Oleh Anita Anny
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Ada galau menyesaki dadanya. Sudah jam
sepuluh kurang lima. Tapi cowok berwajah bayi yang duduk di sampingnya itu
anteng-anteng saja. Sama sekali nggak nunjukin sikap kalau ingin cabut. Malah
melebarkan kisahnya hingga nggak berbuntut ending. Kasus!
Sepuluh ‘teng’ jam dinding terdengar
merisaukan. Dea menggigit bibirnya keras-keras. Di ruang dalam, ada debum daun
pintu yang terbanting. Dea mengusap wajahnya. Bahaya. Itu isyarat yang lebih
gawat ketimbang genderang perang serdadu di zaman baheula dulu.
Ya, Tuhan!
Jangan sampai isyarat itu berlanjut ke
isyarat yang lainnya. Piring jatuh, misalnya. Sebab kalau sudah begitu, itu
berarti Bunda nggak akan tanggung-tanggung lagi. Keluar dengan muka
kelipet-lipet dibarengi serentetan kicauannya yang semerdu beo!
“Bunda kamu lagi bersih-bersih, ya?”
Bukan bersih-bersih, tapi misuh-misuh! batin
Dea menanggapi pertanyaan Glen yang sama sekali belum menangkap sinyal amarah
dari Nyonya Ananda Hartarti Muljono Pramestu Buwono, nama Bundanya yang sepanjang kereta api.
Sinyal yang sebentar lagi pasti bakal jadi petaka.
“Rajin banget, ya? Malam-malam begini….”
“Malam-malam gini, apa orang di rumah nggak
nyari-nyari kamu?” Dea mulai ngusir secara halus.
“Nggak, tuh. Biasanya juga aku pulang jam
satuan,” jawab Glen enteng.
Ya amplop! Jam satu malem?! Kalo anak
cengengesan ini sampe nggak ngangkat kaki dari rumah ini hingga pukul satu
malem, tauk deh Bunda bakal menggantungku di mana beserta pakaian jemuran
besok!
“Ayah dan Ibu kamu nggak marah kalo kamu
pulang telat gitu?” tanya Dea memancing. Berusaha menyembunyikan
kegelisahannya.
“Mendingan diomelin sama bonyok….”
“Apaan tuh bonyok?” tanya Dea dengan rupa
bego.
“Bokap-nyokap,” jelas Glen.
Dea pura-pura tertawa.
Glen menerusin kalimatnya yang terpotong
barusan. “Yap. Mending diomelin mereka ketimbang ditertawain ama pintu,”
guyonnya lantas terkekeh.
“Tapi….” Dea mulai meremas-remas jemarinya.
“Udah kuno kalo anak muda zaman sekarang
tidurnya cepet,” salib Glen sembari mengibaskan tangannya seolah menggebah
nyamuk. “Emangnya anak kecil….”
“Tapi….”
“Eits,” Glen nggak memberi kesempatan pada
Dea buat menyanggah, “jangan bilang kalo begadang itu merusak kesehatan.
Kelelawar aja nggak pernah tidur malam seumur-umur, kok. Tapi sehat-sehat aja,
tuh!”
Dea mengembuskan napasnya keras-keras. Derai
tawa Glen menyeruak tengil. Idih, nih anak! Nggak ngerti-ngerti juga. Tolonglah
cepat pulang sebelum Bunda mencekik leherku!
“Eh, Dea, kamu tau kan Si Jean?”
Ya, Tuhan!
Dea mulai berdoa dalam hati. Ditelannya
ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Glen bukannya menyudahi percakapan, tapi
malah mengalihkan pembicaraan ke persoalan lainnya.
“Ya-ya, tau! Yang anak Tiga C itu, kan? Yang
bokinnya bejibun. Punya cowok Singapura anak pengusaha tajir yang punya toko
mewah di Orchard Road. Yang kalo ke sekolah tongkrongannya Jaguar silver.
Yang….”
Dea kesedak. Maksudnya pingin menyudahi
percakapan yang seperti nggak ada habis-habisnya, dengan merentetkan semua yang
diketahuinya tentang Jean, teman mereka. Matanya berkaca-kaca. Nggak disadarinya
kalau dia sudah menangis.
“Kamu nangis, kenapa?” Rupanya Glen melihat
airmata Dea yang menitik di pipi, sekalipun Dea berusaha menyembunyikannya
dengan menundukkan kepala.
“Nggak papa. Cuma kelilipan debu,” dusta Dea.
“Atau, mungkin kamu udah ngantuk ya?”
Sontak kepala Dea terangkat. Dan mengangguk
antusias.
“Kalo gitu, aku cabut aja deh. Kapan-kapan
aku main lagi, ya?”
Puji Tuhan!
Dea bersorak dalam hati. Dihelanya napas
panjang-panjang. Rupanya Tuhan mendengar doanya agar menghindarkan dirinya dari
‘malapetaka’. Kemudian dengan langkah lega diantarnya cowok funky itu sampai di
muka pintu pagar.
Dan ketika dia kembali masuk ke dalam rumah,
Bunda telah berdiri menantinya dengan muka butek.
***
“Dea….”
Dea menoleh. Dihentikannya langkahnya menuju
gedung perpustakaan.
“Dia titip salam.”
“Siapa?”
“Jangan berlagak bodoh.”
Dea mengibaskan tangannya. Diputarnya tumit
hendak melangkah. Tapi lengannya ditarik paksa.
“Apa-apaan….”
“Sori. Ini soal penting!”
“Untuk soal itu….”
“Jangan mengelak. Doi udah kayak cacing
kepanasan ….”
“Mau ular kepanasan juga bukan urusanku….”
“Ka-kamu….”
“Siapa suruh….”
“Jangan menyiksa doi, dong!”
“Aku merasa nggak pernah menyiksa, kok.”
“Tapi….”
“Banyak cewek lain….”
“Tapi cuma kamu….”
“Udah deh, Yan. Aku nggak mau dengar kamu
bilang cuma akulah satu-satunya cewek yang paling ‘dititik-titiki’nya sedunia.
Puih! Gombal!”
“Kasihan Jason.”
“Cuma cinta monyet….”
“Asli doi suka kamu. Dan suer, doi nggak
asal. Aku tau banget sifat Jason. Doi nggak mudah menyerah.”
“Semua cowok emang keras kepala!”
“Dan kamu keras hati. Ngapain, sih?”
“Tapi….”
“Sebenernya, kamu suka doi apa nggak, sih?”
Dea tergugu.
Jason?! Oh, please! Don’t killing me softly
with his name!
Namun,
asli dia juga diam-diam suka cowok itu. Tapi jika ingat Bunda, dia jadi keder.
Asli ngeper. Bukan kenapa-kenapa. Soalnya Bunda bawaannya angotan terus kalau
ada ‘temen cowok’ yang main ke rokum. Sudah banyak kejadian. Terakhir yang kena
getahnya adalah Glen. Malah, cowok itu sudah kapok. Bersumpah seumur-umur nggak
bakalan nginjak rumput halaman rumah Dea lagi.
Ups! Menyakitkan banget!
“Dea….”
Tapi, itulah. Itulah kenyataan yang terjadi.
Mereka, satu per satu hengkang dan menjauh dari sisinya. Memang nggak ada yang
lebih nyakitin ketimbang nyaksiin cowok-cowoknya itu dimusuhi sama Bunda. Nggak
ada kompensasi. Dea masih dianggap anak kecil oleh Bunda. Dea belum boleh
pacaran. Dan, untuk saat ini sekolah merupakan nomor satu. So, jangan harap ada
kesempatan untuk beromantis-romantisan ala Cinta dan Rangga seperti dalam film
AAdC, Ada Apa dengan Cinta!
“Dea….”
Nyaris setiap hari Dea menumpahkan
kekesalannya dengan menangis diam-diam di kamar. Baginya, Bunda kelewat
otoriter. Dan kekecewaannya itu bertambah manakala melihat Ayah malah mendukung
sikap sok kuasa Bunda meski nggak secara langsung.
“Dea….”
Ada sebuah tepukan yang mendarat di bahunya.
Dea terkejut. Rupanya dia sudah lama melamun. Nggak mendengar panggilan Yani
Wulandari beberapa kali tadi. Ada airmata yang menitik tanpa terasa di pipinya.
Cepat-cepat disusutnya sebelum ketangkap oleh teman sebangkunya itu. Dilanjutkannya
langkah selekas mungkin ke perpustakaan tanpa menghiraukan sepupu Jason itu.
***
Ada deringan telepon untuknya ketika Dea baru
saja menyelesaikan suapan terakhirnya. Salah satu pembantu wanita mereka yang
menyampaikan kepadanya. Mudah-mudahan bukan dari lawan jenisnya alias cowok,
harap Dea dalam hati.
Tapi, apa yang diharapkannya jauh dari kenyataan.
“Selamat siang. Dengan Dea, ya?”
Gagang telepon yang menempel di telinganya
nyaris jatuh!
“Yap. A-ada apa, Jason?” Dea gugup.
Lagi-lagi, Jason!
“Nggak
papa. Cuma pingin ngobrol aja sama kamu.”
“Oh, kirain ada hal penting apa.”
“Yah, ada juga sih.”
Degh! Dea merasakan jantungnya copot!
Pertama, karena ajakan Jason untuk nge-‘date’. Kedua, karena Bunda. Di akhir
ajakan Jason tadi, tahu-tahu Bunda sudah berdiri di belakangnya seperti algojo
yang siap penggal kepala!
“Dea… kamu masih denger aku nggak?!”
Dea nggak menggubris. Ditutupnya telepon
dengan hati yang berkecamuk meski suara cowok itu masih bersalak di horn.
“Dari siapa?”
“Jason,” jawab Dea nggak berani menatap mata
Bunda. “Temen sekolah. ”
“Dea, Bunda mau bicara.”
Dea manggut. Kerongkongannya terasa kering.
Diikutinya langkah Bunda yang sedang menuju ruang keluarga dengan langkah
memberat.
“Kemarin sore, sewaktu Dea ke Gramedia
bersama Ayah, teman sekolah Dea datang,” Bunda bersuara setelah duduk di sofa
panjang.
“Si-siapa, Bunda?” Dea duduk gelisah di
samping Bunda. Ya, Tuhan! Jangan-jangan… Jason lagi!
“Yani. Yani Wulandari. Dia nyari Dea. Tapi,
Bunda tahu kalau sebetulnya itu hanya alasan dia agar dapat bertemu dengan
Bunda. Rupanya, ada hal penting yang hendak disampaikannya langsung kepada
Bunda.”
Yani! Anak ganjen itu selalu aja buat
masalah! maki Dea dalam hati.
“So-soal apa sih, Bunda?” tanya Dea tergagap,
lalu menggigit bibirnya di akhir pertanyaan.
“Soal kamu, Sayang.”
“So-soal Dea?!”
“He-eh. Katanya, Dea kuper. Di sekolah,
bawaan Dea murung melulu. Suka menyendiri. Sebagai temen, Yani pingin membantu
mengatasi masalah-masalah Dea. Pikirnya, Dea pasti ada masalah dengan keluarga.
Ada problem dengan Bunda, atau Ayah.”
“Ta-tapi….”
“Dea… Bunda tahu kalau selama ini, Dea
mungkin marahan sama Bunda. Iya, kan?”
“Eng-nggak kok, Bunda,” dusta Dea tergagap.
Bunda menyandarkan punggungnya di sandaran
sofa. Sesaat matanya terpejam sebelum bilang:
“Dea, Dea anak Bunda satu-satunya. Bunda
sayang banget sama Dea. Bunda minta maaf kalau selama ini Bunda terlalu
otoriter dan mengekang-ngekang hidup Dea.”
“Bunda….”
“Tapi, Bunda punya alasan berbuat begitu.
Bunda nggak mau Dea bergaul sembarangan. Bunda pingin Dea kelak jadi wanita
yang sukses. Seperti cita-cita Kartini, dan juga harapan Bunda.”
“Bunda….”
“Terus terang, Bunda takut Dea terjerumus ke
dunia yang seharusnya nggak pantas untuk Dea. Pergaulan bebas. Dugem. Narkoba.
Sungguh, Bunda nggak kepingin anak Bunda terjerumus ke dalam dunia yang salah!”
“Bunda!”
Nggak sadar Dea merangkul tubuh besar Bunda.
Segenap kebencian yang sudah memendam lama di hatinya luruh seketika.
Airmatanya menitik. Rupanya selama ini ada yang nggak diketahuinya tentang
itikad baik Bunda.
Bunda ternyata sangat menyayanginya. Lebih
dari segalanya. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment