Oleh Weni Laudy Ratana
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Mawar
hanya mematung seperti arca. Duduk anteng dengan tatapan lurus ke depan. Tak
menoleh barang sekejap pun ke arah cowok yang tengah nyetir di sebelahnya.
Disumpah-sumpahinya Nindy karena melarikan diri dari tanggung-jawab. Biar jadi
kodok pada kehidupan berikutnya!
Bayangkan.
Masa dia bilang mau beli shampo di Bekasi, dan mendadak tidak dapat menemani
mereka minum-minum di Frontrow Cafe. Dan kurang ajarnya lagi, dia langsung
terbang seperti kuntilanak tanpa pamit terlebih dahulu. Padahal, acara ini kan
atas inisiatifnya?!
Celakanya,
dia menerima ajakannya karena cewek itu pakai acara memelas segala rupa.
Hasilnya, dia tidak tega say no kepada sobatnya itu. Namun akibatnya, sekarang
dia hanya dapat terlongong bingung seperti sedang kesetrum listrik. Hm, ini
pasti akal bulusnya untuk mempertemukannya dengan sepupunya, Marcel!
Beli
shampo di Bekasi?! Huh, kenapa tidak beli shamponya sekalian di Kamerun sana!
“Sore
ini kamu cantik sekali.”
Mawar
nyaris kelengar. Bukan karena dia dijatuhi durian runtuh, tapi tidak seperti
biasanya cowok pendiam seperti Hua Ce Lei dalam Meteor Garden ini dapat
melafalkan kalimat barusan.
Mungkin
dia baru saja menamatkan kursusnya di John Robert Power, sekolah kepribadian itu.
Soalnya, kalau seorang Marcel George Simbolon tadi hanya asal gombal, tentu
tingkahnya tidak sewajar tadi. Jadi, mana mungkin orang sedingin kulkas ini
dapat tiba-tiba menjadi prenjak jantan.
“Eh,
kamu kenapa?” Cowok itu mengibas-ibaskan telapak tangan kirinya di depan wajah
Mawar.
“Uh,
ti-tidak apa-apa….”
“Lagi
mikirin pacar kamu, ya?”
Mawar
mengernyitkan dahinya. Hei… dari mana datangnya keberanian itu? Setahunya,
meski dia baru bertemu dengan cowok itu sebelas kali, dan itu pun hanya di rumah
Nindy. But, today? Dia yakin Marcel yang
dikenalnya bukan seperti Marcel yang sekarang. Atau, mungkinkah dia hanya mengenal
Marcel tidak lebih dari seperseratus bagian dari seluruh sifat aslinya?
Tapi,
tidak mungkin dia salah. Bukankah Nindy juga yang mengatakan kepadanya kalau
kakak sepupunya itu memang sedingin salju di Kutub Utara. Dan salju itu akan
menjelma menjadi ice-man alias manusia es bila berhadapan dengan cewek.
“Selain
aku sepupu satu kalinya, dia tidak punya saudara cewek. Dia anak bungsu dari
tujuh bersaudara. Dan semuanya pejantan. Makanya, yang namanya makhluk perempuan
itu merupakan koloni yang berasal dari angkasa luar. Asing sekali baginya.”
“Sebegitu
parahnyakah?”
“Tidak
parah-parah amat, sih. Tapi, dia pernah curhat sama aku. Katanya, dulu, selain
kamu, dia pernah suka sama seorang gadis Singapura. Oh, aku lupa beri tahu
kalau Si Marcel itu gedenya di Singapura.”
“Jadian?”
“Tauklah.
Aku tidak mau mengorek masa lalunya. Kelihatannya dia sedih banget saat curhat.
Pasti ada yang something wrong dengan romantika masa lalunya itu. Buktinya,
matanya sempat berkaca-kaca saat itu. Ya, meskipun dia menutup-nutupinya, tapi
aku tahu dia sedang sedih. So, aku tidak berani bertanya macam-macam lagi,
takut dia jadi gelap mata. Jangan-jangan kena tonjok karena keceriwisan.”
“Masa
sih dia selembek itu? Padahal, orangnya kelihatan cool banget.”
“Aduh,
Non. Kalau bicara soal cinta, permen batang coklat saja bisa jadi batangan
emas.”
“Tapi,
Marcel….”
“Marcel
juga manusia, kan? Buktinya, dia naksir kamu. Dan ngotot aku dapat nyomblangin
dia ke kamu.”
“Tanpa
pengecualian untuk si Manusia es itu?”
“Tentu
saja. Cinta itu anugerah. Kamu, aku, dan semua penghuni planet biru ini kan
merupakan buah dari cinta dan kasih sayang. You, know?”
“Iya,
Nek. Aku mengerti.”
Ada
bunyi klakson yang mengusir lamunannya. Sejenak dia kemekmek. Merasa dirinya
hilang di tengah rimba kota.
“Kita
sudah sampai, War.”
***
Suasana
café tidak terlampau ramai. Hanya tampak beberapa anak ingusan berpredikat ABG
sedang mengoceh tentang selebritis idola pujaan masing-masing. Sementara itu
musik melantun enerjik. Ada irama latin dari petikan gitar elektrik Santana
yang terdengar mengentak. ‘Corazon Espinado’-nya menyatu dengan oksigen di dalam
ruangan café. Asyik sekali.
“Kamu
sakit?”
“Uh,
eh… tidak.”
“Mungkin
kamu kecapekan, sedari tadi menunggu kami. Sorry, ya?”
“Bu-bukan….”
Cowok
itu tampak santai. Sudah lama dia tidak bertemu dengannya. Nyaris dua bulan
dihindarinya cowok itu. Diam-diam diliriknya cowok itu tengah memesan menu makanan.
Dia kelihatan semakin dewasa. Tingkahnya yang berwibawa itu malah menyudutkan
dia dalam kekikukan. Dan dia hanya dapat mengangguk menjawabi setiap pertanyaan
dari cowok itu.
“Minum
apa?”
“Sama.”
“Eh,
War, sorry ya karena menyita waktu kamu. Kamu sedang tidak banyak pe-er, kan?”
“Tidak,
sih. Ta-Tapi… Nindy….”
“Hahaha,
anak itu lucu,” cowok itu terbahak. “Dia ngerjain kamu.”
“Pasti
akan kubalas, nanti.”
“Rupanya,
kamu pendendam, ya?”
“Habis,
dia jahat, sih!”
“Sorry.
Sebenarnya, ini ide dari aku. Dia hanya broker. Jangan salahkan dia.”
“Ta-tapi….”
“War,
aku sengaja minta dia agar dapat mengatur pertemuan kita. Only you and i.”
“Tapi,
dia kan sudah janji kepadaku bahwa acara JJS ini bertiga.”
“Kamu
marah?”
“Tentu
saja. Aku tidak suka orang yang sering ingkar janji.”
“Sori.
Ini inisiatifku. Kalau marah, ya sama aku.”
“Ya,
sudahlah. Bubur tidak mungkin jadi nasi kembali.”
“Terlebih-lebih
menjadi padi.”
Mereka
tertawa. Diliriknya kembali cowok itu. Ada sepasang lesung yang menyembul indah
di sudut bibirnya.
“Cel….”
“Kamu
pasti ingin tahu kenapa aku….”
“Aku
sudah tidak marah lagi, kok.”
“Syukurlah.
Aku malah kuatir marahmu itu akan berbuntut benci.”
“Aku
tidak sejahat itu.”
“Sebenarnya….”
“Nindy
sudah menceritakannya. Kamu….”
“Ya,
ya. Tidak ada yang kututup-tutupi kalau sudah curhat sama sepupuku itu. Kamu
pasti sudah tahu kalau selama ini aku tuh naksir kamu. Cuma….”
“Cuma
apa?”
“Kenapa
kamu menghindari aku?”
“Ak-aku….”
“Kamu
tidak suka sama aku, kan?”
Mawar
diam seribu bahasa. Lidahnya kelu. Hatinya berkecamuk. Haruskah dia berterus
terang tentang derajat dan martabat keluarga yang sangat jauh berbeda. Seperti
langit dan bumi.
“Trim’s
kamu mencintai aku. Ta-tapi… ki-kita beda, Cel!”
“Beda
bagaimana? Kamu makannya nasi, ya aku juga. Memangnya anak tajir itu makannya
nasi butiran berlian apa?”
“Ta-tapi….”
“War,
listen to me please. Kalau aku suka kamu, ya aku suka. Kamu jangan
mencampuradukkan perasaan dengan obsesi dan kisah-kisah klasik pengantar bobo
begitu, dong!”
“Tapi….”
“Aku
tidak ingin kecewa lagi, War. Aku sudah banyak menderita akibat kesalahanku sendiri.
Dulu, aku tidak pernah jujur terhadap diriku sendiri.”
“Memangnya….”
“Mungkin
Nindy sudah cerita sama kamu.”
Mawar
mengangguk.
“Tiga
tahun lalu, ketika aku masih SMP di Singapura; aku jatuh hati pada salah satu
teman sekelasku. Namanya May Shiang. Dia juga tampaknya suka. Tapi, aku tidak
pernah jujur dengan hatiku sendiri. Aku bersikeras untuk tidak menghiraukan
rasa cintaku kepadanya dengan hanya menganggap dia seperti gadis-gadis teman
sekolahku yang lainnya. Padahal, dia sudah sering menampakkan rasa ketertarikannya
kepadaku. Lewat perhatian-perhatian yang lebih dari sekadar pertemanan biasa.”
“Tapi,
kenapa kamu dan dia tidak dapat bersatu? Bukankah, Si May… siapa?”
“May
Shiang.”
“Ya,
May Shiang. Dia kan suka juga sama kamu?”
“Ah,
itulah sakitnya. Waktu itu, mungkin aku terlalu jumawa. Aku malu mengungkapkan
cintaku kepadanya. Aku takut apabila ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
Aku selalu ragu, tidak jujur dengan hatiku sendiri. Kupendam perasaan suka itu
dalam-dalam selama dua tahun. Dan ketika aku merasa sudah punya keberanian dan
kejujuran, segalanya sudah terlambat!”
“Terlambat?!”
“Yap.
Gadis itu sudah tidak berada di Singapura lagi. Aku dengar dari Pengurus
Administrasi Sekolah bahwa May Shiang pindah ke Beijing, mengikuti ayahnya yang
bertugas sebagai duta besar untuk Singapura di sana.”
“Kamu
bisa berkirim surat atau email. Tanya alamat kedubes Singapura di Beijing.”
“Percuma.”
“Kenapa?”
“Dua
tahun, setiap hari berdekatan dengannya, sekelas lagi; tapi dasar aku yang
bego, tidak dapat memanfaatkan kesempatan itu. Semua itu karena keegoisanku,
tidak jujur terhadap diriku sendiri. Bukankah aku telah membuang-buang waktu
dengan percuma?!”
“La-lalu….”
“Yah,
mau apa lagi. Meski aku kirimi dia seribu surat dan seratus rangkaian bunga
mawar setiap hari pun percuma saja. Dua tahun aku menampik cintanya secara
tidak langsung. Dia pasti sakit hati. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia mau
ikut ayahnya ke Negeri Tirai Bambu itu.”
“Tapi….”
“Yah,
sudahlah. Seperti yang kamu bilang tadi. Bubur tidak mungkin jadi nasi
kembali.”
Mawar
menguraikan bibirnya membentuk senyum. “Terlebih-lebih menjadi padi.”
Mereka
kembali terbahak.
“War,
aku tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Aku mengatur semua rencana ke
café ini resmi untuk berterus terang kepadamu. Aku cinta kamu!”
“Hah?”
Mawar terkejut, tapi dia cepat mewajarkan sikapnya dengan melontarkan
pertanyaan gurau. “Jadi, kamu berniat ‘melamar’ku sebagai pacar?”
“Yap.”
Cowok itu mengacungkan dua jarinya ke atas. “Mulai hari ini, aku Marcel George
Simbolon bersedia menerima Mawarni Stephanus Handoyo sebagai pacar. Dan aku,
Marcel George Simbolon bersumpah untuk tetap menyayangi Mawarni Stephanus
Handoyo dalam keadaan senang maupun susah, suka maupun duka, dan menyertainya
dalam keadaan sehat maupun sakit. Sampai ajal menjemput.”
Mawar
terharu. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Entah dia harus bilang apa. Dia hanya
dapat menggaruk-garuk rambut potongan pendeknya itu meskipun kepalanya sama
sekali tidak gatal.
“Ta-tapi,
kita ini dua kutub yang berbeda. Aku ini kere, tahu! Kamu mungkin dapat
menerima aku, tapi bokap-nyokap kamu belum tentu.”
“Papi-Mamiku
tidak seperti dalam sinetron….”
“Maksudmu,
tidak matre!”
Marcell
mengangguk. Dan itu telah menjawabi segalanya. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment