Kawali dan Badik
Nilai Ekstetika Seni Metalurgi
![]() |
BLOGKATAHATIKU/EFFENDY W |
BLOGKATAHATIKU - Luasnya kepulauan di
Indonesia dengan ribuan adat istiadat penduduknya, menyimpan khazanah budaya Nusantara
yang luar biasa. Tak hanya itu, melalui beragam suku dan adat istiadatnya pula,
Indonesia dianugerahi berbagai seni dan estetika yang merupakan bagian dari
peradaban lama, serta otentikasi budaya luhur.
Salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki bangsa ini adalah dalam metalurgi yang dapat dilihat dari karya
senjata tajamnya. Metalurgi sendiri berarti ilmu
tentang pengerjaan logam secara kimiawi dan secara mekanis, sehingga dari bijih
besi kemudian diperoleh logam yang berguna.
Setiap suku di tiap
provinsi Indonesia memiliki senjata tajam khas yang unik. Salah satunya adalah kawali
(Bugis) dan badik (Makassar), di mana senjata jenis ini merupakan ciri
khas suku Bugis-Makassar di Sulsel. Kawali dan badik adalah senjata
tajam dengan bentuk khas, berbilah pipih dengan sisi tajam tunggal
atau ganda.
Ukuran senjata tajam
tradisional ini juga bermacam-macam, pendek sejengkal jari hingga panjang
mencapai setengah meter. Bentuknya asimetris dan bilahnya kerap dihiasi
dengan pamor. Meski memiliki fungsi yang sama, kawali di ranah Bugis atau badik
di Makassar, memiliki beberapa perbedaan mendasar, terutama bentuk hingga
pamornya.
Sejak ratusan tahun
silam, kawali dan badik digunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela
diri dan berburu, tetapi juga sebagai identitas diri suatu kelompok etnis. Secara
umum, kawali dan badik terdiri atas beberapa bagian, yakni pangngulu (gagang),
mata (bilah besi), serta wanuang atau warangka yang berfungsi sebagai
sarung, serta pakkalasa yang merupakan hiasan pada gagang dan sarung.
Gagang kawali dan badik
umumnya terbuat dari kayu kualitas tinggi seperti kayu kemuning, sementara
wanuang atau sarungnya biasanya terbuat dari kayu cendana. Pada perkembangannya,
beberapa bahan kayu lainnya mulai dipergunakan, bahkan ada juga pangngulu dan
wanuang terbuat dari gading dan tanduk.
Menariknya, setiap
jenis kawali dan badik diyakini memiliki kekuatan (sakti). Kekuatan
tersebut dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya.
Sejalan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, serta kemakmuran, bahkan kemelaratan,
kemiskinan, dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Apapun kekuatan sakti
yang diyakini terkandung dalam sebilah kawali dan badik, keduanya tetaplah
sebuah benda seni budaya dengan estetika tinggi yang dipercaya dapat mengangkat
harkat diri seseorang, terutama kaum pria Bugis-Makassar.
Lestarikan Kearifan
Lokal Sulselbar
Perkembangan teknologi
informasi yang kurang diimbangi sosialisasi nilai budaya lokal, serta kurangnya
pengenalan terhadap budaya daerah merupakan realitas yang tidak dapat dinafikan
lagi. Untuk mengimplementasikan aspek dan nilai kearifan lokal yang sudah
melamur ditelan modernitas, maka terbentuklah komunal yang peduli terhadap
kearifan lokal.
Dari sebuah grup
diskusi sejarah dan budaya Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) di media
sosial beranggota 15 orang, lahirlah gagasan untuk membentuk komunitas
permanentatif, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sempugi. Salah seorang pendiri
LSM Sempugi, Andi Rahmat Munawar, saat ditemui di Sekretariat Sempugi, Jalan
Topas Raya, Senin (6/10/2014), mengungkapkan, komunitas ini mendapat apresiasi
dari masyarakat.
Untuk itu, komunitas
yang terbentuk 2013 tersebut telah diaktakan di notaris. “Tujuannya, lembagi
ini mampu melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan nilai kearifan lokal,
seperti budaya hingga destinasi wisata,” ujarnya.
Rahmat menjelaskan,
Sempugi merupakan wadah untuk belajar dan berbagi pengetahuan tentang sejarah
dan budaya Bugis. Selain itu, juga untuk menjalin silaturahmi antar masyarakat Bugis
di ranah Bugis maupun rantau,” bebernya.
Sementara itu, pembina
LSM Sempugi, Rudy Rustam, menambahkan, untuk memaksimalkan tujuan lembaganya, pengurus
melakukan berbagai kegiatan bersegmen pendidikan, sejarah, budaya, serta wisata.
“Kegiatan yang kami lakukan seperti pendataan keberadaan Panre Bessi (pandai
besi) yang tersisa, serta mengumpulkan data dan informasi terkait pelestarian metalurgi.
Sempugi juga membentuk sanggar seni yang aktif mengisi sesi hiburan melalui
lagu tradisional pada berbagai kegiatan di Makassar,” imbuhnya.
Untuk mengoptimalkan
program kerja lembaganya, sebut Rudy, Sempugi menjalin kerja sama dengan
berbagai pihak yang memiliki segmen sama, seperti komunitas pecinta besi,
lembaga adat dan tokoh, budayawan, serta sanggar-sanggar seni yang tersebar di
Sulselbar.
“Pesan-pesan leluhur
umumnya tersimpan pada naskah lontara tua yang sulit diakses. Melalui kegiatan
ini, kami harap deskripsi pesan yang bernilai edukatif dari etnis Makassar,
Bugis, Toraja, dan Mandar tersebut, bisa dituangkan dalam bentuk wallpaper. Transliterasi
dan terjemahan aksara lontara, sudah kami realisasikan melalui kegiatan
produksi dan penyebaran konten ringtone budaya dengan bekerja sama Wiki Media
Indonesia,” bebernya.
Dengan demikian, Rudy
berharap, berbagai program yang telah diaktualisasikan Sempugi bisa menumbuhkan
minat generasi muda terhadap budaya Sulselbar.