“Namanya Tong Hui Kong,
Nyonya Fa!”
“Oh, ya, ya. Ah, saya
selalu lupa nama calon suami untuk Mulan, A Lang. Ya, semoga dia pemuda yang
baik.”
“Jangan khawatir, Nyonya
Fa. Pemuda itu berasal dari keluarga terpandang. Orangtuanya sangat kaya. Saya
yakin dia merupakan suami yang paling tepat untuk Nona Fa.”
“Ya, ya. Semoga mereka
cocok. Supaya saya dapat lekas menimang cucu laki-laki.”
Fa Li
Calon Suami untuk Putriku
***
Tionggoan (1208-1244 M)
Satu kalpa setelah
pembebasan Tsun Gokong dari kurungan goa Dewata di langit, maka layaknya
fenomena alam yang sering terjadi, meledaklah sebuah bintang mahabesar ke
segala penjuru jagad raya nan pekat gulita. Partikel debu berpencaran,
mengelana membentuk sebuah kehidupan baru. Maka terbentuklah semesta hasil
nova. Bimasakti, sebuah galaksi raksasa dengan paradigma kehidupannya yang baur.
Gadis itu embusan dari
langit.
Ia diberi kekuatan
terpendam chi Dewata. Setangkai kembang Magnolia Dewata yang diturunkan dari
nirwana untuk meluruskan sebagian dari sejarah manusia yang babur. Para
pembatil yang mengisi bumi dengan pertumpahan darah. Dan ketika kekuasaan
memporak-porandakan peradaban, maka ia hadir sebagai pahlawan. Sebuah
predestinasi yang telah digariskan oleh Sang Khalik.
“Mulan….”
Putri tunggal Keluarga Fa
itu berlari seperti biasa. Ditinggalkannya teko berisi teh hijau yang baru saja
hendak diseduhkan untuk ayahnya. Teriakan yang lebih menyerupai lengkingan itu
mesti digubris, melalaikan rutinitas pagi atas inisiatif pengabdian terhadap
ayahnya. Kalau tidak, pasti ada teriakan lain yang datang susul menyusul seolah
tanpa henti. Teriakan berarogansi yang lebih berisik dari sangkakala sepanjang
lima depa milik para Lama Tantrayana di Kuil Potala, Tibet.
Ia masih berlari.
Dilewatinya selasar
halaman tengah rumah sampai berhenti di ruang dalam rumah. Perempuan gemuk itu
sudah menanti dengan wajah berkerut seperti kulit jeruk yang meringsing.
Berkacak pinggang sembari menatap nanar ke kedalaman sepasang matanya.
Dilihatnya perempuan
bernama Fa Li itu menggeleng-geleng kepala. Cetusan tingkah antipati tersebut
sudah terbaca dalam benaknya, bahwa ibunya itu tidak senang melihat sikap
seorang Fa Mulan, putri tunggalnya. Namun, sedari dulu juga perempuan itu memang
begitu. Sebab, ia sadar, ia memang keras kepala lantaran tidak mau manut barang
sebentar pun menjadi perempuan sesuai keinginan ibunya itu.
Nyaris sepanjang hidup,
perempuan itu berharap sangat agar anak gadisnya dapat menjadi perempuan.
Tetapi rupanya Dewata bergeming, mungkin begitu pikirnya. Anak gadis
satu-satunya tumpuan harap jauh panggang dari api. Asanya lantak berderai. Apa
yang salah pada dirinya? Mungkinkah ada benang merah kesalahan dan dosa masa
lalu yang pernah dilakukannya sehingga membuahkan karma buruk pada kehidupannya
sekarang?!
“Mulaaaaan!”
“Sabar sedikit, Ibu!”
Dilihatnya perempuan itu
mengentakkan kakinya ke lantai. Ya, Dewata! keluhnya. Ia benci melihat hal itu.
