Bukan Sekadar Secangkir Kopi
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Urban lifestyle atau apapun namanya,
saat ini memang tidak dapat dipisahkan dari dunia perkotaan. Ada kegiatan sepele
seperti sekadar kongko, mengisi kekosongan waktu, menunggu redanya kemacetan
jalan dan kegiatan sejenis lainnya, kini sudah mengejawantah menjadi bisnis
yang menggiurkan. Sebut saja menjamurnya coffee shop atau gerai-gerai kopi
waralaba yang mengakomodir kepentingan yang, lagi-lagi dulu dianggap hanya
sebelah mata: Ngopi!
Ngopi atau minum kopi yang dulu dianggap
aktivitas “doping” sebelum bekerja di pagi hari, kini telah berubah menjadi
gaya hidup. Terus terang, kondisi ini menjadi hal menarik manakala secangkir
kopi telah mengalahkan kebutuhan primer dalam sebuah rumah tangga misalnya.
Interaksi sosial perkotaan yang latah dan hegemoni menciptakan standar
tersendiri pada beberapa kalangan, khususnya kaum muda yang terpola dalam
keseragaman. Ini memang konsekuensi logis dari era media daring (online).
Sebagian masyarakat berusaha
meningkatkan stratanya lewat industri-industri gaya hidup yang dapat diperoleh
dari Horeka (hotel, resto dan kafe). Horeka yang menjamur secara parsial
melibatkan industri kopi sebagai salah satu penunjang utama. Sebut saja
kehadiran gerai kopi internasional ternama, Starbucks. Melalui PT Sari Coffee
Indonesia, gerai kopi berlogo Syren (ikan duyung berekor kembar dari mitologi
Yunani) ini, mulai menularkan budaya minum kopi “prestisius” di Indonesia.
Sebelumnya, induk perusahaan gerai
kopi berawak “Barista” di Indonesia ini, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP), memang
merupakan perusahaan ritel gaya hidup terkemuka. Selain Starbucks, MAP juga
memegang beberapa lisensi ternama di kelas food and beverage seperti Burger
King, Chatterbox, Cold Stone Creamery, Domino's Pizza, dan Pizza Marzano. Untuk
Starbucks, lisensi yang didapatkan sifatnya eksklusif, dan MAP
menjadi satu-satunya perusahaan yang
berhak mengoperasikan Starbucks di Indonesia.
Gerai pertama
Starbucks di Indonesia dibuka pada 17 Mei 2001 di Plaza Indonesia, mal yang
terletak di pusat kota Jakarta. Setelah itu, Starbucks telah berekspansi hingga
mencapai 113 gerai di 10 kota termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali,
Yogyakarta, Medan, Balikpapan, Semarang, Batam, dan Makassar. Di Makassar,
Starbucks beroperasi pertama kali pada 14 Desember 2011 di Mal Ratu
Indah (MaRI), Jl Sam Ratulangi, Makassar.
Saat itu Direktur
PT Sari Coffee Indonesia, Anthony
Cottan mengatakan Makassar adalah kota terbesar di Sulawesi, dan menjadi
pelabuhan utama untuk pengiriman barang domestik dan internasional. ”Starbucks
Indonesia melihat peluang tersebut. Sudah banyak customer yang menantikan kehadiran Starbucks di sini, akhirnya
kami bisa memenuhi keinginan mereka untuk memberikan Starbucks Experience
kepada customer di Makassar.”
Tentu hal
itu merupakan kabar baik bagi pecinta kopi di Makassar, terlebih ketika
kearifan lokal dapat disematkan dalam menjalankan bisnis yang notabene dari
”luar” ini. Head
of Marketing Starbucks Indonesia Raquel Moss, menyampaikan pada waktu itu,
pihaknya mendesain khusus city mug yang menampilkan busana tradisional Sulsel, ’baju
bodo’ yang menonjolkan aksen pada hiasan kepala dan tangan. Di belakangnya juga
tampak rumah tradisional Bugis. Tujuannya tak lain agar customer bisa membawa pulang iconic mug khas Sulsel (atau tiap daerah di mana Starbucks
berada) sebagai cenderamata dari Makassar dengan gaya Starbucks.
Gaya
hidup dari aroma secangkir kopi, rambut klimis, sepatu mengilap, dasi, dan
percakapan bisnis barangkali sah-sah saja. Namun terpenting, di luar semua itu
“filosofi kopi” mesti menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat bagi
masyarakat kita, dan bagaimana agar budaya modern ini dapat memaksimalkan
ekonomi kerakyatan yang ingin dicapai bersama. Karena ngopi saat ini bukan
sekadar secangkir kopi. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment