swara
datang mendenting dari hati
memantul
pada tubir-tubir Tembok Besar
apakah
salah bila cinta ini meranggas?
Belum
sempat kutebas kebas gemuruh
kala
ia sudah mengoyak keping hati ini
asmara,
asmara
jangan
datang menyergapku
saat
Tionggoan masih terluka
Fa
Mulan
Nyanyian
Asmara di Tembok Besar
“Kenapa
tertawa?”
Shang
Weng mengatupkan bibir. Berusaha menahan tawa yang masih meruap dari
kerongkongannya. Gadis yang baru saja mengungkapkan perasaan hatinya itu
mematung di hadapan. Seperti tidak percaya atas keterusterangannya barusan, ia
mengulaikan kepala sebagai reaksi jengah keterkejutan. Sama sekali tidak
menyangka dapat mengungkapkan isi hatinya. Entah dorongan kekuatan gaib mana
yang mendesak-desaknya untuk berkata jujur. Jujur terhadap rasa cintanya kepada
pemuda bermata elang itu, yang sudah lama dipendamnya semasa wamil dulu.
“Tidak
apa-apa,” jawab Shang Weng tersipu.
Fa
Mulan masih tidak berani menatap wajah Shang Weng yang menyumringah. Bahkan
ketika pemuda itu menggandeng tangannya untuk turun dari Tembok Besar dan masuk
ke dalam tendanya, ia masih serasa bermimpi. Apakah ini emansipatif dan
afeksiliasi yang kali pertama dilakukan seorang perempuan selama ditabukan
ribuan tahun lamanya?!
Sungguh.
Ia
merasa ajaib dengan kejadian barusan!
“Jangan
bohong. Pasti ada apa-apa kalau Anda tertawa begitu, Kapten Shang.”
“Sungguh.
Tidak ada apa-apa,” elak Shang Weng sembari menggayutkan sepasang tangannya
yang kokoh di bahu Fa Mulan. Sesekali telapak tangannya menghapus titiktitik
airmata yang masih basir menempel di pipi gadis kesatria itu.
“Tidak
ada apa-apa?” cecar Fa Mulan, sekilas melirik Shang Weng yang masih menatapnya
dengan lembut. “Kalau tidak apa-apa kenapa Anda tertawa?”
“Itu
karena….”
“Karena
apa?”
“Hm,
saya pikir….”
“Anda
pikir apa?!”
“Sa-saya
pikir….”
Shang
Weng tergeragap, menggantungkan kalimatnya sehingga tak rampung. Sesaat menekuk
wajahnya dengan menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya yang sipu.
Sementara itu Fa Mulan masih berusaha mencecar pemimpin tertinggi di Kamp Utara
tersebut dengan beragam pertanyaan bernada penasaran.
“Pikir
apa, Kapten Shang?!”
Tawa
Shang Weng kembali meledak. Kali ini ia sudah tidak mampu membendung sesuatu
yang menggelitik di hatinya. Gadis kesatria itu ternyata juga terdiri dari
daging dan darah!
“Saya
pikir seorang Fa Mulan yang perkasa pantang mengeluarkan airmata.”
“Hah,
Anda meledek saya, Kapten Shang?!” jerit Fa Mulan, tanpa sadar menepuk-nepuk
lembut dada Shang Weng. “Anda jahat, ya?!”
“Bukan….”
Fa
Mulan memberengutkan bibir.
Sedikit
merasa jengah atas sikap Shang Weng yang gurau. Ia melototkan mata
menggambarkan protes. Tetapi pemuda itu malah membahanakan tawanya sehingga
tenda tempat mereka bernaung seolah hendak runtuh.
“Habis,
tadi saya tidak melihat Fa Mulan yang tegar dan perkasa. Tapi Fa Mulan yang
gemulai, menangis layaknya gadis-gadis lain.”
“Anda
sudah keterlaluan, Kapten Shang!”
“Saya
tidak peduli apakah saya keterlaluan atau tidak. Yang pasti saya merasa sudah
menang.”
“Menang?!
Menang kenapa?!”
“Menang
karena berhasil membuat seorang gadis kesatria yang heroik di Tung Shao sampai
menangis berlinang air bah!”
“An-Anda….”
Shang
Weng belum melepaskan tangannya yang menyandar di bahu Fa Mulan. Tawanya sudah
menjelma menjadi senyum. Ia menatap lekat-lekat wajah yang menyumringah jengah
di hadapannya. Yang kini menunduk entah karena digolak rasa apa di hatinya.
