![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Season of The Fireworks (02)
Oleh Effendy Wongso
Elegi
Pendar Bintang
Aku
masih berkutat melawan penyakitku ketika kenyataan getir itu mengentakku suatu
hari. Sebetulnya harapan itu sudah punah sejak vonis repertum dokter sebulan
lalu. Meningoenchepalitis yang kuidap
sudah melantakkan segalanya. Namun, aku masih menabur asa pada impian yang kerontang.
Dan dengan naifnya mengharap pemuda itu dapat menemaniku sampai menjelang ajal
menjemput. Mungkin aku terlalu picik menyikapi kenyataan yang baru kuperoleh, gadis
itu merupakan kekasih dari pemuda yang paling aku cintai, justru pada saat-saat
terakhir hidupku. Mungkin juga aku terlalu egois untuk dapat memiliki Taoming
Se sepenuhnya, meskipun Tuhan hanya mengizinkan aku bernapas tidak berapa lama
lagi.
Taipei
Bowling Centre masih meniupkan atmosfer yang sama. Udara yang meliuk hangat
terasa berat di paru-paru. Aku dan Shancai keluar bersama. Melabuhkan langkah
kaki pada poros jenjang prominade yang melintang di atas kanal. Serangkaian
birama sepat largisimo yang telah mengaduk benak tepat untuk dibasuh tempias
partikel air yang dibawa semilir angin basah dari kanal.
Gadis
itu mematung seperti biasa. Ketegarannya menghalau tangis yang hendak pecah
dari pelupuk mata. Kupandangi lamat wajahnya yang menunduk. Air kanal yang
hitam keperakan ditimpa temaram lampu merkuri di depan kami mengalir tenang. Seperti
alur pikiran kami yang merambat getas di dalam benak masing-masing. Terdiam
tanpa sepotong kata patah pun sehingga memubazirkan puluhan menit sua langka
kami.
Ia
menyender di gigir pagar besi kanal, mencoba menyikapi ambangan sunyi dengan
paruh senyum paksanya. Tapi semuanya sia-sia. Untaian lara yang bersimfoni tetap
memaksa menghadirkan telaga bening di sepasang pipiku. Layaknya seorang hawa,
ia dapat meraba kedalaman isi hatiku meski telah kututupi dengan tirai dusta.
“Ye
Sha,” tegurnya dengan suara lunak. “Kamu jangan membohongi hatimu sendiri!”
Aku
mengangkat wajah setelah sedetik menghimpun napas. Disambutnya tatapan mataku
yang binar dengan embusan udara yang keluar dari sepasang pelepah tipis
bibirnya. Sesaat ia memejam, entah untuk apa. Tapi kutangkap kilau yang terpancar
dari sepasang mata ekuatornya tadi. Bukti penderitaannya yang terpendam lama.
Sebuah penantian yang rasanya berabad. Yang telah dipampas dari pelukannya saat
pemuda itu sudah tergapai tangan.
“Aku
tidak pernah mencintai, Ase!”
Gadis
itu terkekeh. Cukup untuk menampik alasanku tanpa harus dijelaskan dengan
serentetan kalimat. Ia mendongak. Seperti kebiasaannya. Mencoba membenturkan
pandangannya pada langit kelam, jauh di atas sana. Mungkin saja ada pendar
bintang yang turun dan melintas tepat di atas kepala kami. Tapi malam ini semuanya
jauh dari harapan. Awan gemawan menutup layar langit yang senantiasa berhiaskan
laksaan gemintangnya yang ajaib. Barangkali langit malah akan meniriskan rinai
hujan. Mungkin Tuhan belum mengizinkan ia mendapat jawaban pasti tentang ikrar masa
lalu lewat penampakan bintang jatuh, yang pernah diucapkannya bersama pemuda
yang kini tengah mengalami derita trauma otak akut amnesia.
“Ase
mencintaimu,” tegasnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. Tulus
berharap. “Dia sangat mencintaimu, Ye Sha!”
“Anak
bodoh,” uraiku, menderaikan tawa di ujung kalimat. “Anak itu memang bodoh,
Shancai. Hei, dia pikir dengan perhatian lebih yang kuberikan selama ini….”
Shancai
menyergah. Alisnya bertaut, penggambaran amarah yang meruap atas kekerasan
hatiku. “Dia mengatakannya sendiri kepadaku!”
Aku
mengurai simpul bibir, tersenyum dengan rona tawar. Namun, makna yang terpancar
dari sumringah itu bukannya penegasan yang bijak. Dan bodohnya, aku selalu menyangka
dapat mengibuli gadis itu dengan seperangkat dusta. Tapi ternyata aku salah.
Gadis itu tak bergeming. Ia cermat mengamati. Bahwa aku tengah bersandiwara.
“Dia
jatuh cinta kepadaku, memang iya,” dustaku untuk kesekian kalinya. “Tapi bukan
berarti aku harus mencintainya juga. Kamu tahu kenapa aku baik kepadanya?”
Tubuh
gadis mungil di sampingku menegak. “Kenapa?”
“Karena
aku merasa berutang kepadanya. Aku merasa bertanggung jawab moral mengembalikan
ingatannya. Dia amnesia karena aku. Kalau bukan karena aku, dia tidak mungkin
melupakan kamu!”
“Itu
insiden. Jangan mengurai dalih tentang kecelakaan mobil di Barcelona, Ye Sha.
Lepas dari semua itu, Ase memang mencintai kamu.”
“Jangan
memaksaku untuk menerima cintanya, Shancai. Aku tidak suka memaksakan diri
mencintai orang yang tidak kusukai.”
“Tapi….”
“Ase
milikmu. Aku minta maaf….”
“Maaf
kenapa?”
“Aku
secara tidak langsung sudah bikin hidup kamu menderita. Kecelakaan mobil itu,
sudah menyebabkan dia amnesia sehingga melupakan kekasihnya yang bernama Tong
Shancai di Taiwan. Sekarang, mau tidak mau aku harus mengawal dia menemukan
kembali identitas dirinya yang sesungguhnya. Dia bukan Axing. Tapi dia adalah
David Taoming. Taoming Se!”
“Tapi….”
“Shancai,
seharusnya kamu bahagia. Orang yang kamu cintai telah kembali ke Taipei. Hei,
bukankah itu yang kamu inginkan kan? Sama sepertimu, aku juga bahagia karena
sudah dapat mewujudkan impianku yang tertunda gara-gara kecelakaan mobil di
Barcelona itu.”
“Maksudmu?”
“Kini
aku terbebas dari beban-beban yang menghantuiku siang dan malam. Mau tahu
kenapa? Karena sekarang Ase sudah lepas dari tanggung jawabku. Dia telah menemukan
orang yang tepat. Kamulah orang itu, Shancai. Kamulah orang yang dapat merawat
Ase sampai pulih dari amnesia. Itu berarti aku dapat berkeliling dunia tanpa
dibebani oleh pesakit Taoming Se.”
“Ta-tapi….”
“Percayahlah,
Shancai. Sedari dulu aku memang tidak pernah mencintai Ase. Kalaupun selama ini
aku sudah memberikan perhatian istimewa kepadanya, hal itu tidak lain disebabkan
tanggung jawab moralku untuk memulihkan ingatannya. Saat Ase jatuh hati kepadaku, aku pun berpura-pura menerima cintanya. Shancai, aku tidak ingin
melukai hatinya pada waktu itu. Makanya, aku berbohong mencintai dirinya.
Setelah membaca coretan kamu di dinding pondokanku tempo hari, maka ketika itu
juga aku merasa merdeka. Aku jadi bersemangat untuk mencari kamu, sang penulis
kisah penantian itu. Setelah bertemu
dengan kamu, aku benar-benar merasa bahagia. Berarti aku dapat melanglang
buana. Nah, besok aku akan terbang ke luar negeri. Doakan aku supaya selamat,
ya?”
“Ye
Sha….”
Aku
memejam. Pelupuk mataku dibanjiri airmata. Sepoi angin malam yang malas
merangkak membuai tengkuk. Tidak terlalu dingin. Tapi giris yang aku ra-sakan
membekukan hati. Aku menggigit bibir. Tidak kuasa lagi menahan airmata.
“Ye
Sha….”
Aku
belum berani berpaling. Airmata ini harus kusembunyikan. Bukan untuk apa. Aku
tidak ingin gadis itu sampai tahu kalau aku sebenarnya mencintai kekasihnya
yang amnesia.
“Kami
akan menunggumu pulang!”
Aku
mengangguk tanpa mengangkat muka. Sebersit rasa mengaduk-aduk hati. Kenangan
manis bersama Axing babur di benakku. Mendadak gamang dengan keputusanku yang
pura-pura. Tapi aku harus berbohong. Shancai sudah sangat menderita. Ia sudah
kehilangan kebahagiaannya saat tragedi di Barcelona itu. Aku telah merampas
kebahagiaannya. Aku telah merampas kekasihnya. Maka aku tidak pantas memiliki
hati Taoming Se meski pemuda itu tulus mencintaiku!
“Ye
Sha….”
Tuhan
tolong!
Jangan
biarkan airmataku jatuh di hadapan Shancai. Biarkan aku belajar tegar seperti
gadis itu.
“Aku
sudah ikhlas, Ye Sha!”
Aku
kembali memejam. Hatiku semakin berdarah. Inikah ketulusan cinta yang terpancar
dari hati seorang Hawa?! Inikah karya purna dari langit yang dicetuskan pada
diri seorang Shancai?! Sungguh. Aku kerdil dalam keagungan cintanya! Dan sama
sekali tidak berminat untuk merebut hati kekasihnya meski hal itu semudah
membalik telapak tangan!
“Tolong
jangan usik keberangkatanku dengan nama Taoming Se lagi, Shancai!”
Airmatanya
menitik. Keharuan merayapi dinding-dinding malam. Tong Shancai, gadis mungil
dengan semangat gergasi itu meneteskan airmata! Aku tersenyum sinis. Cinta
merapuhkan hati kami berdua. Taoming Se meluluhlantakkan tembok ketegaran kami.
Cinta memang telah mengerdilkan kami. Romantisme membabur. Melukai hati kami
berdua.
“Kamu
akan melukai hati Ase, Ye Sha!”
“Aku
tidak ingin kamu terluka!”
“Aku
ikhlas, aku ikhlas!”
“Tapi
aku tidak dapat menerima orang yang tidak aku cintai!”
Aku
menggigit bibir. Mengelak ketika sorot mata beningnya itu hendak membaca isi
hatiku yang sesungguhnya lewat kedua bola mataku. Sebuah kesia-siaan. Sebab
gadis itu menggeleng, menolak uraian dalih yang kucetuskan dengan suara sember.
“Kamu
telah menyiksa hatimu, Ye Sha!”
Aku
menggeleng. Mengharap rinai hujan akan segera turun malam ini sehingga
airmataku tersamar oleh tirai-tirainya yang basah. Tapi langit masih menggantungkan
uapan air itu. Enggan mewujudkan permintaan hatiku. Malah mengarak gumpalan
hitam itu menjauh dari hadapan. Dan menyibakkan gemintang yang sudah samar
menoktah.
“Sudahlah,
Shancai. Aku memang tidak mencintai Ase, kok.”
“Tapi….”
“Ciayo-bersemangatlah,
Shancai. Aku yakin ingatan Ase akan pulih kalau kamu terus menyertainya. Aku harap
kamu dapat bersamanya setiap hari. Mungkin dengan begitu kenangan kalian berdua
akan menguak sedikit demi sedikit di serabut kelabu otaknya. Oke?”
“Tapi….”
“Aku
mohon penuhi permintaan terakhirku itu, Shancai. Jagalah Ase. Sertai dia setiap
hari. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau mendengar semua permintaanku
itu.”
“Ye
Sha….”
“Shancai,
ciayo-bersemangatlah!”
“Tapi….”
“Sudahlah.
Tidak ada tapi-tapian lagi. Sudah larut malam. Besok pagi aku sudah harus
berangkat. Nah, sekarang janji. Di antara kita tidak boleh ada yang berpaling
saat melangkah, terlebih-lebih menangis. Jadi, aku akan menghitung
satu-dua-tiga. Setelah itu kita masing-masing berbalik. Aku ke kanan dan kamu
ke kiri. Janji, tidak boleh ada yang menangis!”
Gadis
itu mengangguk. Rambutnya yang mayang terkibas angin malam. Ia membalik badan
dengan langkah berat. Aku menggigit bibir. Ragu dengan keputusan yang kubuat
sendiri, untuk tidak saling mengingkari peraturan yang telah disepakati bersama
tadi.
Dan
ketika melangkah, airmataku semakin menderas.