ROMO HEMAJAYO THIO
Pemerhati Budaya dan Mainan
Tradisional Anak
“Pentingnya Peran Pengawasan Orang Tua
terhadap Mainan Anak”
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Era teknologi mutakhir melahirkan
mainan anak yang serba instan. Proses yang serba cepat dan terkesan buru-buru
tersebut melahirkan budaya baru bagi anak-anak zaman sekarang, yakni
egosentrik. Anak-anak tak lagi senang bersosialisasi sebagai bagian dari
kemajemukan dalam masyarakat. Apalagi, permainan atau mainan baru tersebut
secara parsial mendukung anak-anak menjadi pribadi yang ambigu.
Hal ini dikatakan oleh pemerhati
budaya dan mainan tradisional anak, Romo Hemajayo Thio, saat ditemui beberapa
waktu lalu di Griya Jinaraja Sasana, Jalan Bonerate, Makassar. Pribadi ambigu
yang ia maksud merupakan konotasi kerawanan sosial terhadap implikasi penerapan
salah sejak dini melalui konsumsi mainan yang tak layak.
“Terus terang, saya prihatin terhadap
bebasnya akses digital yang belum layak dikonsumsi oleh anak-anak, di antaranya
melalui jaringan internet,” ungkapnya.
Hemajayo menjelaskan, ia tidak
menafikan mainan “digital” yang merupakan konsekuensi kemajuan zaman, akan
tetapi anak-anak tidak boleh serta merta mengonsumsi apa saja yang ditebarkan
oleh medium-medium digital yang ada seperti internet dan lain sebagainya.
“Sebenarnya, orang tua memegang peran
penting dalam pembentukan karakter anak. Biasanya dimulai dari mainan yang
sederhana. Mainan tradisional bukan saja bersahaja, namun juga dapat membentuk
karakter mandiri terhdap anak, karena mainan tradisional menggugah kreativitas
dan olah cipta terhadap sebuah karya,” terangnya.
Ia menyontohkan, miniatur perahu,
mobil, atau rumah-rumahan yang terbuat dari kayu atau bambu, merupakan mainan
yang bersumber dari hasil alam, murah, dan ramah lingkungan. Kontekstual inilah
yang seharusnya menjadi landasan bagi orang tua untuk tetap melestarikan mainan
tradisional anak kepada anak-anak mereka.
“Orang tua perlu mengawasi anak-anak mereka.
Di era teknologi ini, pergeseran pola permainan anak mengarah ke digital, di
mana permainan tradisional mulai ditinggalkan, dan mereka menuju akses internet
bebas. Jika tak diawasi, saya khawatir ini akan menimbulkan problematika
tersendiri,” pesannya.
Hemajayo menyampaikan, seyogianya
mainan tradisional tak ditinggalkan karena secara tersirat banyak membawa pesan
moral, di antaranya menggugah anak-anak terhadap cinta Tanah Air dan tetap
menggunakan bahan mainan yang bersumber dari alam.
Kendati demikian, sebagai konsekuensi
logis di era cyber, anak-anak memang juga tidak dapat dipasung untuk tidak
menyentuh “digital”, baik mainan sebagai spektrum sosial maupun sebagai sarana
hiburan.
“Untuk mencegah anak-anak terjerumus
kepada hal-hal yang negatif, orang tua juga perlu membentengi anak-anak mereka
dengan akhlak. Jadi di sini, orang tua wajib membimbing anak-anak mereka, dan
tidak lepas tangan begitu saja lantaran kesibukan mereka. Dengan begitu,
anak-anak dapat diarahkan terhadap hal-hal positif, termasuk konsumsi mainan
yang baik bagi mereka,” paparnya.
Terkait tingginya tingkat
konsumerialisme produsen terhadap mainan anak tanpa mengabaikan sisi edukasi,
ayah dua orang anak ini mengatakan sebaiknya hal tersebut kembali berpulang
kepada orang tua anak-anak itu.
“Inilah peran orang tua sebagai
benteng, di mana mereka dapat melakukan filterisasi, mana mainan yang edukatif,
dan mana yang tidak sama sekali. Saya akui, memang industri mainan anak di satu
sisi merupakan lahan bisnis yang menggiurkan, akan tetapi di sisi lain, bisnis
ini sarat dengan moralitas karena merupakan gerbong bibit-bibit muda yang suatu
saat akan memimpin bangsa ini,” tandasnya. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment