![]() |
Foto: Istimewa |
Pemberlakuan
smelter berdasarkan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba), jika sukses terealisasi dan bisa diterapkan dengan baik di
Indonesia, maka akan menjadikan nilai tambah atau value added bagi tambang
galian ekspor nasional, khususnya di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Hal
itu diungkapkan oleh Kepala Energi dan Sumber Daya Mineral Sulsel, Gunawan
Palaguna saat ditemui di Gedung Mulo, Jalan Sungai Saddang, Makassar, Rabu
(29/1). Dikatakan, di Indonesia baru Sulsel yang melakukan kiriman dalam bentuk
barang mentah dan mineral ke luar negeri.
“Sekarang
itu dilarang karena mengacu pada kebijakan pusat tentang pelarangan ekspor.
Mengacu pada aturan pemerintah pusat, kalau para penambang kecil tersebut harus
tutup.Selama para pengusaha tambang mengirim barang dalam bentuk tanah, maka
pengiriman atau ekspor tetap di larang,” terangnya.
Ditambahkan,
pabrik smelter di Sulsel sepertinya masih lama terealisasi. Menurutnya, para
pengusaha tambang sekarang sudah banting setir sambil menunggu kapan
pembangunan smelter tersebut selesai.
“Pengusaha
tambang gusar karena usaha mereka harus tutup karena menuruti peraturan
pemerintah tentang undang-undang pelarangan ekspor yang diberlakukan sejak
akhir 2012 lalu,” sebutnya.
Lebih
lanjut, Gunawan mengatakan bawa saat ini hanya PT Vale yang mendapatkan izin.
Jadi untuk sementara, baru PT Vale yang beroperasi. “Bagi pengusaha tambang
yang ingin tetap maju, sebaiknya mencari partner orang luar atau bersinergi
dengan perusahaan dari luar untuk bekerja sama membangun smelter,” tambahnya.
Dipaparkan,
saat ini ada 250 perusahaan tambang yang mengirim surat kepada pemerintah agar
di 2017 mendatang diberikan kesempatan untuk membuat Smelter. Sementara itu,
saat dikonfirmasi di kantor Gubernur Sulsel, Senin (27/1/2014), Gubernur Sulsel
Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa tembaga, nikel, dan barang mineral mentah
lainnya kalau dijual secara gelondongan tanpa bisa dideteksi, maka Sulsel akan
merugi.
“Kerugiannya
berkali lipat kalau tidak di Smelter. Jadi, pelarangan ekspor dalam bentuk barang
mentah itu harus berhenti sampai Smelter beroperasi di beberapa kabupaten di
Sulsel. Jadi, tetap barang tambang tersebut akan menguntungkan berkali lipat
kalau di Smelter. Contohnya, kalau sebelum di Smelter hanya dapat seratus, maka
setelah di smelter kita bisa mendapatkan seribu.Tentunya ini menguntungkan,”
bebernya.
Dihubungi
terpisah usai mengikuti seminar nasional di Gedung Mulo Makassar, Rabu (29/1), pengamat
ekonomi nasional, Ichsanuddin Noorsy mengatakan terkait pemberlakuan beleid Minerba
itu akan memberikan nilai tambah atau added value bagi Sulsel.
Kendati
demikian, berdasarkan pantauannya di beberapa daerah tambang di Sulsel maupun
Sulawesi Tengah (Sulteng), problem utamanya masih berkisar pada pemerintah yang
tidak melakukan pengawasan agar para penambang kecil tersebut memiliki Smelter.
Akibatnya, begitu jatuh tempo mereka para penambang kecil jadi terkejut.
“Semestinya
pemerintah punya niat membangun Smelter. Untuk itu, para penambang kecil
tersebut harus melakukan kerja sama (joint), baik dengan pengusaha lokal
(nasional) maupun dari luar negeri,” pesannya.
Menurut Ichsanuddin, selama ini penambang besar hanya mendikte lantaran telah menikmati
tambang mentah. “Kendala kedua terletak pada pasokan listrik. Untuk pasokan
listrik, penambang kecil cukup memerlukan lima megawatt untuk beroperasi.
Sedangkan penambang besar seperti PT Vale, minimal butuh 15 hingga 50
megawatt,” bebernya.
Ditegaskan,
untuk mengatasi hal tersebut, solusinya penambang perlu merealisasikan
keberadaan Smelter dan power plan untuk membangun Smelter.
(blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment