![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 04
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Asmara
dari Seberang
Kamu
makin kurus saja, Syan,” ujar Sonya sambil mengunyah permen karetnya. Mereka
berjalan beriringan di antara mahasiswa lain yang menuju ruang kuliah masing-masing.
“Ah,
masa?” Syanda memperhatikan pergelangan tangannya. Dia selalu mengukur kondisi
badannya dari pergelangan tangan. Dan dilihatnya tonjolan tulang di sana.
Berarti Sonya tidak salah. Badannya memang menyusut beberapa kilogram.
“Masih
sering menjenguk Aditya?”
“Tentu.
Kalau bukan aku, siapa lagi?”
“Ibunya?”
“Ah,
semua telah mengucilkan Aditya. Padahal, Aditya tidak bersalah,” ujar Syanda
seolah kepada dirinya sendiri.
“Tapi,
itu kan pengakuannya terhadapmu?”
“Maksudmu,
Aditya berbohong sama aku?!” Syanda menghentikan langkahnya sesaat. “Tidak
mungkin!”
“Kamu
begitu yakin?”
“Ya.”
“Kamu
tipe cewek setia, Syan,” kelakar Sonya.
“Setia?
Rasanya pujian itu terlalu berlebihan. Kamu perlu tahu, Son, akhir-akhir ini
aku sering bimbang. Apakah aku harus terus bersedih? Atau, mulai berpikir untuk
hari-hari dan masa depanku sendiri.”
“Of
course. Satu tahun bukan waktu yang singkat memang….” Sonya ikut merenung.
Syanda
mengerjapkan matanya.
“Sudahlah.
Kuliah apa hari ini?” ujarnya, mengganti pokok pembicaraan. Semangatnya selalu
surut setiap kali membicarakan soal Aditya dan masa depannya bersama Aditya.
Juga soal kesetiaan. Soal apapun tentang Aditya hanya akan menumbuhkan kedukaan
yang kian dalam. Makin membuatnya merasa, hari penantian kian panjang dan tak
berujung.
“Hari
ini Kewiraan. Dua jam.”
“Kewiraan
lagi? Huh!” Syanda menghela napasnya.
“Pasti
malas lagi. Bolos lagi?”
“Tak
tahulah. Aku bosan sama Pak Irwan dan caranya mengajar itu. Setiap kali mata
kuliah Kewiraan, aku hanya terkantuk-kantuk di ruang kuliah.”
“Jadi?”
Sonya menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. “Kamu terus atau ke kiri?”
Syanda
melirik ke kiri. Rasanya lebih baik dia menghabiskan siang ini di kantin saja.
Seorang diri, menghabiskan waktu sembari menanti Sonya untuk pulang bareng nanti.
“Ke
kiri saja.” Senyum Syanda disambut cubitan jengkel Sonya.
“Tunggu
aku, ya?” pesan Sonya sebelum berlalu.
Syanda
melambai. Diayunkannya langkahnya ke kantin. Lantas dipesannya secangkir
cappuccino dan sepotong roti keju bakar setibanya di sana. Ah, betapa segarnya
badannya setelah beberapa hari dia menghindarkan diri dari tempat yang bernama
kampus ini. Betapa jernih pikirannya setelah beberapa minggu dia menghindari
tatapan orang-orang yang kebetulan tahu siapa dia dan siapa Aditya.
Diteguknya
kopinya dengan semangat begitu pesanannya tersaji di hadapan. Ah, mana tisu?
Syanda mengorek-ngorek tasnya untuk mencari sepotong tisu guna memegang roti
bakar yang berminyak dan agak panas itu.
Pluk.
Sebuah benda terjatuh dari tasnya. Korek api Aditya! Korek api yang dulu sempat
disembunyikannya agar Aditya tidak merokok di rumahnya.
“Punyamu?”
Ups.
Rupanya Syanda kalah cepat dengan tangan kekar yang kini menyodorkan benda itu
kepadanya.
“Ya.”
Ditatapnya si penolong itu. Seorang cowok berambut cepak ala Tintin, berkemeja
garis-garis dengan lengan baju yang dilipit rapi.
Cowok
itu tersenyum simpatik.
“Terima
kasih,” ujar Syanda lagi.
“Sama-sama.
Kamu kuliah di sini?” tanyanya lagi.
Syanda
mengangguk.
Cowok
itu menatap berkeliling. Rupa-rupanya kursi kantin telah penuh terisi. Syanda
menatap cowok itu lantas mengambil inisiatif.
“Duduklah
di sini kalau kamu mau.”
“Oh,
terima kasih. Kursi-kursi kantin selalu penuh pada jam-jam begini. Jam-jam
lapar! Hahaha….” Cowok itu tertawa. “Oya, kita belum kenalan. Saya Ivan, Ivan
Prasetyo. Fakultas ekonomi semester dua.”
Syanda
menyambut uluran tangan Ivan. “Syanda. Syandarini Aprilia Joshepine Munaf. Aku
di fakultas psikologi. Baru semester pertama.”
“Calon
psikolog? Wah, saya harus hati-hati kalau begitu.”
“Kenapa?”
“Katanya,
psikolog bisa tahu apakah seseorang jujur atau berbohong hanya dengan menatap
mata orang itu. Betul? Apakah ilmumu sudah sampai di situ?”
Syanda
tertawa. “Ada-ada saja,” kilahnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
“Eh,
tapi ngomong-ngomong, rasanya saya memang sering lihat kamu dulu. Habis cuti
kuliah?” tanya Ivan.
