Oleh Weni Lauwdy Ratana
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Kelaparan di Afrika membuat paling
tidak 20 persen rumah tangga menghadapi kekurangan pangan yang ekstrem,
kekurangan gizi yang akut pada lebih dari 30 persen penduduk, dan dua kematian
untuk setiap 10 ribu orang setiap hari.
Tagline di atas dirilis oleh Office
for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) atau Kantor PBB bagi
Koordinasi Masalah Kemanusiaan, dalam salah satu laporan yang disiarkan pada beberapa
waktu lalu, yang saya kutip dari Kompas.com. Dalam lanjutannya, OCHA juga
mengungkapkan bahwa kelaparan
yang melanda daerah-daerah Somalia selatan pada waktu itu, kemungkinan akan
meluas dalam beberapa hari ke depan, dengan situasi terus memburuk kendati ada
usaha-usaha bantuan internasional.
Sementara
itu, jumlah terbaru yang dilansir, menurut The Food Security and Nutrition Analysis
Unit (FSNAU) atau Satuan Analisis
Keamanan Pangan dan Nutrisi, orang-orang dengan kekurangan gizi akan segera bertambah,
dan mereka memperingatkan bahwa hampir seluruh daerah selatan bisa menghadapai
kelaparan.
Sekitar
12,4 juta orang di negara-negara Tanduk Afrika termasuk bagian-bagian
dari Ethiopia, Djibouti, Kenya dan Uganda terkena dampak musim kering yang
terburuk dalam puluhan tahun di wilayah itu dan diperlukan bantuan kemanusiaan.
Berita
tersebut tentu membuat kita miris, bahwa betapa di belahan dunia lain jauh dari
tempat kita yang nyaman ternyata masih banyak orang dengan nasib yang kurang
beruntung. Akan tetapi musabab yang melelatu tersebut tetap berinti pada hal
yang sama, bahwa perang yang ananik telah mengenyahkan rasa kemanusiaan
segelintir komunal.
Hal
itu digambarkan oleh PBB, Somalia, tempat perang saudara berlangsung sejak 1991
menghadapi krisis kemanusiaan paling parah di dunia. Kelompok gerilyawan Ash
Shabaab, yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda, mundur dari posisi mereka di
Mogadishu awal Agustus, tetapi terus melarang bantuan masuk ke daerah-daerah
yang mereka kuasai di wilayah-wilayah selatan yang dilanda kelaparan itu.
Dari
hasil pantauan PBB, sebanyak enam puluh persen anak-anak mengalami malnutrisi
akut. Jumlah pasti mengenai angka kematian belum bisa dihitung, namun sepuluh
ribu orang telah mati dalam jangka waktu tiga hingga empat bulan setelah
pandemik kelaparan masif melanda hingga September lalu. Lebih dari setengah
angka itu adalah anak-anak, dan numerik maut tersebut menunjukan setiap hari
seratus orang mati lantaran kelaparan. Kombinasi dari kekeringan, perang,
pengadangan bantuan kemanusiaan, dan kekacauan yang berlarut-larut membuat
empat juta warga Somalia, khususnya anak-anak, mengalami krisis. Hasil
pertaniannya pun hanya seperempat dari normal sehingga harga bahan pangan
melonjak sangat tajam.
Namun
di balik volatilistik kehidupan yang keras, ternyata masih ada suara angelis
yang menyerukan bantuan bagi orang-orang yang kelaparan di Somalia. Saya
memahami, ini sebagai sebuah upaya kecil selaksana setetes air di gegurun,
tetapi esensi itu dapat mencetus kebajikan berantai di seluruh dunia agar kita
dapat mengulurkan tangan untuk menyelamatkan banyak nyawa, khususnya anak-anak
di Afrika.
Adalah
postingan sebuah foto yang menyayat hati, di mana dalam foto itu tampak seorang
wanita berkulit hitam baru meletakkan jasad seorang anak yang hanya bertubuh
kulit membungkus belulang di sebuah liang tanah. Dalam penyertaan foto tersebut
dituliskan kalimat yang menyentuh:
“Teruskan pesan ini, Anda tidak dikenakan biaya layanan apa
pun, tetapi untuk UNICEF adalah lima euro. Sebelum Anda membuang sisa makanan
dalam mangkuk Anda, silakan berpikir tentang orang-orang kelaparan. Di Afrika
dan tempat lain di dunia, ada anak-anak kelaparan, setelah perjanjian
ditandatangani antara UNICEF dan MSN, untuk anak-anak hilang dan anak-anak
lain, sebuah program untuk membantu pemula dibuat. Berapa kali Anda memuat dan
membagi gambar ini untuk teman, sebanyak itu dikali lima euro, itulah yang
UNICEF akan terima. Mari kita membantu anak-anak sekarat agar bisa hidup.
Janganlah kita lupa bahwa setiap detik, mereka memiliki anak yang mati
kelaparan”.
Saya
sendiri tidak tahu bagaimana persisnya foto berisi pesan moral berantai yang awalnya
diposting oleh seseorang yang bernama Marcos Mulia Wijaya di Facebook tersebut.
Saya tidak tahu benefit apa yang akan ia peroleh setelah menyampaikan pesan yang
memandemik liar seperti jatuhnya korban-korban kelaparan di Somalia itu. Saya
tidak tahu apa maksud dan tujuan di belakang dari semua hal yang tampak “sepele”
tersebut, yang notabene menyita kurang lebih dua menit waktu kita untuk
memosting pesan serupa itu di Facebook. Namun yang pasti saya hanya teringat
kalimat yang pernah diposting oleh Dewi Lestari dalam sebuah artikel yang
ditulisnya dalam blognya:
“Kita
menanti perbuatan-perbuatan agung yang tampak megah, dan melupakan bahwa dalam
setiap tapak langkah ada banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu yang
bermakna”.
Mungkin
Marcos Mulia Wijaya hanyalah setetes air yang tak berarti di gegurun, tetapi
seperti esensi dari kalimat yang ditulis oleh Dewi Lestari, saya dapat
mengambil kesimpulan jika ia telah menapak dalam langkah kecil tanpa memikirkan
hal-hal agung apa yang dapat memomulerkan namanya semata kemanusiaan.
(blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment