Oleh Weni Lauwdy Ratana
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Amelia sudah berhasil
keluar dari gedung labirin ketika salah seorang prajurit Dinasti Yuan itu
melihatnya, lalu berteriak dengan gema serupa sangkakala!
“Khe Khe!”
Amelia berlari di antara
rerimbunan mahoni di luar gedung labirin. Berkas-berkas cahaya matahari yang menelusup
di antara dedaunan menggambari tanah merah di sana serupa gergasi bercula
bersenjata gada ganda.
Teriakan sang prajurit tak
urung menggebah langkahnya yang secepat kijang. Terus saja berlari sampai berhenti
di satu titik. Simpul bibirnya terurai. Dan ia ternganga kaget ketika melihat
ratusan pasukan berkuda yang menghadang langkahnya di depan.
“Hahaha….”
Ada suara tawa menggema di
antara ratusan pasukan berkuda. Ia mundur setindak. Bingung serupa muno. Entah
harus berbuat apa. Dua pihak asing menginginkan jasadnya.
Ia pasrah!
“Yuan Ren Xie Khe Khe,
hormat hamba pada Anda putri dari Sang Penguasa Tionggoan!”
Seorang lelaki berkulit
separo gelap turun dari kudanya yang jenjang. Dipijaknya tanah merah dengan
jubah yang masih tersibak setengah, menggantung di pelana kuda. Ia masih
tersenyum ketika stola kulit rubahnya itu melambai tertiup semilir angin hutan.
“Ak-aku….”
Yuan Ren Xie Khe Khe?!
Hei, namanya adalah Yuan Ren Xie. Putri Yuan Ren Xie, anak gadis kaisar Sang Penguasa
Tiongkok!
“Mohon jangan menolak,
ikut kami atau nyawa Tuan Putri tidak menjadi jaminan kami lagi!”
Amelia kemekmek. Di dunia
macam apa ia berada kini. Seperti terseret ke dalam lorong waktu, di mana ia
dihadapkan pada kenyataan ekdisis dan kamuflase. Ekstraversi babur yang tanpa
disadarinya telah membawa ia ke tempat ini, ratusan tahun bahkan sebelum moyangnya
dari generasi modern lahir dan berekspansi ke Asia Tenggara!
“Aku bu-bukan Tuan Putri!
Aku ti-tidak kenal siapa itu Kaisar Tionggoan!”
Lelaki berwajah tirus itu
terbahak sinis. Matanya memicing, menatap mawas setelah tawanya mereda.
“Selera humor Yuan Ren Xie
Khe Khe boleh juga! Namun, jangan buang-buang waktuku untuk guyonan yang sama
sekali tidak lucu itu!”
“Ak-aku memang bukan….”
“Sudahlah!” teriaknya
dengan suara sekeras guntur. “Thamu Dan, tangkap dia!”
Seorang pemuda berpakaian
kulit beruang mendekatinya setelah turun dari kuda dengan sekali lompatan tanpa
menapaki sanggurdi. Kemudian seperti terbang, dengan entakan kaki dua kali pada
tanah, pemuda yang bernama Thamu Dan itu sudah sampai di hadapannya sebelum ia
sempat mengayunkan kaki untuk kabur. Pemuda itu langsung memegang pundak, serta
mengunci gerakannya dengan cakar. Jemari pemuda bertubuh kekar itu memang kuat
bagai kuku-kuku beruang. Amelia terkulai dengan kedua lutut menopang tubuh.
Tubuhnya terpatri di tanah. Tidak bisa bergerak meski ia meronta-ronta dengan
sekuat tenaga.
“Hentikan!”
Ada teriakan dari arah
belakang. Ia menoleh dengan posisi tubuh yang masih tertelikung oleh pemuda berbaju
kulit beruang itu. Lima prajurit dari Dinasti Yuan yang mengejarnya tadi kini
berdiri sejajar dengan pedang terhunus.
“Lepaskan Khe Khe!”
Lelaki separo baya yang
tampaknya merupakan pemimpin rombongan pasukan berkuda itu terbahak. Lehernya
yang bergelambir seperti domba itu bergetar konstan mengikuti alunan tawa dari
pita suaranya.
Maka apa yang telah
dibayangkannya memang terjadi. Pertempuran lima prajurit Dinasti Yuan dengan para
barbarian Mongol tidak dapat dihindarkan. Ia masih sempat melihat perkelahian
sengit itu berlangsung tidak lama setelah merasa tubuhnya diangkat di atas
seekor kuda.
Derap-derap kaki kuda terdengar
menderas. Dari kejauhan, samar dilihatnya ada kilatan cahaya dari ujung mata
pedang yang terpantul sinar matahari pagi. Ada suara gabrukan keras terdengar
membentur tanah. Ada jeritan kesakitan melengking di udara. Ada salah satu
prajurit Dinasti Yuan yang terkapar di tanah.
Matanya mengabur. Ia
terkulai pingsan di atas seekor kuda bersama Thamu Dan sesaat setelah pandangannya
menggelap.
Amelia terhenyak.
Sertamerta terduduk di atas tempat tidur. Napasnya tersengal dan terdengar
memburu. Ini adalah kali kedua Amelia bermimpi tentang prajurit-prajurit dari
masa lampau tersebut. Ia terjaga dengan peluh yang menitik di dahi. Dilihatnya
sekeliling. Tidak ada siapa-siapa di kamar hotel kecuali Jennifer yang telah
terlelap disertai irama dengkuran khas di sampingnya.
Amelia masih meringkuk
duduk memeluk lutut di atas tempat tidur. Hari ini memang melelahkan. Ada patung-patung
Teracotta yang muncul bergantian dengan para prajurit dari Dinasti Yuan di
benaknya. Juga fenomena aneh, tangisan tengah malam patung-patung Teracotta di
Beijing Teracotta’s Meseum yang didengarnya dari Wang Wei sang Pengurus Museum.
Lalu bayang itu berganti dengan wajah bengis pemimpin pasukan berkuda barbarian
Mongol, serta pemuda Thamu Dan yang sarkastis.
Amelia menghela napas
panjang. Angin seperti menyeretnya ke negeri para leluhurnya beranak pinak. Memaparkan
kausa lotong tentang bangsa yang dicacah perang saudara di masa lampau. Inikah
serangkaian misteri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia?!
Ia menggigit bibir.
Serangkaian kalimat tanya itu menghunjam benaknya. Mejadi paradigma yang mengendap
di alam bawah sadarnya. Yang hadir dalam mimpi-mimpinya selama ini. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment