Sekilas
seraut wajah melintas di benaknya. Ah, Aditya! Akankah semua usai dan berganti
dengan hari-hari yang indah seperti dulu lagi?
***
Ruang
tunggu di panti rehabilitasi ‘Nusa Bangsa’ masih sama seperti minggu-minggu lalu.
Dua minggu sudah Syanda alpa menjenguk Aditya.
“Apa
kabar?” sapa Aditya agak kering.
“Baik.”
“Lama
tidak kemari....”
“Kamu
marah?” tanya Syanda hati-hati.
Aditya
menggeleng. “Tidak ada yang salah. Kamu berhak merasa jenuh....”
“Aku
tidak jenuh, Dit. Hanya... hanya saja kuliahku menuntut waktu yang agak banyak.
Kamu tahu sendiri, beberapa waktu lalu nilaiku jeblok semua. Kini aku tengah memperbaiki
segalanya. Memulai lagi dari awal, sendiri tanpa kamu. Kamu mengerti, kan?”
Aditya
mengangguk. “Aku sudah banyak menyusahkanmu, ya?” bisiknya lembut, menepuk
punggung tangan Syanda dengan lembut. Ada getar rindu yang tercetus di sana.
Syanda
menggeleng.
“Aku
tidak memaksamu datang setiap minggu. Sungguh. Kalau kamu mau, kamu boleh tidak
datang. Kalau kamu sibuk... ah, siapalah aku ini! Aku mulai terbiasa berkawan
dengan sepi, kok!”
“Jangan
ngomong begitu, Dit! Siapa bilang aku enggan datang? Aku sasama sekali....”
“Tidak
ada pemaksaan....”
“Siapa
bilang aku merasa terpaksa?”
“Lho?
Kenapa kamu jadi mudah tersinggung seperti ini, Syan?” tanya Aditya agak
terkejut.
“Aku
menyempatkan diri datang dengan maksud mendengar ceritamu. Untuk menceritakan
apa yang terjadi kepada diriku selama ini. Untuk melepas rindu, tapi kamu malah
menuduh yang bukan-bukan. Kamu bilang, aku bosan. Aku jenuh. Aku enggan.
Apa-apaan sih, ini?” pekik Syanda kecewa. Padahal, dia merasa sudah cukup
banyak berkorban untuk Aditya. Airmatanya mulai menitik.
“Syanda...!”
“Aku
tidak mengerti, Dit! Kamu seperti tidak peduli, betapa sulitnya aku menghadapi
situasi di luaran. Aku sendiri dikecam banyak orang. Bahkan, Mama dan Santi pun
ikut-ikutan mengecamku. Mengatakan aku bodoh, menanti sesuatu yang tidak
pasti.”
“Jadi,
kamu mulai bimbang?”
“Ak-aku
tidak bimbang. Kekenapa kamu menuduhku yang bukan-bukan. Kamu bilang aku bosan.
Aku jenuh. Aku....”
“Sudah,
Syan. Cukup!” potong Adit tandas. “Kalau kamu datang ke sini hanya untuk
memaki-makiku, kamu boleh pulang sekarang!”
“Aditya!
Ka-kamu...!”
Aditya
melepaskan genggamannya. Dibuangnya pandangannya jauh ke taman panti. Cepat
atau lambat, dia telah menduga hal ini akan terjadi. Sebenarnya dia telah
mempersiapkan diri sejak awal dia direhab di panti ini. Dia sudah menyiapkan
dirinya untuk kemungkinan ini. Kemungkinan yang paling buruk. Dia sudah siap
untuk ditinggalkan. Karena selama ini memang semua telah meninggalkannya.
Ayahnya, Ibunya, bahkan Syanda pun kini mulai bimbang. Mulai ragu. Mulai
menjauhinya.
“Dit,
aku....”
“Sudahlah,
Syan. Maafkan kata-kataku yang kasar tadi....” Aditya mengusap wajahnya seolah
mengusir galau yang berkecamuk di benaknya.
“Aku
maklum. Kamu kesepian di sini, Dit. Tapi, kamu juga harus mengerti keadaan dan
penderitaanku di luar....”
Aditya
mengangguk-angguk. “Aku mengerti semuanya. Aku juga mengerti kalau kamu mulai
merasa penat dengan penantianmu....”
Syanda
tercenung. Penatkah dia? Sejauh ini dia masih berusaha untuk bertahan terhadap
janji-janjinya. Bahwa menanti Aditya bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bahwa
kesetiaannya selama ini tidaklah percuma.
Tapi
kini....
Sesaat
mereka bertatapan. Berpelukan. Tapi rindu tak juga turut. Masih ada damba yang
tersimpan. Entah sampai kapan....