![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Sepenggal
Kenangan Edelweiss (02)
Oleh
Effendy Wongso
Lautan
pasir menenggelamkan aku
dalam
kata-kata tanpa suara
Ia
hadir menghampar
mengeksistensi
keberadaan Isvara
Bromo
sekuntum
edelweiss
sepasang
kuda hitam dan putih
jejak-jejak
kaki para sakai
adalah
embusan lafaz
yang
ditiupkan dari Svargaloka
kita
memang hanya setitik pasir
—Karya
Isvara
Bromo.
09.07 AM.
Wanita
yang kami sebut Mami itu sekarang sudah mulai melunakkan amarahnya. Sekarang
dia tidak lagi ngambek diaman. Banyak hal bagus terlewatkan bila sepanjang
perjalanan hanya membatu. Di gigir puncak Bromo dia malah mulai berkelakar.
Pranata yang membentang tergebah jauh-jauh. Interaksinya sebagai seorang ibu
yang bersahabat telah merajut ikatan dalam lembar keharmonisan. Sebagai tetua,
pemimpin, sekaligus teman yang menyenangkan. Dan dengan cepat mengadaptasi terhadap
peserta tur yang didominir kaum muda.
“Pemandangan
di sini bagus dijadikan lokasi untuk cerpen-cerpenmu, Wong,” usul Mami begitu
dia melihat saya mulai mencatat nama lokasi di buku catatan kecil saya.
Kami
berjalan beriringan.
“Ya,
Mami. Semua keindahan ini merupakan karya agung Isvara!”
“Isvara?
Apa itu?”
“Oh,
itu Tuhan, Mami. Dalam bahasa Sansekerta, Isvara itu berarti Tuhan atau Sang
Penguasa Tertinggi.”
“Duh,
pengarang. Apa-apa juga tahu.”
“Ah,
tidak juga. Saya masih amatir kelas mading SMA kok, Mami. Tapi, bukankah
penduduk asli Bromo memang penganut Hindu?”
“Ah,
iya. Seperti di Bali ya?”
“Iya.”
“Nah,
judul cerpen yang bakal kamu tulis apa?”
“Pastinya
sih, belum Mami. Saya masih menulis draf-nya. Tapi mungkin, Sepenggal Kenangan
Edelweiss.”
“Wah,
judulnya indah sekali, Wong.”
“Ah,
tidak juga, Mami. Saya hanya mereplikasi alam sekitar.”
“Ah,
ya, ya. Itu tidak soal. Yang pasti kalau dimuat di majalah, honornya buat
traktir makan Mami dan Nonon, ya?”
Saya
tersenyum menanggapi. Nonon yang dia sebut tadi adalah nama panggilan
kesayangan Viona. Saya kembali tersenyum. Mami sebenarnya kocak. Anak-anak
peserta tur semuanya akrab dengannya. Hanya sayang, insiden miras semalam
merecoki perjalanan tur kami yang ceria.
Kemarin
Robby bikin ulah. Beserta Aditya, mereka menenggak miras di dalam bungalo.
Sebenarnya tidak apa-apa, sih. Sebab saya yakin kedua anak itu minum miras
bukan untuk mabuk, namun untuk menghangatkan badan. Tapi Mami tentu saja tidak
dapat menerima dalih tersebut. Miras ya miras! Dan anak muda semacam kami memang
belum pantas menenggak air api itu. Dengan alasan dan atas nama apa pun!
Tapi
untung pagi ini amarahnya sudah padam. Saya lega. Anak-anak biang kerok sudah
pula mengakrabi wanita empat puluhan itu.
Keceriaan
datang kembali.
***
Perjalanan
ke lautan pasir Bromo sudah dimulai fajar tadi. Asep Suparman, pemimpin tur, salah
seorang karyawan biro travel yang menyertai rombongan tur sekolah kami, sudah
menyiapkan keperluan perjalanan plus sedikit wejangan agar tidak tersesat di
rimba pasir malam kemarin.
Dan
begitu weker berisiknya berdering pukul tiga, peserta tur yang asyik meringkuk
dalam buain mimpi terpaksa harus bangun. Bergegas masuk ke dalam bis sebelum
ditinggal sendiri. Para bidadari sudah on time pukul setengah empat pagi. Telah
membungkus diri dengan sweater dan jaket setebal kasur!
Tiba
di tujuan, Viona mulai beraksi dengan kudanya, perjalanan ke tempat tujuan
memang lebih aman dan cepat dengan menunggang kuda yang disewakan sekaligus
dituntun sang kusir. Tanpa kesulitan, dia menapaki sanggurdi dan langsung duduk
di pelana punggung kuda dengan entengnya. Dipacunya kuda berlari tanpa dituntun
kusir penyewaan kuda. Agaknya gadis manis itu memang sudah terbiasa menunggang
kuda. Dalam salah satu perannya di sinetron laga Brama Kumbara, Viona yang
berperan sebagai Mantili memang diharuskan dapat menunggang kuda.
Nadya
dan Yanthi masih seiring sejalan. Naik kuda juga beriringan. Tapi karena
seumur-umur belum pernah naik kuda selain kuda troya, maka pagi itu juga mereka
nyaris bikin stori. Kuda yang mereka tunggangi melompat karena kekangan yang
kekencangan. Persis serupa kuda pacuan di arena lomba rintangan berkuda. Untung
mereka dituntun kusir sehingga kuda tersebut menjinak. Manut oleh satu tepukan
lembut sang kusir di kepala.