Suatu kebiasaan yang tidak terpuji. Ya, tidak terpuji. Sebab ia tahu benar,
kalau sudah begitu, maka serentetan kalimat bernada sinis akan keluar dari
mulut lebar ibunya tersebut.
Dan apa yang telah
terbayangkan sebelumnya memang telah menjadi kenyataan. Sekedip mata kemudian
perempuan bertubuh besar itu pun telah misuh-misuh serupa bunyi tutup teko
tembikar akibat ruapan air mendidih di atas tungku api.
“Ada apa, Ibu?!”
Sejak lahir, ia memang
tidak pernah dianggap. Pasalnya, ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan
mengharapkan sang Janin akan terlahir laki-laki. Perempuan itu mengidam-idamkan
anak laki-laki. Karena, hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan
marga Fa. Namun semua angan perempuan itu melayang ke langit kala mendapati
kenyataan bahwa sang Janin yang dilahirkannya ternyata berkelamin perempuan.
Ya, Dewata!
Alangkah kecewanya
perempuan itu sampai-sampai pernah mengutuk dan mengatakan kalau sang Bayi
mungil tersebut merupakan jelmaan iblis yang memangsa janin laki-laki yang
dikandungnya.
“Sudah dua hari Shang Weng
tidak mengunjungimu. Kemana dia?!”
Ia mengembuskan napas
keras. Sejenak mematung serupa sano. Pandangannya mendadak verba seiring sontak
umpat yang berloncatan di benaknya. Ya, Dewata! Sungguh, sungguh ia keliru
menafsir apa yang menjadi sumber kegusaran ibunya yang tidak beralasan hari ini.
Sumpah, disangkanya ada serbuan asing dari pasukan pemberontak Han yang sudah
takluk, kembali lagi ke barak-barak mereka di Utara, atau invasi Mongolia ke
Da-du yang gagal. Namun, ternyata hanyalah pertanyaan kiasan selitani prosa Lao
Tzu, yang sudah dihapalnya dalam benak sampai terbawa mimpi.
Untuk itu, ia menggerutu
dalam hati. Terus-terang, ia tidak mau bersitegang dan beradu mulut dengan
ibunya lagi. Sekian belas tahun, setiap hari dan setiap waktu, pertengkaran
merupakan warna dalam hidupnya. Pertengkaran sudah menjadi ritualitas yang
mesti dimafhumi. Sungguh, ia sudah lelah. Sangat lelah.
Shang Weng yang dimaksud
ibunya itu tidak lain adalah pemimpin para prajurit di Kamp Utara, Tung Shao.
Bersamanya, mereka bahu membahu melawan pasukan pemberontak Han pimpinan Han
Chen Tjing yang berkonspirasi dengan Jenderal Shan-Yu untuk menggulingkan
kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia tahu, setelah ibunya itu mengetahui Shang
Weng jatuh hati kepadanya, maka sontak ibunya menganggap hal tersebut merupakan
anugerah yang terindah dalam hidupnya.
Tentu saja.
Selama ini, ibunya pasti
sudah bosan mendengar rumor tetangga tentang statusnya yang masih melajang. Dan
sudah barang tentu pula sebagai ‘ibu yang baik’, perempuan itu tidak ingin
putrinya dijuluki perawan tua.
Saban hari ibunya
diresahkan dengan masalah ‘calon pendamping’ dan ‘calon pendamping’ yang belum
kunjung tiba untuk putri tunggalnya. Padahal, gadis-gadis sebaya seorang Fa
Mulan sudah banyak yang dipinang orang. Berstatus istri, menjadi ibu rumah
tangga, dan melahirkan anak laki-laki yang lucu-lucu serta montok-montok. Sudah
sekian tahun pula perempuan itu pasti merindukan dapat menimang seorang cucu.
Cucu laki-laki!
