BLOGKATAHATIKU - Sejak abad ke-14,
etnis Tionghoa masuk ke Makassar, dan hidup sebagai pedagang. Berkat kerja
keras dan komitmen akan pelayanan, kini mereka sudah menjadi salah satu
penunjang utama kemajuan industri di perkotaan.
Siapakah
pengusaha yang paling banyak tersebar di dunia? Mereka adalah para pengusaha
Tionghoa, yang tersebar di 168 negara di dunia. Menurut catatan 2010 lalu,
jumlah pengusaha Tionghoa perantauan mencapai 56 juta orang. Di Indonesia
sendiri, jumlah mereka diperkirakan sebanyak 10 juta orang.
Menurut
majalah China Economic Weekly dalam sebuah pemberitaanya, di tangan para taipan
ini tergenggam aset lebih 10 triliun dolar AS. Pengusaha Tionghoa perantauan
adalah satu kekuatan yang tak bisa diabaikan dalam dunia perbisnisan global. Hal
tersebut disampaikan Sekjen sekaligus asisten Ketua Asosiasi Akademisi
Pemasaran Tiongkok, sekaligus Jawatan Urusan Pengusaha Tionghoa Perantauan,
Zhang Ping, di majalah tersebut.
Di
Makassar sendiri belum ada keterangan pasti, mengenai kapan orang Tionghoa
mulai datang. Beberapa sumber menyatakan kalau orang Tionghoa sudah menjejakkan
kaki di Makassar pada abad ke-15. Pada masa itu, Kerajaan Gowa sedang dalam
masa kejayaannya, dan menjadi pusat maritim di Nusantara.
Ada
tiga rumpun yang datang ke Makassar, yaitu Hokkian, Hakka, dan Kanton. Orang
Hokkian dipercaya sebagai rumpun pertama yang datang ke Makassar secara
besar-besaran. Sampai sekarang, sebagian besar orang Tionghoa bermukim di
sekitar Benteng Somba Opu. Itu karena datang pertama kali melalui daerah di
sekitar benteng tersebut, yang dulu menjadi pusat Kerajaan Gowa.
Sebagian
besar mata pencaharian orang Tionghoa di Makassar, berasal dari bidang
perdagangan. Kejayaan Kerajaan Gowa masa lalu, yang membuat mereka betah hidup
sebagai perantau di Makassar. Perlahan-lahan pun melebur bersama penduduk asli.
Tidak jarang, sebagian dari mereka menikah dengan penduduk asli Makassar.
Kini,
perkembangan bisnis di Kota Makassar sangat ditunjang kehadiran masyarakat
Tionghoa. Berbagai jenis usaha yang dijalankan, menjadikan eksistensi mereka
layak diperhitungkan. Meskipun beberapa di antaranya juga bekerja sebagai
karyawan perusahaan, tetapi hal tersebut dijadikan sebagai modal untuk membuka
usaha sendiri di masa depan.
Salah
satu pengusaha Tionghoa yang mengaku eksistensinya dimulai setelah sebelumnya
menjadi karyawan di perusahaan milik orang lain adalah David Gozal. Sejak 1982,
pria yang juga menjadi pengurus di organisasi sosial Lions Club Makassar ini, sudah
mulai bekerja sebagai karyawan di perusahaan milik orang lain.
Beberapa
perusahaan ternama Tanah Air pernah merasakan hasil kerjanya, seperti PT Tempo
Indonesia, Johnson & Johnson, Eveready, dan Indovision. Terakhir David
bekerja di perusahaan elektronik brand Jepang, Sony Indonesia. Posisinya yang
terakhir sebagai sales manager, dengan wilayah kerja seluruh provinsi
Indonesia. Jabatan tersebut mengharuskannya menetap di Jakarta.
Ternyata
sang istri tercinta kurang begitu nyaman tinggal di ibu kota Republik Indonesia
tersebut, dan memilih tetap di Makassar. Kondisi tersebut membuat David kurang
begitu nyaman bekerja di Jakarta, karena harus berpisah dengan keluarga di
Makassar. Akhirnya, ia kembali ke Makassar dan memilih menjadi seorang
entrepreneur.
Dengan
usia yang sudah 30 tahun lebih waktu itu, bagi David, sudah menjadi momen
paling tepat untuk memiliki perusahaan sendiri. “Setinggi apapun level seseorang
bekerja di sebuah perusahaan, status tetap saja sebagai karyawan. Sekecil
apapun perusahaan yang saya buka, posisinya pasti sebagai pimpinan,” ujarnya, mengutarakan
alasannya terjun dalam dunia bisnis.
Dengan
modal sebesar Rp 52 juta, hasil penjualan mobil dinas hasil pemberian
perusahaan tempatnya bekerja dulu, David membuka toko penjualan video game
bernama Enji Game. Saat itu video game Sony Playstation sangat booming,
sehingga menjadikan usahanya sebagai pemasok Playstation terbesar di Indonesia timur.
Berkat
jaringan bisnis global yang dimiliki, sekarang David sudah memiliki tiga unit
usaha, yaitu distributor produk Petronas, Ben’z Cafe, dan kantor mitra
perwakilan Makassar untuk rumah sakit dan kecantikan Beverly Wilshire yang
berkedudukan di Malaysia. Untuk Ben’z Cafe, beberapa produk unggulannya seperti
Roti Pisang Ijo, Roti Coto Makassar, dan Roti Durian, kini menjadi incaran
pecinta kuliner khas Kota Makassar.
Merambah
Semua Lini Bisnis
Bukan
hanya di bidang kuliner dan klinik kecantikan saja, bisnis perhotelan pun cukup
banyak dipegang etnis Tionghoa. Itu karena komitmen mereka untuk menghadirkan
pelayanan yang maksimal dapat diwujudkan. Salah satu pelaku bisnis perhotelan
yang berasal dari etnis Tionghoa di Kota Makassar adalah Yuwono Ongko, pemilik
PT Pelita Mahkota Hotelindo, yang mendirikan Hotel Fave Panakkukang, Jalan
Pelita Raya, Makassar.
Sebelum
memutuskan untuk menjadi pebisnis, pria yang lahir pada 1974 ini sempat menjadi
karyawan beberapa perusahaan di Jakarta. Setelah itu, ia kemudian mulai
menjalankan bisnis, juga masih di Jakarta. Ia melakukan ekspansi usaha di Kota
Makassar pada 2005. “Sebagai orang yang berasal dari Jakarta, saya sudah
melihat Makassar sebagai kota yang luar biasa sejak sepuluh tahun lalu. Makanya,
saya putuskan untuk hijrah ke kota ini,” ungkap Yuwono.
Pertama
kali menjajal ketatnya persaingan di Kota Makassar, Yuwono membuka usaha mebel
dan fokus pada desain interior. Kemudian berkembang menjadi perusahaan
developer bangunan. Selama menjalankan usahanya, ia banyak bekerja sama dengan
Panin Bank dan kelompok usaha Ciputra.
Kini,
di bawah bendera PT Pelita Mahkota Hotelindo, pada 11 Februari lalu, Yuwono
melakukan soft opening proyek hotel pertamanya, Fave Panakkukang. Untuk
operasional perusahaan, ia bekerja sama dengan operator hotel ternama
Archipelago International, yang sebelumnya telah sukses mengelola Hotel Aston
Makassar dan Fave Daeng Tompo.
Mengapa bisnis hotel? Yuwono melihat saat ini
hingga beberapa tahun ke depan, bisnis hotel masih memiliki potensi yang sangat
besar di Kota Makassar. Makanya, ia berani berinvestasi dalam bidang tersebut.
Hanya di bisnis hotellah, ia melihat semangat yang sangat besar para
manajemennya. Bukan sekadar mencari untung, tetapi unsur pelayanan jauh lebih
diutamakan.
Tahun
ini Yuwono kembali berencana membuka satu hotel lagi, dan kemungkinan besar
masih bekerja sama dengan manajemen Archipelago International. Target utama
masih Kota Makassar. Akan tetapi, jika sudah tidak dimungkinkan lagi oleh Pemerintah
Kota (Pemkot) Makassar, maka ia akan mencoba keberuntungannya di kota lainnya
di Indonesia.
Komitmen
Memajukan Sulsel
Eksistensi
yang selama ini telah ditunjukkan para pengusaha Tionghoa di Makassar, tidak
lain juga sebagai wujud komitmen mereka terhadap kemajuan Sulsel. Hal tersebut
disampaikan melalui sebuah wadah bernama Perkumpulan Masyarakat dan Pengusaha
Indonesia Tionghoa (Permit) Sulsel.
Para
pengusaha yang tergabung dalam Permit akan berupaya menarik investasi dari Tiongkok,
yang saat ini telah berperan besar dalam persaingan ekonomi global, untuk masuk
ke Sulsel. Menurut Sekjen Permit Indonesia, Dato’ Ted Sioeng, etnis Tionghoa
yang jumlahnya cukup besar di Sulsel, bisa diminta peranannya untuk menarik
investor dari luar.
Perkumpulan
ini telah memiliki perwakilan di Hongkong, Singapura, Beijing, dan Los Angeles.
Mereka bertugas untuk menyatukan dan menjembatani para pengusaha Tionghoa yang
ada di Indoesia. Melalui organisasi ini, dua bulan sekali akan membawa
rombongan pengusaha maupun wisatawan dari Tiongkok ke Sulsel. Diharapkan, upaya
yang dilakukan tersebut dapat menunjukkan hasil maksimal bagi kemajuan Sulsel.
Lembaga
ini telah memiliki anggota di atas 50 ribu orang, dan 17 cabang perwakilan di
Indonesia, termasuk Makassar. Mereka selalu mengupayakan adanya keterbukaan
dari pengusaha Tionghoa kepada media.
“Dulu,
ada sedikit kekhawatiran dari para penguaha Tionghoa akan diskriminasi dalam
dunia usaha. Itulah sebabnya mereka selalu terkesan tertutup,” beber Dato’ Ted.