Oleh
Effendy Wongso
Hingga
masa itu tiba
tak
jua gergasi manapun menggentarkanmu
kesatria,
biarlah
kali ini saja
lentera
itu menuntunmu
dalam
lagu sunyi kekalahan
Jangan
sesali
sinar
jingga lentera
yang
mengajakmu ke tempat
pada
sekumpulan koi di Onon
dan
pada sekawanan domba di Gobi
Sebab
api telah membubung tinggi
kala
maharana tak terelak
kesatria,
airmatamu
setipis cadar
tak
mampu membasuh luka ambigu Mongolia
Bao
Ling
Elegi
Si Pendekar Danuh
1231,
Kabupaten Chengdu
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Namaku
Fa Mulan.
Aku
anak seorang veteran prajurit Yuan, Fa Zhou. Aku adalah gadis desa biasa. Namun
mereka selalu menyebutku Magnolia, gadis jelmaan Dewata. Kadang-kadang mereka
memanggilku, Fa Mulan, Prajurit Garda Langit.
Hah,
mungkin ini terlalu hiperbolis?!
Mungkin,
ya mungkin.
Bagiku,
sebutan itu terlampau mengada-ada. Ataukah, mereka telah mendewakan aku?!
Ah,
entahlah. Yang pasti aku merasa tidak pernah menjadi pahlawan. Aku ini manusia
biasa yang memiliki banyak kelemahan. Aku hanya terdiri dari daging dan darah.
Aku juga takut mati.
Keberanian-keberanian
yang telah aku tunjukkan selama maharana bukanlah sesuatu hal yang, bagi
kebanyakan orang dianggap muskil dan fenomenal. Perang adalah pilihan terakhir
yang mau tidak mau harus aku jalani. Di dalam perang, hanya ada dua pilihan. Hidup
atau mati. Dan ternyata dalam beberapa pertempuran, aku masih hidup. Bukan
karena aku heroik. Bukan pula karena aku jawara. Bukan. Namun kusadari semua
itu adalah anugerah Dewata. Aku dapat bertahan hidup di dalam kelam maharana
karena semata ajallah yang belum menjemputku.
Aku
juga tidak senang mereka mengkultuskan aku sedemikian rupa. Karena selama ini
aku hanyalah sehelai yang-liu yang mengikuti alur air sungai, dan sampai pada
sebuah tempat di mana sang air bermuara. Nasib telah membawaku ke medan
maharana. Nasib yang telah membawaku ke Tung Shao. Nasib jualah yang telah
membawaku ke Istana.
Aku
menjalani hidup ini apa adanya. Menyaru sebagai laki-laki, menelusup dan
memasuki kewajiban kemiliteran Yuan. Selanjutnya, aku bertempur sebagai
prajurit Yuan. Melaksanakan tanggung-jawab dan kewajiban mempertahankan negara
dari agresi bangsa lain. Bukannya karena aku beda dengan prajurit-prajurit yang
lainnya. Bukan. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanyalah manusia biasa.
Masih
banyak tugas yang belum aku tunaikan. Tionggoan masih pula bergejolak. Aku
memiliki tanggung jawab moral untuk memaparkan kebajikan bagi perkembangan di
tanah yang kerontang ini.
Namun
yang terutama, aku belum dapat membahagiakan Ibu. Ia selalu menuntut cucu
laki-laki dariku. Kadang-kadang aku benci cerocosannya yang bawel itu. Tetapi
setiap merenung sebentar, maka kebenaran samar terungkap dari keceriwisannya
tersebut.
Bahwa
aku sebenarnya memang perempuan. Ya, aku memang seorang perempuan.
(blogkatahatiku.blogspot.com)