Namun, ia sadar, renjana
indah ibunya itu ambyar setelah mengetahui seorang Fa Mulan malah berkorban
mendaftarkan diri sebagai prajurit wamil menggantikan ayahnya yang sudah tua.
Ya, Dewata! Meski tidak melihat sendiri, ia tahu perempuan itu pasti menangis
tiga hari tiga malam sampai-sampai airmatanya mengering.
Bukan karena sedih takut
terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap seorang Fa Mulan, tetapi
lebih karena semua harapannya, menimang cucu laki-laki, telah hancur
berantakan. Bukan itu saja. Ia menangis sejadi-jadinya karena sadar kalau anak
gadisnya yang baru jalan tujuh belas itu bahkan, akan semakin menjadi laki-laki.
“Dia sibuk mengurus
negara!” jawabnya enteng menanggapi pertanyaan ibunya yang kesusu. “Mana bisa
hanya mengurusi Fa Mulan seorang saja?!”
“Sibuk?!” Perempuan
bernama Fa Li itu balik bertanya, mengerutkan kening, membentuk empat garis
tipis pada dahinya. Ya, Dewata! Di matanya, perempuan itu tampak lebih tua dari
usia Tembok Besar. “Tapi, sudah dua hari dia tidak ke rumah kita!”
“Dua tahun juga tidak
apa-apa!” timpalnya dengan kalimat seringan gingkang. “Baru juga dua hari tapi
Ibu seperti kebakaran kucir saja!”
“Eh, anak ini!” Dilihatnya
kembali perempuan itu berkacak pinggang. Matanya semelotot ikan maskoki.
“Ditanya….”
“Habis….”
“Kalau Ibu menanyai
kamu, itu berarti Ibu peduli sama kamu! Itu berarti Ibu sayang sama kamu!
Bukannya sok mengatur hidup kamu!”
“Iya, tahu!” Ia mendengus,
melengos dengan rupa tidak senang. “Kapan Ibu tidak mengatur hidup saya?!”
“Eh, tega-teganya kamu
bilang begitu kepada Ibu, ya?!”
“Memang dia lagi sibuk!”
“Mulan!” Perempuan separo
baya itu menghela napas, matanya mendelik dan memejam hampir bersamaan. “Kalau
ditanya, jangan membangkang begitu!”
Ia mengusap wajah. “Habis,
saya harus bilang apa, Ibu?! Semua perkataan saya selalu salah. Apa-apa pasti
salah!”
“Ingat, Ibu marah
demi kebaikan kamu juga.”
“Kebaikan apa kalau
selama ini saya selalu merasa tersisih, disudutkan sejak dulu. Ibu memang tidak
pernah bersikap adil terhadap saya!”
“Ibu mana yang tidak
ingin melihat anaknya bahagia, Mulan?!”
“Oh, jadi apa yang
selama ini Ibu lakukan untuk saya semata-mata demi membahagiakan saya?!” Ia
membeliak, sedikit merasa gusar saat kenangan lama masa kanak-kanaknya yang
terkekang oleh kelakuan seorang Fa Li mengiang kembali di benaknya. “Apakah
kelakuan Ibu yang otoriter itu dapat dianggap membahagiakan hidup saya?!”
“Kamu terlalu naif
menanggapi didikan keras Ibu!”
“Ibu bukan mendidik keras
supaya saya disiplin, bukan itu! Tapi apa yang Ibu lakukan terhadap saya selama
ini merupakan ketidakadilan. Ya, ketidakadilan!”
“Cukup, Mulan!” bentak
perempuan itu. “Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi orang dan pahlawan Yuan
sehingga berani melawan Ibu!”
“Saya tidak melawan Ibu.
Saya bukan membantah Ibu. Tapi saya hanya ingin Ibu membuka mata atas apa yang
telah Ibu lakukan terhadap saya.”
“Oh, Dewata nan Agung!”
Dilihatnya dengan ekor matanya ibunya mendongakkan kepala, seperti menerawangi
atap rumah untuk berbicara dengan Sang Penguasa Langit nun jauh di atas sana.
“Beginikah hasil yang saya peroleh setelah bersusah-payah membesarkan anak
ini?!”
“Sudahlah, Ibu. Jangan
meratap-ratap seperti anak kecil begitu lagi. Percuma. Dewata tidak akan
menggubris tangisan Ibu. Dewata pasti tahu kelakuan Ibu yang tiran sejak dulu
terhadap saya!”
Ya, Dewata!
Setiap hari perempuan
bertubuh besar serupa guci air itu marah-marah. Seolah-olah seorang Fa Li
sedang melakoni satu peran sebagai ibu tiri dalam sebuah opera. Dan seorang Fa
Mulan adalah anak tirinya yang mesti ditimpali dengan amarah. Entah karma apa
yang telah ditanamnya pada masa lampau sehingga menuai ironi di masa sekarang.
“Mulan! Tega-teganya kamu
bersikap begitu terhadap Ibu!”
Dilihatnya perempuan
separo baya itu berlari ke sudut ruang. Mengempaskan pinggulnya yang besar ke
bangku, serta menelungkupkan kepalanya yang sebesar lampion ke atas meja kayu.
Ia tersedu. Menangis sesenggukan tanpa airmata.
Ia mencibir dari belakang.
Ibunya selalu begitu. Kalau sudah terdesak, maka ia pasti mengeluarkan airmata,
meraung-raung seperti bayi. Lalu skenario berikutnya, ia akan menjerit-jerit
dan memukul-mukul dadanya sembari menyebut sederet nama leluhur Keluarga Fa.
Leluhur Keluarga Fa yang sudah mengembara ke alam baka. Leluhur Keluarga Fa
dari generasi pertama sampai mutakhir.
Herannya, perempuan itu
dapat menghapal ratusan bahkan ribuan nama berantropologi Fa! Jadi kalau sudah
begitu pula, ia pasti mendengar seorang Fa Li merunut nama sesepuh Fa satu per
satu, seperti malaikat penjaga kubur sedang membaca daftar nama orang yang
sudah meninggal, yang antri hendak ke nirwana!
“Oh, para leluhur Keluarga
Fa! Karma apa yang saya perbuat hingga putri kandung saya sendiri, Fa Mulan,
berani menentang saya?! Oh, dosa dan kesalahan apa yang telah saya perbuat pada
kehidupan yang lalu sehingga ditimpakan kesengsaraan ini?!”
“Sudahlah, Ibu! Tidak usah
bermain opera begitu! Toh Ibu tidak bakal terpilih lagi sebagai protagonis.
Sekarang, Ibu bukan lagi Dewi Purnama. Ibu sudah tua!”
Perempuan itu semakin
meraung-raung seperti bayi. Ya, Dewata! Entah apa yang harus ia perbuat kini.
Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi tingkah kekanak-kanakan ibunya
itu meski ia tahu, semua tingkahnya tersebut hanya pura-pura. Sekian belas
tahun diakrabinya kelakuan tengil ibunya sehingga tahu aktualitas dan
kebohongan yang hanya setipis sebilah rambut. Apologis dan pembantahan hanya
akan merunyamkan masalah. Lalu pada akhirnya, bukannya menyudahi kelakuan
tengilnya, perempuan itu malah semakin menjadi-jadi. Ia akan memukul-mukul
papan meja dengan kedua belah telapak tangannya dan sesekali
membentur-benturkan kepalanya di atas papan meja, pelan.
Ia tahu, akar
permasalahannya bermuasal dari sini. Karena ia perempuan. Bukan laki-laki. Ya,
Dewata! Sepele memang. Namun efek yang ditimbulkan dari genderisasi tersebut
telah menjadikannya orang yang terbuang dari Keluarga Fa.
Seingatnya, nyaris tidak
ada persoalan serius dalam keluarganya. Tetapi bagi ibunya, sebuah persoalan
sepele apapun yang menyangkut seorang Fa Mulan akan mendatangkan kiamat.
Terlambat bangunlah. Cucian yang hilang di sungailah. Terlalu dekat dengan
teman laki-lakilah. Sampai cara ia tertawa, berbicara, dan berjalan pun selalu
mendatangkan kritik serta masalah!
Masih terngiang pula,
sarat beban yang mesti dipikulnya sebagai seorang gadis yang beranjak
akil-balig empat tahun silam sebelum ia menyusup dan menyamar sebagai laki-laki
ke dalam kamp militer Yuan. Menikah di usia belia merupakan pilihan dan jalan
satu-satunya dalam hidupnya sebagai seorang perempuan. Sebuah beban psikis yang
tidak pernah dapat diterimanya dengan legawa.
Ia dibentuk untuk menjadi
perempuan yang sesungguhnya. Ia ditempa untuk menjadi ‘orang lain’, yang manut
pada aturan baku dan leluri. Namun jujur ia tidak bisa. Ia memberontak. Dan
sengaja menggagalkan acara penjodohan dengan laki-laki pilihan ibunya, seorang
pemuda dari puak terpandang atas perantara seorang makcomblang bernama Liem Sui
Lang.
Lalu ketika semuanya
lantak berderai, pembantahannya yang tanpa apologi tersebut ditimpali dengan
seribu serapah. Ia dipukul dan diusir oleh ibunya dari rumah. Pembelaan
untuknya justru selalu datangnya dari Fa Zhou, ayahnya yang lembut dan baik
hati.
“Anak tidak tahu diri!”
“Sudahlah. Jangan
menghukum Mulan sedemikian beratnya. Pernikahan tanpa didasari cinta bukanlah
tindakan bijak. Mulan berhak menentukan pilihannya sendiri. Kalau dia belum
siap menikah, sebagai orangtua, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Biarlah
jodoh Mulan diatur oleh Dewata. Bukannya kita!”
“Tahu apa kamu tentang
Mulan, Fa Zhou!”
Ya, pada dasarnya ia tidak
bisa berpura-pura menjadi orang lain. Ia tidak bisa menjadi perempuan kemayu
yang ditingkahi feminitas palsu. Ia tidak bisa bersandiwara. Ia ingin menjadi
dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seorang Fa Mulan yang ceria dan dinamis,
tidak diikat oleh sebuah pranata gender. Ia adalah seorang Fa Mulan yang
enerjik, bukan gadis pendiam serupa arca yang hanya tahu mengurusi tetek bengek
rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta menjadi budak bagi sang
Suami di atas peraduan.
Menurutnya, seorang gadis
tidak mesti melulu berurusan dengan rumah tangga dan dapur. Banyak hal yang
dapat dilakukan seorang gadis. Pasungan pranata telah melukai demikian banyak
hati perempuan. Mereka mati perlahan-lahan dalam kurungan emas sangkar madu.
Semestinya, seorang gadis tidak boleh dijajah lagi oleh adat istiadat yang
meleluri. Seorang gadis harus memberontak. Seorang gadis harus merombak kultur
gender yang sudah mendarah daging di Tionggoan.
Itulah sebabnya ia selalu
diam-diam mempelajari ilmu silat keluarga Fa, satu hal yang amat tabu bagi kaum
perempuan, Pedang Naga Fa dari kitab kuno karangan leluhur Keluarga Fa. Sebuah
mustika terpenting yang disimpan ayahnya di salah satu tumpukan buku sejarah
Keluarga Fa.
