AGUS KHALIK
Pemilik Toko Oleh-oleh Khas Makassar
“Rintis Usaha Mete dari Nol Melalui UMKM”
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Jalani usaha dari titik nol memang tidak mudah. Banyak
proses getir yang mesti dijalani sehingga bisa berkembang hingga membuahkan
hasil seperti sekarang. Itulah yang dirasakan oleh Agus Khalik, pengusaha yang bergerak
di sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), “Oleh-oleh Khas Makassar”.
Ditemui beberapa waktu lalu di rukonya, Jalan Monumen
Emmy Saelan, Makassar, Agus, demikian pengusaha mandiri ini disapa,
mengungkapkan awal-awal sulit yang dijalaninya selama 12 tahun merintis
usahanya. “Saya sempat jatuh-bangun, bahkan dua kali di awal usaha. Tapi saya
tetap berusaha bangkit lagi,” ungkap pria yang menikah pada 10 Maret 2001 ini.
Agus mengisahkan, ihwal usaha yang dibangunnya tak
lepas dari ketertarikannya terhadap mete. Sewaktu bekerja sebagai
tenaga pengajar mata kuliah Bimbingan Konseling di STKIP Makassar, runutnya, sepulang kerja, ia kerap
singgah di perkulakan Goro, Jalan AP Pettarani, Makassar,
untuk membeli
kebutuhan sehari-hari.
“Suatu hari saya tertarik
dengan mete, ketika itu saya melihat mete
dalam jumlah banyak, bertumpuk-tumpuk, tapi masih tetap pada
posisi semula, tidak pernah berkurang dari minggu ke minggu,” akunya.
Sejak saat itulah, suami dari Suryati ini
kemudian memutuskan untuk membeli mete sekitar setengah kilogram untuk
diolah kemudian dijual. Kemasan yang dipakainya masih sederhana, ia mengemas mete
dengan harga eceran Rp 1.000 per bungkus, yang
kemudian dititip di warung makan.
“Saya tidak menyangka, respons
pasar yang positif waktu itu. Pada saat itulah, saya kemudian
memberanikan diri untuk membeli mete lebih banyak lagi,” ujar Agus.
Selain menitip mete gorengya di warung
makan, ia pun menjajakan ke kampus-kampus
dan toko-toko besar dengan berjalan kaki. Kerap kali barang yang ditawarkan pria kelahiran Sidrap, 12 Januari 1973 ini, mendapat
penolakan
dari pemilik toko, namun ia tidak patah semangat.
Untuk meraih sukses, ayah dua anak
ini mengemukakan terus memperdalam
kelihaian dalam bisnis. Pelatihan bisnis yang dilaksanakan
oleh pemerintah dan kampus-kampus, lanjutnya, tidak pernah luput dari perhatiannya. Meski
kerap ditolak oleh panitia pelaksana pelatihan karena tidak membawa undangan pada waktu itu, ia menunggu hingga kegiatan dilaksanakan.
“Biasanya saya bertanya kepada panitia, ‘boleh tidak
saya menggantikan undangan yang tidak datang,’ nah dari sana biasanya saya
diizinkan masuk sebagai peserta kegiatan,” kenang Agus.
Anak dari pasangan Abdul Khalik dan Bayani ini mengatakan, meraih
sukses memang tidak mudah. Mendapat penolakan dari berbagai pihak adalah hal
yang biasa. Menurut Agus, tekad kuat dan tidak mudah putus asa,
memang sudah ditanamkan oleh orang tuanya sejak ia kecil.
“Didikan orang tua saya yang
mengajarkan kemandirian, membentuk karakter dan mental saya. Sejak
kecil, SD hingga SMP, saya diajarkan
hidup mandiri dengan menjual es lilin,” ungkapnya.
Selain itu, tambahnya, kejujuran
dan kesabaran adalah sifat yang ditanamkan orang tuanya sejak dini.
Ayah dari Azra dan Naufal ini juga dididik untuk taat terhadap ajaran agama.
Semua hal ini membentuk karakter tangguh dan tak gampang menyerah sehingga
bisa menjalankan usahanya dengan sukses.
Usaha yang Semakin Berkembang
Agus mengatakan, di 2014 usahanya semakin
berkembang. Ia mulai kewalahan memenuhi permintaan kacang mete
yang semakin banyak lantaran modal yang dimilikinya masih kecil.
Ia kemudian menghubungi teman temannya yang memiliki koperasi untuk
berinvestasi dibisnisnya.
“Waktu itu modal yang terkumpul sebanyak Rp 25
juta. Nah, dengan modal sebesar itu, saya akhirnya bisa memenuhi permintaan pasar dengan membuat mete
sebanyak lima kilogram per hari,” terangnya.
Saat ini,urai Agus, selain mete goreng,
ia juga memproduksi kacang goreng dan jagung yang dapat dijumpai di mal atau swalayan terkemuka seperti Hypermart dengan merk Asan.
Asan diambil dari singkatan nama keluarganya,
Agus, Suryati, Azra, dan
Naufal. Omset yang dicapai saat ini mencapai puluhan juta rupiah perbulan. Sedangkan produknya telah dipasarkan di Kendari,
Surabaya, dan Jakarta.
Meski telah sukses, namun Agus tidak tinggi hati. Ia mengatakan, baginya, produk yang
masuk di mal tidak mengambil untung besar, akan tetapi sebatas
promosi saja. “Saya lebih banyak meraih keuntungan dari toko ‘Oleh-oleh Khas
Makassar’, yang terletak di Jalan Emmy Saelan ini,” tandasnya.
Bermula dari 5 Kilogram
Agus menerangkan, mete atau mede dikenal pula sebagai jambu
monyet (anacardium occidentale), merupakan sejenis
tanaman dari suku anacardiaceae yang berasal dari Brasil dan memiliki ‘buah’
yang dapat dimakan. Buah ini bijinya biasa dikeringkan dan digoreng untuk
dijadikan berbagai macam penganan. Secara botani, tumbuhan ini sama sekali
bukan anggota jambu-jambuan (myrtaceae) maupun kacang-kacangan (fabaceae),
melainkan malah lebih dekat kekerabatannya dengan mangga (suku Anacardiaceae).
Dijelaskan, mete dalam bahasa Inggris dinamakan cashew
(tree), berasal dari bahasa Portugis (untuk menamai buahnya), caju. Sedangkan nama
marganya, anacardium, merujuk pada bentuk buah semunya yang seperti jantung
terbalik.
Agus Khalik memulai usaha “kacang” mete bermula dari
lima kilogram. Pengemasan dilakukan secara sederhana, dengan membanderol Rp
1.000 per bungkus. “Saya mengajak teman-teman untuk investasi modal, mereka
punya koperasi dan menyisihkan gaji dari
koperasinya untuk investasi,” ungkapnya.
Dari sana, terang Agus, terkumpul Rp 25 juta. Investasi
terus meningkat, apalagi ketika harga mete naik seratus persen, yang semula Rp
27 ribu ke Rp 55 ribu per kilogram.
Sekarang, hasil produksinya tak hanya mete, tetapi
juga jagung disco (camilan khas Makassar) dan markisa. “Selain itu, saya juga
menampung produk UMKM lain seperti sirup markisa, minyak gosok, dan lain-lain,
serta memasarkannya kepada pelanggan tetap,” paparnya. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment