BLOGKATAHATIKU - Buruknya tayangan
televisi berdampak pada destruktif budaya dan pola pikir masyarakat. Saat ini,
justru tayangan televisi di Indonesia cenderung disetir tingkat rating. Pemirsa
sulit menemukan tontonan yang mencerminkan unsur pembangun peradaban. Ketika
tayangan televisi semakin melenceng dari pondasi kebudayaan, maka peradaban
rawan hancur.
Oleh
karena itu, kesenian-kesenian lain yang tidak punya cara berpanutan dengan
televisi, mengalami persoalan dengan pertumbuhannya. Akan tetapi, untuk merebut
ruang tersebut, harus timbul perlawanan karena atas keinginan kuat dari
masyarakat mengenai tontonan di luar televisi.
Pasalnya,
masyarakat juga harus memproduksi dan membangun tontonan-tontonan yang keluar
dari kultur televisi itu sendiri. Maka dari itu, bagi sebagian pelaku industri
kreatif, tontonan mengandung unsur kelokalan sangat penting, sebab era kekinian
merupakan era “indie”. Maka, muncullah industi yang dimulai dari bawah, salah satunya
melalui industri film lokal.
Indie,
lewat film lokal harus terus menerus mencari jalan alternatif untuk menempuh
progresnya sendiri. Sineas muda yang bergerak di daerah, diharap dapat merawat
industri kreatif berbasis kreativitas dengan kemandirian. Mereka harus
berhati-hati dalam mengurus budget. Pelaku kreatif perfilman daerah kerap sulit
menghimpun dana.
Memang,
ada baiknya jika sineas muda di daerah tidak menafikan era globalistik. Hal ini
untuk mendorong perkembangan kualitas yang terus-menerus, sehingga menjadikan
kualitas lokal yang kuat di tataran global. Bioskop daerah memang bisa menjadi
salah satu rujukan bagi ruang distribusi para pelaku sineas. Akan tetapi, bukan
rahasia umum bila bioskop daerah lebih mementingkan unsur rating, atau
banyaknya konsumen yang minat terhadap unsur komersialisasi ketimbang meninjau
aspek kualitas karya.
Lewat
film Sumiati, setelah beberapa waktu lalu “mem-booming-kan” film lokal berjudul
Bombe, boleh jadi menjadi pelecut bagi sineas-sineas lokal untuk membuat karya
lebih produktif. Bagaimana tidak, film genre drama horor karya Syahrir Arsyad
Dini seolah menghipnotis penonton di Makassar, bahkan beberapa kota Indonesia
yang memutar film tersebut.
Melalui
karya-karyanya yang sederhana namun sarat moralitas, boleh jadi Syahrir tinggal
selangkah lagi dapat berkibar lebih jauh di industri perfilman nasional. Ini
seperti yang sering diungkapkannya, sebagai pelaku film lokal ia ingin film
karya sineas Makassar juga memiliki potensi dan tidak kalah terhadap sineas
nasional.