Dulu, ketika ayahnya
berlatih wushu, ia selalu mengintip dari balik tembok ruangan khusus tempat
latihan. Selang berikutnya, ia menghapal kemudian memperagakan ilmu silat yang
dilihatnya diam-diam tadi di dalam kamarnya. Dikembangkannya beberapa jurus
yang dianggap lebih dinamis. Setelah itu memperdalam lantas memperkaya salah
satu jurus keluarga Fa, Telapak Fa yang dahsyat. Bahkan, juga menciptakan
sendiri jurus-jurus baru. Di antaranya adalah Tinju Bunga Matahari yang gemulai
tetapi bertenaga, dan Tinju Hong Terbang yang gesit dinamik.
Namun lepas dari semua itu,
ia memang bukan gadis tipe calon ibu rumah tangga yang baik. Ia tidak memiliki
fisik ideal seperti dambaan banyak lelaki. Ia tidak memiliki pinggul besar yang
diyakini dapat memberikan banyak keturunan dan anak laki-laki kepada sang
suami, seperti kultur orang-orang Tionggoan selama ini.
Pinggulnya kecil. Dadanya
nyaris rata. Tubuhnya terlalu kurus. Bahkan terlalu kerempeng sehingga
menyerupai toya. Dan tingkahnya tidak gemulai layaknya gadis-gadis lain.
Ia sadar pula kalau ibunya
pernah menyesali memiliki putri seperti seorang Fa Mulan. Ibunya tidak pernah
bersikap manis kepadanya. Ibunya tidak pernah menunjukkan rasa sayang layaknya
ibu sejati kepada anaknya yang tunggal. Tidak ada afeksi dari perempuan gemuk
itu seperti dambanya selama ini.
Hanya ayahnya sajalah yang
sangat mencintainya.
Hanya ayahnya pulalah yang
sering memberinya semangat untuk tetap tegar setelah diantipati oleh ibunya.
Juga ayahnyalah yang menghiburnya setelah gagal di acara perjodohan beberapa
tahun lalu itu.
“Bunga-bunga bermekaran
pada musimnya. Namun, kadang-kadang ada bunga yang terlambat mekar pada saat
itu. Tapi kelak bunga yang terlambat mekar tersebut akan menjadi bunga
terindah. Ya, bunga terindah. Dan kamulah bunga itu, Mulan!”
Setiap mengingat kalimat
subtil itu, Fa Mulan langsung menitikkan airmata haru. Ayahnya merupakan
pahlawan dan guru terbaik dalam hidupnya. Karena itulah ia akan berbuat apa
saja demi membahagiakan lelaki tua tersebut. Bahkan mengorbankan nyawanya
sekalipun seperti yang telah dilakukannya empat tahun lalu. Saat itu ia
menggantikan posisi ayahnya mengikuti wajib militer yang diamanatkan oleh
Kaisar Yuan Ren Zhan dari Dinasti Yuan, agar seluruh keluarga di Tionggoan
wajib mewakilkan seorang putra menjadi prajurit untuk menghadapi serbuan
pasukan pemberontak Han yang sudah melintasi Tembok Besar. Juga
gangguan-gangguan kaum nomad Mongol di perbatasan Tionggoan.
Dan apa yang dikatakan
oleh ayahnya itu memang telah menjadi kenyataan. Ia telah menjadi pahlawan
perempuan yang menyelamatkan Tionggoan dari kehancuran. Kaisar Yuan Ren Zhan
generasi ketiga penerus Kekaisaran Yuan telah menganugerahinya gelar Prajurit
Besar Yuan. Mengalunginya dengan sebuah Medali Naga yang terbuat dari emas
murni. Itulah simbol dan penghargaan tertinggi yang belum pernah diperoleh
siapa pun di Dinasti Yuan. Bunga yang terlambat mekar itu telah mengembang.
Menyerbakkan keharuman yang tiada tara ke seluruh penjuru negeri Tionggoan.
Ketangguhan itu telah
ditunjukkannya kepada ibunya. Bahwa seorang perempuan yang bernama Fa Mulan
adalah bunga keluarga. Ia adalah berkah dari segala yang pernah dikutuk.
Ia adalah pahlawan.