BLOGKATAHATIKU - Asean Banking
Integration Framework (ABIF) yang ditandatangani pada akhir tahun lalu, membuat
perbankan asing tidak bisa lagi leluasa masuk ke dalam negeri. Beleid ABIF
menetapkan bank mana saja yang bisa masuk ke sebuah negara dengan spesifikasi
Quilified Asean Bank (QAB). Hal ini dilakukan untuk mendukung pertumbuhan bank
yang merata dari setiap negara di Asean.
Hal
tersebut diungkapkan Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Mulya E Siregar, saat dikonfirmasi di Kantor OJK beberapa waktu
lalu. Dijelaskan, contoh nyata dari kesepakatan pada ABIF tadi adalah tidak
akan ada lagi bank dari Malaysia dan Singapura yang masuk ke dalam negeri. Hal
ini akan terus terjadi sampai bank-bank dalam negeri mampu membuka cabangnya di
kedua negara tadi.
“Ibarat
main sepak bola, kami sudah kalah 3-0 dibandingkan Singapura. Jadi, kalau tiga
bank nasional sudah buka di sana, baru mereka boleh menambah lagi di sini,”
tegasnya.
Mulya
menambahkan, setidaknya sudah ada beberapa bank usaha milik negara (BUMN) yang sudah
siap membuka cabangnya di luar negeri. Kendati demikian, ia belum bisa
memastikan kapan realisasinya.
“Untuk
bisa membuka cabang di luar negeri, tidak hanya bank umum kelompok usaha (BUKU)
4 yang mampu. Bank BUKU lainnya juga mampu, asalkan memiliki kinerja yang baik.
Dulu, perbankan dalam negeri tidak bisa buka cabang di luar negeri dengan
alasan regulasi. Sekarang, regulasi sudah kami buka. Jadi, tinggal perbankannya
saja, kapan mau mulai buka cabang di luar negeri,” bebernya.
Terkait
aturan Dirjen Pajak yang meminta agar bukti pemotongan pajak penghasilan (Pph)
giro atau deposito bank, yang bisa membocorkan total dana pihak ketiga (DPK) di
suatu perbankan, Mulya mengatakan, memang saat ini kalangan perbankan dan
nasabah mulai gelisah setelah Dirjen Pajak mengeluarkan peraturan yang mewajibkan
bank melaporkan daftar dan bukti pemotongan Pph giro maupun deposito secara
rinci per nasabah.
“Hal
tersebut menyusul dikeluarkannya Peraturan Dirjen Pajak No Per-01/PJ/2015, yang
mewajibkan bank melaporkan daftar dan bukti pemotongan Pph giro atau deposito
secara rinci, yang akan dilaporkan pertama pada April 2015. Untuk itu, saya
mengimbau agar peraturan Dirjen Pajak tersebut jangan sampai berbenturan atau
melanggar UU perbankan, khususnya terkait kerahasian perbankan. Kalau tidak
melanggar UU perbankan tidak apa-apa, tetapi kalau melanggar itu nanti jadi
persoalan. Pasalnya, rahasia bank dari sisi DPK harus dijaga. Kalau data itu
diminta, harus jelas apanya yang diminta, apakah nama dan lain sebagainya,” cetusnya.
Mengenai
bukti pemotongan Pph giro atau deposito yang diatur dalam peraturan Dirjen
Pajak, Mulya menyebut, hal tersebut nantinya rentan membocorkan total DPK di suatu
perbankan. Padahal, seharusnya total DPK bank harus benar-benar dijaga
kerahasiannya.
“Kalau diminta bukti
potongan Pph deposito, kan bisa dikalkulasikan? Kalau sudah begitu, nanti DPK
yang ada di bank tersebut bisa terbuka. Padahal, itu yang harus dijaga
kerahasiaannya,” tandasnya.