di
sepanjang tangga istana
langkahnya
seirama tabal
yang
ditabuh pendekar Tionggoan
gadis
junjungan langit Fa Mulan menapak perlahan
Di
puncak itu Sang Kaisar menyambutnya
sebab
ia telah berjaya menyelamatkan Tionggoan
tetapi
ia menolak, menggeleng dengan wajah lesi
katanya,
ini hanya langkah kecil kemanusiaan!
Karena
aku hanyalah sehelai yang-liu
yang
tak berdaya di rimba samsara
Bao
Ling
Prajurit
Garda Langit
“Prajurit
Divisi Kavaleri Fo Liong sudah memukul mundur pasukan pemberontak Han di
perbatasan Tembok Besar!” Bao Ling menyampaikan kabar pemotivasi kepada Fa
Mulan. “Saya juga mendapat kabar, Kaisar Yuan Ren Zhan akan segera mengirim
beberapa ribu prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong untuk membantu kita, memperkuat
pertahanan di Tung Shao ini.”
Fa
Mulan tidak menanggapi.
Diulurkannya
sepasang tangannya di lidah unggun. Meskipun musim salju sudah mulai bergeser,
tetapi partikel dingin belum lagi hilang benar dari puncak bukit. Noktah-noktah
putih salju masih terlihat menangkup di sana-sini seperti teratai. Indah
sekali.
Sudah
sebulan momentum fenomenal itu lewat. Tetapi Fa Mulan tetap mawas. Tidak mau
lengah barang sekejap. Karenanya, ia menolak undangan Jenderal Gau Ming agar
dirinya hadir dalam seremoni keberhasilan yang akan diselenggarakan di Istana
Da-du.
Lagipula,
ia masih menyertai Shang Weng yang masih dalam tahap penyembuhan, setelah
terluka parah dalam sebuah pertempuran di dusun bawah bukit kurang lebih satu
setengah bulan lalu.
“Kaisar
Yuan Ren Zhan juga akan mengadakan Festival Barongsai,” tambah Bao Ling, turut
menjulurkan tangannya ke lidah api. “Hampir semua pendekar hebat Tionggoan akan
hadir di Istana Da-du
Fa
Mulan mendengus. “Seharusnya Kaisar Yuan Ren Zhan tidak boleh bereuforia
begitu!” ujarnya dengan nada tidak senang.
Kabar
gembira yang disampaikan Bao Ling barusan malah menggundahkan hatinya. Tetapi
ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurungkan ekspresifitas euforia Kaisar
Yuan Ren Zhan di Ibukota Da-du.
Bao
Ling terbahak.
Deretan
giginya yang gading menyembul indah. Ada pancaran intelektualitas di sana.
Tidak bernada melecehkan. Fa Mulan melirik sesaat, lalu memalingkan kembali
kepalanya ke arah lidah unggun, seperti tak mengacuhkan kehadiran pemuda itu
dengan menggosok-gosok telapak tangannya di lidah unggun.
“Saya
kagum sama Anda, Asisten Fa,” ujar Bao Ling, lalu menderaikan tawanya kembali
di ujung kalimat.
“Kagum
kenapa?”
Fa
Mulan menelengkan kepalanya, seolah memosisikan indera pendengarannya agar
dapat menangkap desibel suara lawan bicaranya dengan jelas tanpa harus
memalingkan wajah.
“Selama
ini tidak ada yang berani mengeritik Kaisar Yuan Ren Zhan.”
“Apa
tidak boleh?”
“Boleh
saja,” Bao Ling tersenyum. “Tapi….”
“Tapi
apa?!” Fa Mulan menghentikan aktivitas menghangatkan badan. Menatap pemuda
berwajah bersih di hadapannya yang kini sudah terkikik.
“Tentu
saja kalau bernyali besar, siap-siap kehilangan kepala,” lanjut Bao Ling,
menaruh telapak tangan di lehernya, lalu menariknya untuk menggambarkan kalimat
penggal yang ia maksud.
“Kalau
semua orang memiliki sifat megalomania begitu, apa jadinya dengan dunia ini?!”
Fa Mulan menyergah, merapatkan baju hangat kulit rusanya.
“Kalau
tidak ada orang yang seperti kaisar atau Jenderal Shan-Yu, dunia ini akan
terasa sepi,” tepis Bao Ling, duduk di salah satu akar tebangan batang pinus.
“Tawar seperti air di Sungai Yangtze.”
“Dalih
keesepian tidak boleh dijadikan alasan untuk saling membunuh!” Fa Mulan
mengerutkan wajahnya seperti kurang senang dengan alasan Bao Ling. “Tidak ada
kedamaian. Hanya diisi dengan perang dan perang!”
“Mungkin
itulah seninya hidup.”
“Itu
asumsi. Padahal, di luar dari pertumpahan darah, banyak hal yang dapat
memperindah hidup. Banyak hal yang dapat mengusir sepi yang menjadi asumsimu
tadi.”
“Saya
tidak paham, Asisten Fa. Saya hanya belajar dari fenomena alam. Seperti siklus
hidup. Sesuatu yang radiah untuk mempertahankan hidup. Merupakan rantai
karnivora dan herbivora pada hewan misalnya. Bukankah kita juga begitu. Hanya
seorang prajurit. Digembleng, latihan, dan berperang. Kalau tidak ada perang,
apa gunanya kita sebagai prajurit?!”
“Tapi,
manusia dibekali dengan akal!” Fa Mulan membantah. “Agar kita dapat memilah
mana jalan yang baik, dan mana yang salah. Seperti manusia, hewan pun begitu.
Hewan dibekali dengan insting. Mereka
diberi naluri untuk mengendus, mana jalur terbaik memperoleh makanan dan tempat
yang cocok untuk berkoloni sebagai eksistensi kehidupan.”
“Tapi….”
“Bao
Ling, eksistensi kehidupan itu tidak sesederhana apa yang kamu bayangkan.”
“Maksud
Asisten Fa?!”
“Denyut
nadi dunia tidak hanya terletak pada bagaimana makhluk hidup itu berkembang
biak dan mempertahankan hidup. Tapi lebih dari itu, bagaimana kehidupan makhluk
hidup itu dapat berselaras dengan alam. Sehingga akan terbentuk keharmonisan.
Seperti Tao Te Cing .”
“Saya
tidak menyangka Asisten Fa dapat memahami filsuf Tao.”
“Sewaktu
di kampung, saya diajari banyak hal oleh Guru Fang Wong.”
“Fang
Wong?!”
Fa
Mulan mengangguk. “Selain wushu Taichi Chuan, beliau juga mengajarkan saya
banyak filsafat indah Tao. Tentang harmonisasi dan inharmonisasi hidup kita
dengan alam.”
“Hebat!”
Bao Ling berdecak kagum. “Pantas Taichi Chuan begitu dahsyat. Padahal, hanya mengandalkan
tenaga lawan sendiri sebagai senjata kita.”
“Tentu.
Karena sesungguhnya alam telah memberi kita beragam arteri. Inharmonisasi tentu
akan mengacaukan siklus. Sehingga terjadi disfungsi yang mereduksi diri
sendiri,” papar Fa Mulan, mereplikasi kalimat bijak yang pernah didengarnya
dari gurunya, Fang Wong, semasa kecilnya di kampung dulu. “Kamu pernah mendengar
tentang pendekar Auw Yang Pei San?”
Bao
Ling mengangguk. “Pendekar Telapak Penghancur Tengkorak, pendekar batil dari
Pulau Bunga!”
“Betul.
Dia merupakan contoh nyata tentang inharmonisasi, absurditas negatif yang
mencelakakan dirinya sendiri.”
“Bukankah
dia sudah meninggal, Asisten Fa?”
“Meninggal
termakan oleh ketamakan dirinya sendiri. Sesungguhnya, Auw Yang Pei San adalah
pendekar hebat. Sayang dia sangat ambisius untuk dapat mengalahkan semua
pendekar yang ada di dunia ini. Dia mempelajari semua ilmu silat. Apa saja.
Tanpa memilah-milah ilmu silat tersebut. Tanpa menyeleksi dari golongan dan
kalangan apa ilmu silat itu berasal, hitam atau putih.”
“Pantas….”
“Suatu
hari dia mencuri Kitab Aurora ciptaan Chie Pek Tong ketika pendekar tua itu
sedang bertapa. Auw Yang Pei San mengaplikasikan ilmu silat Aurora yang,
sebenarnya belum rampung ditulis oleh Pendekar Kekanak-kanakan tersebut. Karena
terjadi disinteraksi antara ilmu Aurora tersebut dengan karotis dan serabut
kelabu di otaknya, maka dia pun mengalami paranoia. Setahun kemudian dia
meninggal karena pecahnya pembuluh darah di kepalanya,” papar Fa Mulan
berpanjang-lebar. “Itulah kompensasi inharmonisasi dengan alam.”
Bao
Ling mengangguk mafhum.
Sewaktu
masih berstatus pelajar, ia memang banyak mempelajari filsafat dari filosofi
besar Konfusius dan Lao Tzu. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperkaya
Tionggoan dengan khazanah budaya. Pemikiran mereka selaras dalam damai, jauh
dari pikuk pertumpahan darah yang bermuasal dari ambiguitas ambisi.
Dan
apa yang telah didengarnya dari Fa Mulan telah mengsingularis sebuah pemahaman
tentang kuintesens alam di benaknya. Satu hal yang belum disadarinya betul.
Satu hal yang belum tentu dapat diperolehnya dari serangkaian hari yang
dilaluinya di bangku perguruan.
Gemintang
masih membenderang.
Titik-titik
yang memutih keperakan itu bagai pusar quasar yang menghitung peradaban
manusia. Tanah tua yang ringkih dan lelah bernama bumi itu pasti jenuh
menyaksikan pembantaian anak-anak manusia yang memijaki dan membasuhnya dengan
kucuran darah seolah tanpa henti.
Fa
Mulan masih mengarca. Masih pula menghangatkan sepasang tangannya yang jenjang
pada bara abnus. Bao Ling mengisi benaknya dengan kalimat subtil. Mungkin
semacam sangu untuk kearifannya kelak.
“Asisten
Fa, menurut Anda, apakah Kaisar Yuan Ren Zhan bijak atau tidak?” Bao Ling
bertanya, memecah kebisuan. Suaranya ditelan kesunyian malam.
“Menurutmu
bagaimana?” Fa Mulan balik bertanya, mencoba menambah bara unggun yang mulai
meredup dengan kayu bakar baru.
“Yang
jelas, Kaisar Yuan Ren Zhan tidak sebengis ayahnya!”
“Perubahan
ke arah yang lebih baik, itu kemajuan. Meski hanya sebuah langkah kecil, tapi
itu merupakan kemajuan besar bagi terciptanya kedamaian di Tionggoan ini.”
“Tapi,
musuh-musuh seperti terus-menerus merongrongnya. Saya khawatir hal itu membuat
Kaisar Yuan Ren Zhan menjadi bengis seperti ayahnya, Kaisar Yuan Ren Xing.”
“Tergantung
bagaimana Kaisar Yuan Ren Zhan menyikapi semuanya itu.”
“Maksud
Asisten Fa?!”
“Musuh
selalu ada. Kebatilan dan kebajikan senantiasa seiring di dunia ini. Musuh
adalah iblis yang selalu bersemayam di benak dan pikiran kita. Kalau kita menuruti
hawa nafsu, maka musuh akan bertambah kuat. Jadi genosida atas musuh atau lawan
kita sama juga menjadikan kita musuh di mata musuh. Balas dendam akhirnya
seperti tanpa batas.”
“Jadi
menurut Asisten Fa, harus bagaimana kita menyikapi musuh-musuh kita?”
“Fenomena
alam telah mengajarkan kepada kita, bahkan jauh sejak belum terbentuknya
kehidupan di bumi ini.”
“Apa
itu, Asisten Fa?”
“Air.”
“Air?”
“Ya.
Air merupakan contoh nyata tentang kekuatan yang mahadahsyat. Air dapat
mengikis karang. Tapi air merendah. Bahkan air menghidupi semua makhluk hidup
tanpa pandang bulu.”
“Saya
sama sekali tidak dapat menduga kalau Asisten Fa dapat sedetil itu menghayati
fenomena alam.”
“Saya
hanya mereplikasi fenomena alam tersebut.”
“Tapi
hal itu sudah membawa banyak manfaat besar dalam kehidupan Anda, Asisten Fa.”
Fa
Mulan mengangguk. “Manusia berhati luhur, rendah hati, dan tidak sombong
merupakan personifikasi air. Setiap orang dapat mengejawantah serupa air. Sebab,
setiap manusia membawa benih-benih dan nilai-nilai kebajikan pada saat
terlahir. Begitu pula sebaliknya. Semuanya itu terkandung di dalam setiap
nurani manusia.”
“Apakah
Kaisar Yuan Ren Zhan dapat mengaplikasikan sifat alamiah air itu, Asisten Fa?”
“Kenapa
tidak? Kaisar Yuan Ren Zhan memiliki potensi itu. Jauh lebih besar ketimbang
rakyat jelata.”
“Saya
belum terlalu paham, Asisten Fa.”
“Dengan
autokrasi yang dimilikinya, Kaisar Yuan Ren Zhan dapat mengejawantahkan
kebajikan seluas-luasnya. Mula-mula mungkin di lingkungan keluarga dan Istana.
Kemudian berkembang ke lingkup yang lebih luas, rakyat dan negara.”
“Tapi,
sejauh ini saya jarang mendapati ada tokoh kaisar semacam itu dalam lektur
filsuf manapun, Asisten Fa. Kebanyakan kaisar di Tionggoan merupakan
figur-figur tiran dan lalim.”
Fa
Mulan mengangguk. “Benar. Mayoritas kaisar yang berkuasa di Tionggoan memang
seperti yang kamu katakan tadi.”
“Kenapa,
Asisten Fa?” tanya Bao Ling penasaran.
Fa
Mulan menjawab dengan memantominkan kalimatnya. Kedua tangannya terangkat
memperagakan maksud yang hendak disampaikan dengan jelas kepada Bao Ling.
“Karena
mereka telah terikat oleh benang merah masa lalu. Masa lalu yang melilit mereka
dalam angkara. Maka, yang terjadi adalah penggulingan kekuasaan dan kudeta dari
waktu ke waktu!”
Bao
Ling manggut-manggut. “Saya harap hal miris tersebut tidak terjadi terhadap
Kaisar Yuan Ren Zhan!”
“Tentu.
Supaya ada kemajuan dalam langkah peradaban!” tukas Fa Mulan tegas.
Bao
Ling kembali mengangguk.
Ada
intensitas rasio yang menerang dalam benaknya seperti pancaran gemintang dari
hasil nova. Setapak kecil langkah bijak manusia, merupakan langkah besar
peradaban dunia. Pulsar subtil itu sampai ke dasar hatinya. Membentuk sebait
arif pemahaman.
“Malam
ini saya mendapat satu pengalaman batin yang sangat berharga melalui Asisten
Fa,” aku Bao Ling jujur.
Fa
Mulan tersenyum. “Kamu banyak membaca lektur Konfusius, bukan?”
Bao
Ling mengangguk. “Sering, Asisten Fa.”
“Nah,
kalau begitu kamu pasti akan memahami apa yang telah saya katakan,” ujar Fa
Mulan.
“Terima
kasih, Asisten Fa. Sungguh, saya sama sekali tidak menyangka Asisten Fa dapat
seserba bisa seperti ini.”
“Maksudmu….”
“Maksud
saya, Fa Mulan adalah seorang gadis yang luar biasa.”
Fa
Mulan terbahak. “Semuanya hanya replikasi. Saya hanya menyampaikan apa yang
telah saya dengar dan baca. Selebihnya, tidak ada. Jadi, tidak ada yang patut
dibanggakan pada diri saya.”
“Anda
terlalu merendah, Asisten Fa!”
“Itulah
sifat air!”
Fa
Mulan kembali terbahak.
Bao
Ling turut melepaskan tawanya mengiramai tawa gadis atasannya itu.
Di
balik celah daun tenda, sepasang mata menatap dengan rupa ganjil.