![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Sepenggal
Kenangan Edelweiss (03)
Oleh
Effendy Wongso
Kuta
di senja itu
menjingga
dalam kenangan
sayang
indah urung mengurai senyum sang jelita
Aku
terempas
adakah
pendar horizon serupa lentera
sebagai
penerang temaram hati?
Tak
tahu!
begitu
katanya
lalu
kutengok edelweiss dalam bisu
ia
telah berdialog dengannya
tentang
dua hati nan terkoyak
aku
terlentang mati karenanya
—Nita
pada Suatu Senja
Malam
di Denpasar sudah mengembuskan atmosfer sedingin es ketika Asep datang
membisiki saya. Katanya, gadis itu kelewat introver. Gadis berkulit putih itu
merupakan salah satu bidadari. Namanya Nita, Nita Vega Pramana. Dan setelah
tujuh hari bersama menyusuri trip asyik Jawa-Bali bersama anak-anak satu kelas,
saya baru menyadari kalau gadis teman sekelas saya itu memang sering menyendiri
dengan wajah murung.
Dalam
rombongan tur perpisahan kelas kami, memang ada dua puluh tiga bidadari.
Bidadari di sini tentu merupakan artifisial. Bukan para dayang dari istana
langit seperti yang termaktub dalam serangkaian dongeng kanak-kanak. Yang
memiliki kecantikan paras seindah berlian dan permata berkilau dari nirwana.
Sama sekali bukan. Tapi yang dimaksud adalah dua puluh tiga siswi biasa SMA
Regina Pacis yang masing-masing, memiliki kepribadian, karakter, dan watak
sendiri-sendiri.
Sepasang
mata indah itu tampak menekuri lantai hotel. Seperti mengamati alur-alur
lantai, menghitung partikel garis akibat gesekan sepatu pada ubin porselen
bermotif kembang keramik.
Asep,
sang Koordinator tur juga sempat bilang, kalau dia kasihan melihat anak itu.
Ekstrim dia bilang, takut terjadi apa-apa dengan gadis berwajah pucat itu.
Pembawaannya diam melulu. Bicaranya hemat energi. Hanya, ya dan tidak. Plus gelengan
atau anggukan!
Dan
tentu Asep punya alasan untuk mengkhawatirkan kondisi yang tidak mengenakkan itu.
Tentu saja. Bukan apa-apa sebenarnya. Tapi, seandainya terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan terhadap salah satu rombongan peserta tur, maka dialah yang
pertama-tama digorok oleh pimpinan pihak travel di Jakarta!
Makanya,
dia mendekati dan menceritakan perihal kelakuan ganjil Nita kepada saya. Saya
langsung mengangguk paham. Untuk menyelami dasar hati gadis serupa arca itu,
Asep tentu angkat tangan. Dan dia menyerahkan tugas moral itu kepada saya.
Katanya, masalah gadis itu adalah level kawula muda. Sebab dia yang nyaris
berkepala empat itu sudah tidak sinkron lagi kalau masuk ke dalam dunianya
remaja.
“Saya
serahkan Nita sama kamu, Wong. Kamu kan ketua kelas. Ya paling tidak kamu bisa
mimpin anak-anak!”
Setelah
menyerahkan tugas itu kepada saya, dia tampak sumringah dan dapat tertawa lagi
seperti biasa. Bercanda dengan peserta tur cowok lainnya, yang saat itu sedang
asyik bermain gitar dan gaple.
***
Saya
dekati gadis pendiam itu. Duduk di sampingnya. Berdeham untuk menarik
perhatian. Dia hanya mengangkat muka sekilas. Lalu mulai menundukkan kepalanya
lagi.
“Tidak
gabung sama teman-teman?”
Saya
bertanya, lebih sekadar berbasa-basi. Entah harus ngomong apa dengan gadis
serupa arca ini. Tentu sulit mencari kalimat yang tepat untuk mengajaknya
berdialog. Jadi, saya hanya melantunkan kalimat klise tadi.
Dia
menggeleng.
Saya
lihat sekuntum edelweiss berpot wadah bekas sabun colek di atas meja tamu kamarnya.
Pasti miliknya. Bunga yang tumbuh di daerah dingin itu sebenarnya tidak terlalu
indah di mata saya. Lain halnya kalau mawar atau anggrek. Tapi meski tidak
seindah bunga-bunga hias, edelweiss merupakan bunga langka yang banyak diminati
orang. Selain karena jarang, bunga tersebut juga memiliki nilai histori sendiri
di kalangan pecinta bunga.
“Punya
kamu?”
“He-eh.”
“Dapat
dari mana?”
“Beli
sewaktu di Bromo.”
“Kamu
suka edelweiss, ya?”
Dia
mengangguk.
“Padahal,
gadis-gadis sih biasanya senang sama mawar.”
Dia
membisu. Masih duduk di sofa hotel dengan wajah menekuk. Saya sedikit rikuh
dengan kelakuannya yang laten serupa arca. Saya menggaruk kepala tanpa sadar.
Mencari kalimat tepat untuk tetap mengajaknya buka suara. Saya tidak ingin dia berkubang
sendiri seperti muno.
Padahal,
kedua puluh dua bidadari lainnya sudah berkumpul seperti biasa. Menebar jala
gosip khas nona-nona metropolis. Apalagi kalau bukan soal dunia lawan jenis
pemikat sukma alias cowok-cowok keren, yang bisa dijadikan tongkrongan kebanggaan
suatu waktu.
“Ada
stori dengan edelweiss, mungkin?”
“Tidak
juga. Tapi….”
“Apa?”
“Kata
orang, edelweiss merupakan lambang kelanggengan cinta ya, Wong?”
Saya
tersenyum. Gadis ‘bisu’ itu sudah mulai buka suara. Saya cepat-cepat
mengangguk, mengiyakan kalimatnya barusan. Tentu saja. Sebelum dia kembali
mengikat mati simpul bibirnya. Diam dan membisu sejuta bahasa.
“Kata
orang pula, kalau seseorang menyimpan beberapa helai bunga edelweiss di dompet,
maka biasanya mereka akan enteng jodoh. Juga awet dengan pasangannya sampai
tua.”
“Mungkin.”
“Kok
mungkin sih, Wong?”
“Memangnya
kenapa?”
Saya
pancing dia untuk melontarkan kalimat.
“Maksud
saya, edelweiss ini kan….”
Kena!
Saya
sudah berhasil menggetarkan pita suaranya untuk melantunkan dialog. Dia menatap
saya dengan rupa heran. Sepasang alisnya bertaut, menggambarkan keingintahuan.
Memang
itulah yang saya harapkan!
***
“Saya
kira hal itu hanya sugesti.”
“Sugesti?!”
“Ya.”
“Maksud
Wong, sugesti….”
“Sugesti
adalah metafora, di mana sesuatu hal atau benda dianggap dapat memberikan nilai
makna atau tujuan kepada seseorang. Misalnya jimat, bebatuan bertuah,
mantra-mantra, dan lain sebagainya. Nah, termasuk edelweiss ini juga!”
“Oya?”
“Ya.
Penggambaran edelweiss sebagai bunga keabadian kisah asmara, tidak terlepas dari
persepsi yang melegenda. Soalnya, bunga edelweiss tidak mudah ditemukan di
sembarang tempat. Edelweiss tumbuh di tempat yang paling terpencil. Biasanya di
lereng-lereng bukit yang terjal. Tidak mudah digapai tangan-tangan jahil. Nah,
kalau kita bicara soal kata terpencil, di mana sih daerah terpencil pada
manusia selain hati?”
“Hm,
maksud Wong….”
“Edelweiss
itu hanya simbol penggambaran cinta sejati. Cinta abadi seseorang kan berasal
dari lubuk hati, mirip dengan tempat tumbuhnya edelweiss di lereng-lereng
terpencil.”
“Oo,
jadi hanya sugesti ya, Wong?”
“Tentu
saja. Kalau bukan sugesti, setiap orang yang menyimpan edelweiss di dompetnya
pasti memiliki pacar yang tidak bakal selingkuh. Bapak-bapak tidak ada yang
berpoligami. Hahaha….”
Saya
terbahak.
Gadis
itu tersenyum.
“Eh,
Nita kok pendiam sekali sih? Apa yang dipikirkan, sih?”
“Ti-tidak.”
Dia menggeleng dengan leher getas. “Tapi, sayang dong kalau edelweiss itu hanya
sugesti!”
“Maksudmu?”
“Sebetulnya,
dengan edelweiss ini saya berharap Papa dan Mama saya bisa rujuk kembali di
Jakarta!”
“Ya
ampun, Nit! Jadi….”
“Orang
tua saya baru saja bercerai, Wong!”
“Pantasan
kamu….”
Saya
terkesiap. Sedikit merasa menyesal telah secara tidak langsung menguakkan
kembali kisah suram keluarganya yang lantak. Tapi saya memang tidak sengaja.
Saya prihatin. Sangat prihatin. Pantas gadis itu seperti tidak memiliki
semangat hidup.
“Saya
memang bodoh ya, Wong! Mau percaya….”
“Tidak,
Nit!”
“Tapi….”
“Kamu
jangan bilang begitu.”
“Sa-saya….”
“Kamu
tidak salah berbuat begitu demi kebaikan orang tua kamu. Tapi alangkah baiknya
kalau setiap hari kamu berdoa, supaya orang tua kamu dapat rujuk kembali. Itu
lebih bagus ketimbang bersugesti dengan legenda edelweiss.”
“Saya….”
“Saya
turut prihatin atas prahara yang menimpa keluargamu. Tapi, saya harap kamu
jangan terlalu sedih. Saya kira semua itu hanya cobaan hidup buat kamu!”
Saya
lihat mata gadis itu berkaca-kaca. Sepasang tangannya yang lampai menyentuh
bunga-bunga edelweiss di atas meja. Seperti mengusap helai-helai berwarna putih
gading edelweissnya.
“Ta-tapi
bunga-bunga ini….”
“Simpan
di kamarmu sekembali ke Jakarta. Saya yakin, edelweiss itu pasti akan membuat
ruang kamar kamu jadi lebih cantik.”
***
Denpasar
tujuh pagi. Masih terlalu pagi sebenarnya untuk memulai perjalanan. Saya
lunglai. Berdiri di hadapan taksi dengan sikap gugu. Perjalanan ini merupakan
pertemuan terakhir saya dengan teman-teman sekelas lainnya. Tiga tahun kami
bersama dalam suka dan duka. Ada saatnya memang kami harus berpisah. Memilih
jalan hidup kami masing-masing setelah menamatkan pendidikan di SMA Regina
Pacis.
“Wong,
mampir-mampir ke rumah ya?” Yanthi menjabat tangan saya.
“Jangan
lupakan Lina ya, Wong kalau sudah di negeri orang!” Herlina berteriak dari
dalam bis.
“Awas
lho Wong, kalau tidak mampir ke rumah saat pulang ke Jakarta!” teriak Viona
menongolkan kepalanya keluar jendela, lalu melambai antusias. “Sering-sering
SMS, ya?”
Saya
mengangguk. Langkah saya memberat ketika Asep sudah mendesak agar segera
berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Telat satu jam berarti saya harus ketinggalan
pesawat.
Pagi
itu semuanya seperti membisu. Saya melambai, masih berdiri mematung di samping taksi yang akan mengantar saya ke bandara. Di halaman hotel, bis pun sudah siap
mengantar rombongan tur kembali ke Jakarta. Saya tidak ikut pulang ke Jakarta,
karena via udara langsung ke Singapura untuk mengikuti tes masuk ke Katong
Convention High School, salah satu perguruan tinggi jurnalistik di sana.
Saya
lihat Nita masih menundukkan kepalanya seperti biasa. Dia tidak berkata apa-apa
tanda pamit. Saya hanya lihat matanya yang membasah. Saya tahu dia sedih. Sedih
sekali. Sayang saya tidak punya cukup waktu untuk menghiburnya. Saya hanya bisa
berdoa, semoga prahara keluarganya lekas berlalu.
“Wong,
jaga diri baik-baik!” teriaknya akhirnya dengan suara parau.
Saya
mengangguk. Nyaris meneteskan airmata haru. Tapi saya cepat-cepat berbalik,
lalu masuk dan duduk ke dalam taksi.
Perjalanan
dan singkat hari-hari kebersamaan memang membawa kenangan yang dalam. Di dalam
taksi yang melaju kencang menuju bandara, saya sudah tidak kuasa menahan
airmata yang menyeruak. Barangkali saya terlalu cengeng dengan akhir euforia
ini. Barangkali juga saya telah jatuh hati kepada Nita.
Ah,
entah kapan saya dapat bertemu, dan merangkai cerita indah bersama gadis itu
lagi.
SELESAI