Syanda
menggeleng. “Sakit,” dustanya.
“Oo.”
Ivan manggut-manggut.
“Kamu
tidak pesan apa-apa?” tanya Syanda.
“Nanti
saja. Ngobrol dengan kamu membuat rasa laparku hi-lang.”
“Oya?
Jadi aku kamu anggap sejenis roti bakar, ya?” kelakar Syanda. Rasanya sudah
lama betul dia tidak menemukan teman untuk diajak bercanda seperti ini. Mereka
tertawa bersama. Keakraban terjalin begitu cepat.
“Keberatan
kalau aku menganggapmu roti bakar?”
“Tidak.
Tapi aku menyesal membiarkanmu duduk bersamaku kalau tahu kamu sebetulnya bukan
perlu makanan, tapi perlu teman ngobrol saja,” ujar Syanda santai.
“Jadi
betul ….” desis Ivan.
“Apanya
yang betul?”
“Seorang
psikolog bisa menangkap maksud seseorang hanya dari tatapan matanya.”
“Jadi…?”
Syanda mengernyitkan alisnya tidak mengerti.
“Kebetulan
aku ketemu kamu. Aku sedang butuh teman bicara. Hm, aku tengah menghadapi
persoalan dengan….”
“Pacarmu?”
penggal Syanda yakin.
“Yap!
Seratus lagi buat kamu!” Ivan menjentikkan jarinya.
“Kamu
percaya sama aku? Orang baru kamu kenal lima menit lalu?” pancing Syanda.
“Kenapa
tidak? Tiba-tiba saja aku merasa menemukan orang yang tepat untuk menuangkan
unek-unek. Boleh?”
“No
problem. Aku siap jadi waskom curhatmu, kok.” Syanda tertawa.
Ivan
latah. “Begini, pacarku itu, hm… namanya Mita. Kami satu fakultas, satu ruang
kuliah malah. Belakangan ini kami selalu ribut. Soal kecil bisa jadi besar. Karena
itu, aku jadi malas ketemu dia lagi. Nah, akhirnya ya begini. Aku keseringan
bolos jam kuliah. Kamu tahu, Mita tidak pandang tempat! Kalau dia ngambek, di
mana pun jadi. Nah, kalau kejadiannya di ruang kuliah, mau kutaruh di mana
mukaku yang berjerawat batu ini?” cerita Ivan bersemangat.
“Lantas?”
“Lantas
aku ingin menyadarkannya. Bahwa, cowok perlu juga dimanja sesekali. Jangan
ditekan terus, jangan diomeli terus. Tapi, aku bingung mencari kalimat yang
tepat.” Ivan mengusap-usap keningnya. “Dia terlalu egois dan mau menang
sendiri! Susah mengatur dia!”
Syanda
tersenyum. “Kamu merasa lebih lega sekarang?”
“Yah.”
“Itulah.
Lain kali kalau ada persoalan, ceritakanlah kepada orang yang dapat kamu
percaya. Walaupun belum tentu bisa mencarikan jalan keluarnya, tapi paling
tidak dengan bercerita beban batinmu sudah sedikit berkurang,” ujar Syanda sok tua,
mengutip kalimat dari literatur yang pernah dibacanya.
Ivan
hanya manggut-manggut. Matanya yang jenaka dan cara bicaranya yang polos
mengingatkan Syanda kepada seseorang. Seseorang yang kini jauh darinya. Ah,
kerinduan selalu datang tiba-tiba.
Sekelebat
dilihatnya Sonya melambai dari kejauhan. Syanda bergegas merapikan tasnya lalu
bersiap meninggalkan tempat duduknya.
“Hei…
mau ke mana?” tahan Ivan.
“Temanku
sudah menjemput.”
“Tapi,
kamu belum memecahkan masalahku.”
“Lain
kali saja. Oke?” Syanda berdiri, siap untuk beranjak. “Aku sendiri sedang
banyak masalah.”
“Lain
kali? Kapan?” desak Ivan.
“Mungkin
suatu hari di kantin ini kita ketemu lagi. Atau… entah kapan.” Syanda
mengangkat bahunya. Menatap roti bakar yang sama sekali belum disentuhnya.
“Kamu
tidak ingin kita bersahabat?”
Syanda
tersenyum, lalu melambai. “Sampai ketemu….”
“Hei,
tunggu! Ini korek apimu!” panggil Ivan.
“Oh…
trims.” Syanda menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kantin. Bergegas
disambutnya benda kecil bergrafer ‘A’ di depannya.
“Kamu
merokok?”
Syanda
menggeleng. “Milik temanku,” jawabnya hambar.
Ditatapnya
Ivan sekilas. Dirasakannya ada kerinduan yang tertambat di mata Ivan. Sepasang
mata yang pernah diakrabinya. Ah, sebetulnya dia ingin menghabiskan beberapa
saat lagi bersama Ivan. Berbagi cerita. Bertukar canda seperti yang biasa
dilakukannya bersama Aditya. Tapi, tidak mungkin. Ada yang tengah menunggunya
jauh di sana. Ada yang terperangkap dalam sepi. Ada yang menagih kesetiaannya.
“Sampai
ketemu.” Syanda melambai kembali lantas bergegas menghampiri Sonya.
Meninggalkan Ivan yang tengah melongong, menatap langkah gegasnya yang melesat
secepat camar.
“Pak
Irwan tidak masuk,” urai Sonya tanpa ditanya.
“Tumben….”
“Eh,
siapa cowok yang bersamamu di kantin tadi….”