pada
taman rebung
dan
serumpun lalang di perbatasan
adakah
lara telah sirna?
angin
akan menjawabnya jua
Bao
Ling
Angin
Membawa Berkah
“Rajawali
Satu?”
Bao
Ling mengernyitkan dahinya. Memandang belati bersarung emas itu dengan beragam
versi kalimat di benaknya. Entah sudah berapa kali dibolak-baliknya belati
bermata tajam itu. Sebilah belati baja berwarna keperakan dengan vinyet sehalus
sutra pada sarung emasnya selain huruf kanji berharafiah ‘Rajawali Satu’.
“Rajawali
Satu. Pasti julukan dalam kemiliteran. Orang Mongol biasanya menggunakan
nama-nama julukan sejak lahir,” timpal Fa Mulan, mengambil kembali belati
berukir huruf kanji itu dari tangan Bao Ling.
“Betul.
Temujin memiliki julukan Si Raja Gurun, Genghis Khan. Beberapa petinggi militer
mereka juga memiliki nama-nama unik. Biasanya diambil dari nama bebatuan
berharga semacam ruby. Jadi….”
“Jadi,
Si Kao Ching itu pun….”
Bao
Ling terlonjak, nyaris terlompat keluar dari dinding bahu Tembok Besar tanpa
sadar. “Kao Ching?!”
Fa
Mulan mengernyitkan dahi. “Ya. Memangnya kenapa?”
“Kao
Ching merupakan pendekar terkenal di Kiangsu!”
“Pendekar
terkenal?!”
“Asisten
Fa tidak pernah mendengar kehebatan Kao Ching?”
Fa
Mulan menggeleng. “Saya terlalu sibuk….”
Sesaat
kedua punggawa handal militer Yuan itu terdiam dengan masing-masing benak
dipenuhi beragam tanya. Hanya desau angin yang sesekali memecah kebisuan di
antara mereka. Fa Mulan yang masih diliputi kebingungan saat bertarung dengan
salah satu jasus Mongol, dan Bao Ling yang masih mengamati lamat belati milik
musuh yang bertarung dengan Fa Mulan semalam.
“Si
Pendekar Danuh!” desis Bao Ling dengan wajah memias, matanya belum lepas dari
graver indah pada sarung belati emas tersebut.
Fa
Mulan bertanya, mendadak menegakkan kepalanya seperti kobra. “Si Pendekar
Danuh?!”
“Dia
adalah simbol danuh, pakar dalam hal memanah,” terang Bao Ling bersemangat.
“Dia merupakan pendekar peranakan Mongol-Han yang sering mengikuti sayembara
memanah, yang diadakan pada pesta-pesta akbar para pangeran dan kaisar-kaisar
kecil di istana-istana kecil.”
“Apakah….”
“Kao
Ching adalah anak angkat dari Temujin, Genghis Khan, Si Raja Gurun Mongol!”
“Pantas
dia bilang begitu kemarin….”
“Memangnya….”
“Sebelum
kabur dari sini, dia sempat mengemukakan alasan keberadaannya di perbatasan
Tembok Besar ini.”
“Apa
itu, Asisten Fa?”
“Dia
bilang kalau kehadirannya di Tembok Besar bukan bermaksud memata-matai pihak
Yuan. Malah sebaliknya….”
“Sebaliknya?!
Sebaliknya… apa maksudnya, Asisten Fa?!”
“Sebaliknya,
dia justru datang memata-matai pasukan Mongol!”
“Aneh!”
“Justru
itulah yang membingungkan saya, Bao Ling.”
“Padahal….”
“Padahal
ayah angkatnya adalah Genghis Khan, salah satu tokoh tertinggi Mongol yang
hendak menjatuhkan Dinasti Yuan!”
“Makanya….”
Bao
Ling kembali mengernyitkan dahinya. Tak merampungkan kalimatnya, mencoba
menghimpun buliran waktu silam dalam kenangan di benaknya. Kao Ching tidak
terlalu asing dalam hidupnya. Lelaki peranakan Mongol-Han itu pernah bersamanya
dalam sebuah sayembara ketangkasan dan prosa, yang diselenggarakan oleh
Pangeran Yuan Ren Qing untuk merayakan hari jadi ketigabelas putri sulungnya,
Putri Yuan Ren Xie, di Provinsi Kiangsu lima tahun lalu.
“Saya
masih bingung dengan ambivalensi sosoknya, Bao Ling,” ujar Fa Mulan, sedikit
menelengkan kepalanya dengan rupa bingung.
“Saya
ingat!” seru Bao Ling keras, sertamerta menegakkan kepala Fa Mulan yang
meneleng tadi. “Saya pernah bersamanya dalam sebuah sayembara ketangkasan di
Istana Kiangsu.”
Fa
Mulan mengalihkan tatapannya dari serumpun ilalang yang meranggas di tepi
Tembok Besar. “Kamu mengenalnya?”
“Tahu.
Tapi kami tidak akrab. Kami masing-masing hadir sebagai peserta dalam sayembara
di hajatan Putri Yuan Ren Xie, anak sulung Pangeran Yuan Ren Qing yang berulang
tahun ketiga belas pada saat itu. Dia mengikuti sayembara memanah dan berkuda,
sementara saya mengikuti sayembara prosa dan puisi.”
“Tapi
dia Mongol, bukan?!”
“Betul.
Tapi, ibunya Han. Asisten Fa tahu bukan, kalau suku Han dominan berdomisili di
daerah-daerah pinggiran dan perbatasan Mongolia. Jadi meskipun dia Mongol,
namun Kao Ching sebetulnya juga masih berdarah Tionggoan. Makanya, setelah
beranjak dewasa, dia kembali ikut dengan ibunya di Kiangsu. Dari data
intelijen, baru beberapa tahun ini dia pindah kembali ke Ulan Bator dan ikut
Temujin. Nah, selama berdomisili di Tionggoan itulah dia kerap mengikuti dan
memenangi sayembara memanah. Di situlah awal mula dia dijuluki Si Pendekar
Danuh.”
“Cuma
anehnya….”
“Di
situlah letak keanehannya, Asisten Fa. Saya sama sekali buta tentang sosok
misteriusnya. Kenapa dia malah menentang rencana perang ayah angkatnya!”
“Justru….”
“Justru
itulah yang harus kita selidiki, Asisten Fa!”
“Tentu.”
“Jangan-jangan….”
“Lebih
baik kita selidiki lebih mendetail, Bao Ling. Meraba dengan asumsi malah
merunyamkan masalah. Karena ini menyangkut taktik militer. Tentu kita tidak
ingin kecolongan lagi, bukan?”
“Tentu,
Asisten Fa!” Bao Ling mengangguk tegas. “Atau, apakah pengaruh subtilitas dari
ibu kandungnya lebih kuat ketimbang ambisi politik Temujin sehingga dia
terpengaruh….”
“Betul!” Fa Mulan sontak menegakkan badannya.
Kali ini kalimatnya menyalibi praduga Bao Ling yang terlontar ragu. “Intuisi
kebaikan yang terpancar dari seorang perempuan!”
“Maksud
Asisten Fa….”
“Perempuan
diyakini mewakili suara dari langit, Bao Ling. Perempuan di sini yang saya
maksud tentu saja ibu kandung Kao Ching. Dan sebagaimana layaknya perempuan
biasa Tionggoan, dia pasti juga tidak menyetujui perbuatan segelintir petinggi
militer yang bernama perang tersebut.”
“Betul,
Asisten Fa,” Bao Ling mengangguk akur. “Meski dia dipelihara dan dibesarkan
oleh Temujin, tapi dia masih lebih dekat dengan ibu kandungnya. Dia itu lebih
Tionggoan ketimbang Mongol!”
“Pantas….”
“Dia
tidak menyetujui rencana penyerangan pasukan Mongol ke Tionggoan.”
“Mungkin
karena ibunya orang Tionggoan.”
“Salah
satu faktor. Tapi, memang bukan perkara mudah menjelaskan alasannya yang
terbilang aneh itu, Asisten Fa.”
“Betul.
Pasti ada alasan lain.”
“Dan
sampai kini masih menjadi misteri bagi kita.”
“Sungguh
aneh!”
“Tapi,
apakah itu bukan merupakan taktik Kao Ching agar kita lengah, Asisten Fa?!”
“Maksudmu….”
“Maksud
saya, dia pura-pura menentang kehendak Temujin menyerang Tionggoan agar kita
mengendurkan pengawasan di perbatasan Tembok Besar ini. Membingungkan kita, dan
membuat kita bertanya-tanya perihal kontradiksi yang dilakukan oleh
ayah-beranak itu!”
“Jadi….”
“Yah,
mungkin saja itu strategi mereka, Asisten Fa.”
“Tapi….”
“Kita
mesti waspada.”
“Tentu.
Apa saja bisa menjadi musuh kita. Kawan bisa jadi lawan. Begitu pula
sebaliknya. Lawan bisa jadi kawan. Tapi, tentu saja saya berharap Kao Ching
merupakan pihak dalam alternatif terakhir itu. Lawan yang menjadi kawan.”
Fa
Mulan terbahak.
Bao
Ling mengirami tawa kecil sahabat seintelektualnya. Satu-satunya gadis langka
yang pernah ditemuinya seumur hidup. Perombak segala kultur turun-temurun
ribuan tahun di Tionggoan!
“Ya,
apa saja bisa terjadi dalam peperangan, Asisten Fa,” tutur Bao Ling di ujung
tawanya. “Tapi, selama bersamanya di dalam ajang sayembara di Kiangsu beberapa
waktu lalu, saya memang tidak pernah melihat sosok Kao Ching yang mengarah
jumawi. Maksud saya, dia merupakan pendekar yang tergolong defensif, dan sangat
menghindari publisitas yang berkembang dalam dunia persilatan. Dia juga tidak
tampak pongah ketika menjuarai sayembara memanah tersebut. Meskipun dia
introver, tapi sosoknya cukup bersahaja.”
“Semalam
saat bertarung dengannya, saya merasa tidak sedang berduel dengan musuh. Saya
yakin, dia tidak menggunakan seluruh kemampuannya saat berelahi kemarin.
Justru, pertarungan kami kemarin berawal dari saya sendiri. Sayalah yang memicu
pertarungan tersebut. Sayalah yang mendesaknya agar mau membeberkan identitas
dirinya sehingga dia terpaksa meladeni saya berkelahi karena menolak.”
“Pendekar
langka.”
“Salah
satu pendekar paling unik yang pernah saya tahu.”
“Betul,
Asisten Fa. Dia seperti perpaduan harmonis alam gurun yang buas dengan
keindahan selatan Tionggoan. Ketangkasannya berkuda sembari melesatkan anak
panah ke titik sasaran danuh merupakan keterampilan yang tiada tara.”
“Hebat!”
“Konon
dia juga dapat melesatkan sekali anak panah dengan dua sasaran rajawali di
udara kena sekaligus jika sejajar seiringan. ”
“Hah?!”
“Makanya,
dia dijuluki Si Pendekar Danuh.”
“Kalau
begitu, saya termasuk orang yang beruntung dapat bertarung dengannya kemarin,
Bao Ling.”
“Padahal,
dia jarang mau bertarung!”
“Oya?”
“Buktinya,
dia tidak pernah mau mengikuti sayembara duel yang diselenggarakan sekaligus
dengan sayembara memanah dan prosa.”
Fa
Mulan menikmati semilir angin yang bertiup dari bukit menyusur lembah
perbatasan Tembok Besar. Sejenak dibiarkannya pipinya tertampar, enggan mengalihkan
kepalanya dari serbuan angin. Gelungan rambutnya yang sebahu bergoyang-goyang,
beberapa helai bilah rambutnya yang kecoklatan itu melambai-lambai. Dari
kejauhan ia tampak anggun dengan pedang Mushu-nya yang kali ini menyampir di
pundaknya.
Diam-diam
Shang Weng melihatnya terpesona.
Sejak
pertengkaran mereka seminggu lalu, memang ada jarak yang mengantarai mereka.
Hubungan mereka tak lagi seakrab dulu. Shang Weng menyesal. Kadang-kadang ia
menyadari dirinya memang terlalu kekanak-kanakan, egosentris, serta terlalu
mementingkan gengsi dan harga diri.
“Jadi
bagaimana dengan belati itu, Asisten Fa?” tanya Bao Ling, melirik belati
bersarung emas yang menyampir di ikat pinggang Fa Mulan.
“Kalau
berjodoh, belati rajawali ini pasti akan kembali lagi ke tangan Kao Ching.”