***
Bromo.
11.35 AM.
Vicky
masih mengekor seperti pitik di belakang Viona. Berhenti di Horse’s Camp karena
tidak berminat menunggang kuda ke gigir kawah. Viona sudah melaju di atas kuda
seperti pendekar dalam sinetron. Selain mengekor, cowok jangkung itu hanya
mengambil gambar lanskap alam Bromo yang indah sepanjang perjalanan ke gigir
kawah. Jarang bicara apa-apa. Saya mendekatinya setelah berpisah dengan
Noerdin, wartawan dari majalah Anita Cemerlang yang kami undang untuk meliput
kegiatan tur perpisahan. Asep yang memilih tinggal di Horse’s Camp di
perbatasan dusun Bromo. Tidak ikut menunggang kuda seperti peserta tur lainnya.
“Pemandangannya
indah sekali ya, Vic.” Saya buka suara setelah dia sedari tadi terdiam. Hanya
asyik dengan kameranya.
“Iya,
Wong. Tapi katanya….”
“Apa?”
“Katanya,
kawah Bromo ini suka memakan korban.”
“Masa
iya, sih?”
“He-eh.
Makanya, setiap tahun penduduk sini mengadakan upacara semacam selamatan
begitu.”
“Namanya
apa?”
“Tidak
ngerti. Tapi, sesajiannya bisa berupa kepala kerbau segala macam. Ih, seram ya,
Wong?”
“Masing-masing
daerah memiliki upacara maupun ritual kepercayaan khas tersendiri, Vic. Ngaben
di Bali, misalnya. Atau, upacara ritual pemakaman mayat yang khas di
Toraja. Nah, itu merupakan khazanah
budaya bangsa kita yang majemuk ini. Jadi, hal tersebut jangan dianggap
takhayul.”
“Tapi,
sudah banyak kejadian lho, Wong. Setiap tahun ada saja yang meninggal di kawah
Bromo.”
“Itu
insiden, Vic. Kecelakaan. Human error. Siapa saja bisa menjadi korban kalau
lengah dan tidak berhati-hati. Tebing curam, longsor, badai pasir, dan banyak
faktor alam lain lagi yang bisa jadi penyebab jatuhnya korban.”
“Tapi
legenda itu….”
“Legenda
bukan merupakan aktualita. Sementara, aktualita memerlukan pembenaran. Seperti
halnya budaya, legenda merupakan khazanah. Banyak kearifan yang tersirat, yang
memerlukan pencernaan nurani ketimbang logika di dalam legenda. Jadi, betapa
piciknya kita kalau menerjemahkan legenda di dalam bahasa nalar.”
Namun
Vicky tidak menggubris ulasan saya. Tetap menganggap legenda itu sebagai
sesuatu yang hakiki. Kami berjalan kaki sejauh satu kilometer. Bertemu beberapa
bidadari yang sudah sedari tadi tiba di gigir puncak Bromo. Mengabadikan gambar
sebagai pemajang kenangan.
***
Denpasar.
01.22 AM.
Setelah
dua malam di Bromo, trip dilanjutkan ke Bali. Tiba di Bali, rombongan tur
langsung diboyong ke Sanur. Sudah pukul satu lebih dua puluh dua menit ketika
rombongan tiba, dan menginap di salah satu hotel kecil tapi asri. Anak-anak
sudah kelengar. Jadi, tidak ada yang berniat kelayapan di tengah malam kecuali
untuk mengisi perut di warung-warung kecil yang berseliweran di sepanjang
pantai Sanur.
Saya,
Vicky, Robby, dan Aditya memilih makan di luar, warung Padang. Sementara para
bidadari ada yang sudah tidak kuat jalan, lebih memilih tidur atau makan di
hotel saja. Noerdin, Asep, dan Wayang masih mengurus administrasi hotel.
Sehabis
mengisi perut, Vicky mengeluh sakit pada lehernya. Sampai besok pagi pun,
ketika kami sudah asyik mengelilingi objek wisata di Pulau Dewata, cowok itu
masih mengeluh kesakitan.
“Saya
disambar benda halus, Wong.”
“Astaga,
Vic!”
Saya
sudah tidak tahan. Vicky kelewat terobsesi kisah-kisah legenda sehingga
membutakan akal sehatnya. Sejak di Bromo, anak itu selalu ngomong yang
ngawur-ngawur seputar dunia gaib.
“Mungkin
hantu para cenayang,” tebaknya.
“Hus,
sembarangan kamu!”
“Tapi….”
“Kamu
cuma keseleo!”
“Ta-tapi….”
“Sekali
lagi kamu ngomong ngawur, disambar Leak baru tahu rasa!”
Saya
ngomong sekenanya. Jengkel dengan seliweran dunia klenik dalam benaknya. Dia
meringis. Takut dengan ancaman itu.
“Sudahlah,
Vic. Lebih baik kamu pergi urut leher di massage daripada ke dukun!”
“Tapi….”
Saya
tidak menanggapi keluhannya lagi. Lebih memilih berkumpul dengan peserta tur
lainnya. Mungkin ada bahan dan ide yang dapat dijadikan tema dalam cerpen.