Kawasan Wisata Malino
Menyimpan Pesona
Tersembunyi sejak Zaman Kolonial
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
BLOGKATAHATIKU - Menikmati
weekend dengan berlibur ke objek wisata, merupakan impian kebanyakan orang yang
ingin melepas penat lantaran menumpuknya pekerjaan. Salah satu kawasan wisata
yang ideal dikunjungi adalah Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulsel.
Malino yang berada di
ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), merupakan objek wisata yang sudah
melegenda sejak zaman kerajaan hingga zaman kolonial Belanda. Suasana dingin
menusuk tubuh menjadi daya tarik utama bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Malino berjarak 90
kilometer dari Kota Makassar atau ditempuh dengan jarak dua jam perjalanan
dengan berkendara roda dua maupun empat. Sejatinya, kawasan ini dipopulerkan
kolonial Belanda sebagai tempat peristirahatan. Sebelumnya, para bangsawan
Kerajaan Gowa juga telah lama menggunakan kawasan ini sebagai tempat
peristirahatan.
Perjalanan ke kawasan
ini pun menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Melewati Sungguminasa, ibu
kota Kabupaten Gowa, wisatawan bakal disuguhkan indahnya Waduk Bilibili yang
merupakan penyuplai air utama bagi seluruh petani di Kabupaten Gowa maupun
Kabupaten Takalar.
Melewati Waduk Bilibi
wisatawan akan disuguhkan pemandangan pegunungan yang menjulang tinggi. Akses
jalan menyusuri Sungai Jeneberang yang merupakan sungai terpanjang di Sulawesi
cukup memberi daya tarik tersendiri. Jalan menikung dengan jurang di kanan
jalan, sangat memicu andrenalin pengunjung.
Sayangnya, akses jalan
ini mengalami kerusakan cukup parah karena setiap hari dilalui ratusan truk
bertonase melebihi kapasitas yang mengambil material bangunan di Sungai
Jeneberang untuk menyuplai keburuhan properti di Makassar dan wilayah
sekitarnya.
Suasana sejuk mulai
terasa saat berada di Desa Pangngajian, 15 kilometer dari Malino. Hutan pinus
dan jajaran vila merupakan pemandangan pertama saat memasuki gerbang selamat
datang. Setelah tiba, pengunjung disuguhkan beberapa pilihan objek wisata.
Salah satunya adalah Air Terjun Takapala di Desa Bulutana, empat kilometer dari
ibu kota kecamatan. Udara yang dingin seakan sirna saat menuruni ribuan anak
tangga ke lokasi air terjun.
Takapala, demikian
nama air terjun setinggi 109 meter ini. Dalam bahasa Makassar, berarti tidak
tebal. Jika berada di lokasi ini, pengunjung seakan lupa waktu dan enggan
beranjak. Suara gemuruh air semakin menambah nuansa natural kawasan ini. Untuk
masuk ke objek wisata, pengunjung hanya perlu merogeh kocek Rp 3 ribu per
orang.
Selain Takapala,
sekitar 50 meter dari air terjun, pengunjung juga bisa menikmati permandian di Air
Terjun Kali Jodoh. Di tempat ini, pengunjung bebas menikmati dinginnya air.
Puluhan pedagang lokal menjajakan berbagai macam kuliner yang mampu
menghangatkan tubuh, seperti minuman khas Makassar berbahan jahe, Sarabba.
Usai memanjakan diri
di air terjun, objek wisata lain sudah menunggu, seperti hutan pinus dan
hamparan kebun teh. Sebelum ke hutan pinus, umumnya warga menyempatkan diri
mampir ke pasar tradisional Malino yang menyediakan beragam buah-buahan dan
kuliner produk lokal seperti buah markisa, apel dan alpukat. Jarak hutan pinus
dan pasar hanya satu kilometer.
Di hutan ini, tersedia
petualangan menunggang kuda. Untuk sekali tunggangan, pengunjung hanya perlu
merogeh kocek Rp 3 ribu. “Cuma Rp 3 ribu, sudah dipandu terserah mau kemana. Yang
penting jangan masuk jurang,” promosi salah seorang joki kuda, Daeng Mangung, sembari
terkekeh setelah bercanda.
Umumnya, di tempat ini
warga menggelar tikar dan menyantap makanan bersama keluarga di bawah
rindangnya hutan pinus. “Kami hampir setiap bulan ke sini bersama keluarga
untuk berlibur. Di samping tenang, Malino juga sejuk, dan yang pasti murah
meriah,” kata Arman, salah seorang pengunjung asal Kota Makassar yang memboyong
istri dan tiga anaknya.