“Tolong
jangan panggil saya dengan nama Kapten lagi.”
“Memangnya
kenapa?”
“Kamu
sudah menjadi milik saya.”
“Saya
tidak mau bersikap kurang ajar terhadap atasan saya atas alasan apa pun. Apa
kata prajurit-prajurit lainnya bila menyaksikan tindakan saya yang tidak santun
begitu pada Anda. Maaf, saya tidak bisa memberi contoh yang kurang baik pada
prajurit-prajurit lainnya.”
“Saya
adalah kekasih kamu. Begitu pula sebaliknya, kamu adalah kekasih saya. Jadi
kamu memiliki legitimasi untuk itu.”
“Siapa
bilang begitu?” Fa Mulan kembali melototkan mata. “Kalau saya cinta Anda, itu
belum tentu berarti saya harus menjadi milik Anda, Kapten Shang. Jadi….”
“Tapi
kamu sangat berarti bagi saya, Mulan. Saya ingin kita lalui hari-hari yang
panjang ini bersama-sama. Saya ingin menikahi kamu!”
Fa
Mulan terkesiap.
Sesaat
seperti terentak oleh permintaan Shang Weng yang tulus untuk menikahinya. Namun
diwajarkannya sikap dengan tersenyum. Seolah tidak terpengaruh oleh kalimat
indah selantun litani dari svargaloka tersebut.
“Saya
belum siap,” tolaknya. “Masih banyak hal yang perlu kita lakukan selain urusan
pribadi. Kaisar Yuan Ren Zhan masih membutuhkan kita sebagai abdi negara. Untuk
saat ini, yang saya pikirkan hanya masalah negara. Lagipula, saya tidak dapat
hidup tenang kalau keadaan negara terus dirongrong perang.”
“Tapi
sampai kapan, Mulan?!” protes Shang Weng, melepas tangannya dari bahu Fa Mulan.
“Apa kamu lupa kalau suatu saat kita semua akan tua?!”
“Tentu
saja semua orang akan menjadi tua. Saya juga tahu kalau tidak ada seorang pun
yang dapat luput dari hukum alam tersebut. Tapi, alangkah bahagianya kalau
dunia ini tenang tenteram tanpa perang. Sebagai prajurit, saya bertanggung
jawab moral memikirkan masalah-masalah negara. Bukankah memerangi semua masalah
keamanan negara merupakan tanggung-jawab semua warga? Terus terang, saya tidak
dapat lepas tangan menyaksikan kekacauan-kekacauan yang terjadi. Saya tidak
akan pernah dapat hidup tenang seandainya lari dari tanggung-jawab. Jadi, saya
harap Anda bisa paham keputusan saya untuk tidak memberikan jawaban saat ini.”
“Saya salut dengan keputusan kamu. Tapi, kapan
kamu dapat memikirkan diri kamu sendiri?”
“Saya
bahagia apabila negara kita tenteram, Kapten Shang.”
“Tapi
tidak mesti sampai sebegitu ekstrimnya mengorbankan diri, Mulan!”
“Mati
untuk negara pun saya rela.”
“Kamu
keras kepala!”
“Mungkin.
Tapi saya rasa apa yang saya korbankan belum ada apa-apanya bagi negara.”
Shang
Weng mendengus. “Kepentingan negara dan kepentingan pribadi dapat berjalan
seiring, Mulan.”
“Tidak
mudah membagi dua kepentingan sekaligus secara adil dan berimbang, Kapten
Shang.”
“Tapi….”
Fa
Mulan bangkit berdiri dari duduknya.
Sosoknya
membayang sebesar gergasi di dinding kulit kempa lembu tenda disorot cahaya
penerangan lampu minyak ketika ia sudah menjarak tiga kaki dari meja.
Dijauhinya Shang Weng yang masih duduk dengan rupa gelisah di meja kayu persegi
tendanya.
Kali
ini ia memang harus menampik akumulatif cinta pemuda itu. Pernikahan merupakan
momen indah yang masih serupa angan-angan di benaknya. Sungguh. Ia memang belum
siap untuk menerima hal yang mengawang-awang tersebut meski cetusan akur
darinya hanya sebatas menganggukkan kepala.
“Maafkan
saya, Kapten Shang. Biarlah semua itu kita serahkan kepada Dewata di langit.”
Shang
Weng mengangguk getas.
Kalimat
sanggahan yang hendak keluar dari tenggorokannya mendadak membeku di bibir.
Angannya untuk membangun rumah tangga dengan gadis itu terempas jatuh ke tanah.
Mungkin ia perlu belajar untuk bersabar. Menunggu sampai hati gadis itu
terenyuh. Dan menerima utuh kehadiran dirinya.
Sebab
maharana memang masih merisaukan hati gadis itu. Patriotismenya jadi
tertantang. Memang benar. Bangsa ini memerlukan kepedulian. Jauh di atas kepentingan-kepentingan
pribadi.
“Maaf
kalau saya tadi sedikit memaksa,” ujar Shang Weng lirih. “Semua saya lakukan
karena saya sangat mencintai kamu.”
“Tidak
apa-apa, Kapten Shang,” balas Fa Mulan, berbalik dari tatapannya yang terawang
pada dinding kulit kempa lembu tenda. Seperti menyadari dirinya telah larut
dalam kubangan durja, ia pun menyeret langkahnya dan duduk kembali di belakang
meja. “Saya dapat memafhumi tindakan Anda yang progresif.”
Shang
Weng mencondongkan badannya lebih dekat ke arah Fa Mulan. Ditatapnya lamat
lekuk garis wajah gadis itu yang kini menjingga keperakan ditimpa sinar lampu
minyak. Ketegasan pada raut belia itu telah menggambarkan serangkaian
perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Juga pahit getir kenangan yang
semakin mendewasakannya.
“Saya
tidak perlu mendengar kalimat maafmu, Mulan.”
“Kenapa?”
“Saya
tidak merasa kamu pernah berbuat salah terhadap saya.”
“Tapi,
saya selalu membuat Anda gusar.”
“Itu
karena kesalahan saya sendiri.”
“Kalau
bukan permintaan maaf, lantas saya harus berbuat apa untuk menebus kesalahan
saya kepada Anda, Kapten Shang?”
“Hei,
untuk apa minta maaf kalau kamu tidak pernah berbuat salah sama saya.”
“Lalu….”
“Saya
cuma minta kamu jangan memanggil saya lagi dengan Kapten.”
“Saya
tidak bisa!”
“Harus
bisa! Ini perintah!”
“Dipenggal
pun saya tidak akan pernah mau.”
“Kenapa?”
“Karena
Anda adalah atasan saya.”
“Hei,
siapa juga yang bilang kalau saya ini merupakan bawahan kamu.”
“Justru
karena itu saya harus tetap memanggil Anda dengan Kapten. Kecuali….”
“Kecuali
apa?”
“Kecuali
saya yang Kapten, dan Anda yang Asisten.”
“Hah?!
Jadi, kamu bermaksud menggantikan posisi saya?”
“Memangnya
kenapa kalau iya?”
“Hei,
berarti kamu bermaksud makar ya?”
“Bukan
makar. Tapi merebut kekuasaan dari tangan Anda.”
“Hah,
bernyali sekali!”
“Apa
salah? Memangnya, hanya Anda yang dapat menduduki jabatan posisi atas?”
“Kalau
begitu, saya memiliki alasan kuat untuk memenggal kepalamu!”
“Hah,
sebegitu kejamnya?”
“Ya,
masih lebih baik kalau cuma kepala kamu yang dipenggal. ”
“Memangnya….”
“Tentu
saja. Kalau hukuman untuk kamu itu ‘harus segera menikahi saya’, apa kamu mau?”
Fa
Mulan terkikik.
Suram
suasana serupa mendung tadi kini disaput senyum dan tawa. Shang Weng mengurai
kalimat jenaka. Membiarkan gadis yang dikasihinya terbahak untuk sesaat.
“Hah,
memangnya kita ini sedang membahas masalah apa? Memangnya Anda ini Sang Kaisar
yang ingin saya kudeta apa?”
Mereka
masih tertawa ketika terdengar derap-derap kuda yang menderas mengarah ke
tenda, memecah kesunyian malam di Tembok Besar. Fa Mulan berdiri. Menyeret
langkahnya ke ujung tenda. Menyibak salah satu daun tenda sebelum melongokkan
kepala keluar. Dilihatnya lima prajurit jaga tengah mendekati sang Penunggang
Kuda.
“Maaf
mengganggu istirahat kalian,” sahut sang Penunggang Kuda. “Saya Prajurit Kurir
Bao Ling. Datang membawa maklumat atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan!”