Oleh
Weni Laudy Ratana
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Sesuatu
yang bernama cinta selalu datangnya mendadak. Tanpa diundang. Terlebih-lebih
dengan surat undangan. Tapi yang namanya Cupid memang tidak pernah
memilah-milah siapa yang hendak disasar dengan panah asmaranya. Kalau sudah
menjadi keputusan langit, maka hal itu tidak dapat ditolak. Tugasnya untuk
melesatkan anak panah yang menjadi amanat tetap akan tereksekusi. Apapun dalih
yang melatarbelakangi.
Sama
halnya dengan Andin. Cewek manis berlesung pipi ini sama sekali tidak pernah
menyangka akan dapat jatuh cinta pada Taurus. Padahal, dua tahun persahabatan
mereka di sekolah tidak pernah dilatarbelakangi ‘apa-apa’. ‘Apa-apa’ di sini
maksudnya, feeling. Not feeling blue. Tapi siapa sangka persahabatan mereka
yang jalan baru saja menginjak usia tiga itu bisa direcok asmara.
Andin
menghela napas panjang-panjang. Selalu saja begitu bila ia menyaksikan Taurus
ngobrol dan berdekatan dengan cewek lain. Apakah ia jealous?! It’s not funny!
Hei, bukankah selama dua tahun juga cowok itu akrab dengan teman-teman cewek
seantero sekolah?! Tapi, kenapa sekarang hatinya berdebar tidak menentu
begini?!
“Andin…!”
Satu
panggilan berintonasi tinggi plus tepukan separo keras di pundaknya membuyarkan
lamunannya. Dialihkannya matanya spontan pada wajah berpeluh dengan suara
terengah di belakang. Maura menunduk memegang lutut dengan kepala mendongak,
tetap konsisten menatap sahabatnya yang tiba-tiba berubah jadi aneh dan pendiam
itu di seberang meja kantin.
“Kok
nggak ikutan basket, sih?”
“Malas!”
“Jangan
mengurai dalih. Aku tahu pasti bukan itu penyebabnya.”
“Aku
sedang….”
“Sudahlah,
Din. Wellcome to The Moon-mu kan sama denganku. Jadi, aku tahu kalau kamu tidak
sedang haid.” Maura menegakkan badan setelah merasa lebih segar. Ditepuknya
pundak Andin sekali lagi setelah ikut duduk di sebelah gadis yang tiba-tiba
jauh lebih murung dari mendung itu. “Come on. Curhat aja. Gratis, kok.”
“Tapi….”
Gadis
bertubuh lampai itu menyeka peluh dengan satu sapuan telapak tangan pada
sekujur leher. Rambutnya yang lurus mayang kini sudah sedikit mengikal karena
lepek oleh kelenjar keringat. Dikibaskannya tangan yang satunya mengisyaratkan
ketidaksetujuan. Satu bukti penolakan yang biasa dilakukan bila tidak akur
dengan suara nuraninya. Andin memang jadi aneh. Gadis prenjak itu tiba-tiba
menjelma menjadi merpati jinak! Ups, ini stori paling unik yang pernah
dialaminya.
Padahal….
“Maura….”
“What?”
“Maura,
kamu pernah jatuh cinta nggak?”
Maura
sekali lagi menyapu sekujur lehernya yang sama sekali sudah tak berkeringat.
Satu bukti keterkejutannya yang diaplikasikan tanpa sadar. What?! ‘Maura, kamu
pernah jatuh cinta nggak?!’ That is something stupid! Satu pertanyaan paling
bodoh sedunia!
“Andin….”
“Kamu
belum jawab pertanyaanku!”
Lagi-lagi,
gadis berambut mayang itu menyapu lehernya dengan telapak tangan. Tiga detik,
sapuan telapak tangannya itu mengarah ke sekujur wajah. Entah ia harus berbuat
apa dengan pertanyaan mahatolol itu!
“Andin,
kamu sakit ya?!”
“Siapa
bilang aku sakit. Aku sehat-sehat aja, kok.”
“Ragamu
sehat. Tapi, otakmu yang sakit!”
“Hei,
ka-kamu….”
Maura
mengedikkan bahunya tanpa merasa bersalah. Pertanyaan yang dilontarkan Andin
barusan menggelitik hatinya. Memangnya hati gadis itu terbuat dari batu
sehingga tidak pernah jatuh cinta apa?!
“Maura….”
“Din,
manusia apa sih yang nggak pernah jatuh cinta?!”
“Maksudku….”
“Kecuali
dia itu bukan manusia Bumi. Tapi, manusia sejenis Alien yang berasal dari Mars
sana!”
“Maura!
Aku serius!”
“Siapa
bilang kamu dua rius?”
“Maura!”
Maura
mengangguk, mengalah karena melihat mata Andin telah berkaca-kaca. “Oke, oke.
So, what do you mind with: ‘Maura, kamu pernah jatuh cinta nggak?!”
Sesaat
gadis itu tergugu. Bibir mungilnya mengatup serupa digembok. Kantin sebetulnya
tempat yang ideal untuk menuangkan unek-unek tanpa harus mengganggu konsentrasi
seperti kalau ada kelas. Tapi kali ini ia tidak tahu harus ngomong apa. Padahal
lelatu kalimat tadi telah sedikit membakar keberaniannya untuk menyampaikan
ikhwal ganjalan di hati. Kalau bukan Maura sohib kentalnya, pada siapa lagi ia
mesti curhat?!
***
“Yah,
bukannya aku nggak pernah jatuh cinta, Ra. Tapi….”
“Tapi
apa?”
“Tauklah.
Tapi, aku takut kalau jangan-jangan cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.”
“Itu
resiko jatuh cinta.”
“Tapi….”
“Itu
hal yang manusiawi banget, Din. Setiap hal punya konsekuensi. Untuk urusan hati
yang paling hakiki seperti cinta pun begitu. Kalau nggak keterima, ya ketolak.
Itu aja.”
Andin
diam menyimak. Bakso pesanannya malah belum tersentuh sama sekali. Kuahnya
sudah dingin, dan beberapa lemak nabati telah menggumpal di gigir mangkuk.
Maura asyik mengunyah daging bulat baksonya tanpa merasa terbebani dengan
masalah sahabat semasa SD-nya itu.
“Tapi,
kalau aku ditolak kan sakit hati, Ra!”
“Siapa
juga yang bilang kalau cinta ditolak itu enak, Non?!”
Andin
tersenyum, menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “I-iya, sih.
Tapi….”
“Tapi
apa lagi?”
“Kamu
pernah ditolak nggak, Ra?”
“Ya
iyalah. Kalau nggak, mana aku bisa ngerasain bagaimana sakitnya bila cinta kita
ditolak!”
“Oh.
Eh, tapi kok kamu nggak sakit hati sih?”
“Sakit
hati sih, iya. Tapi percuma kalau terus diungkit-ungkit dan diingat-ingat.
Memangnya kalau menangis sampai banjir bah dapat memperbaiki keadaan?”
“Wah,
kamu hebat!”
“Nggak
juga, Din. Tapi, aku nggak mau trauma-trauma begitu.”
“Kenapa?”
“Ya
bodoh aja menurutku.”
“Memangnya….”
“Kalau
pingin punya pacar, kita mesti berani menerima resiko. Kalau kamu takut, ya
jadi jomblo aja deh seuban-ubanan!”
“Kok
begitu sih ngomongnya, Ra?!”
“Ya
habis aku harus ngomong apa dong, supaya kamu berani?! Apa Taurus bisa kamu
taklukkin hanya dengan satu lirikan mata? Heh, memangnya sulap apa?”
“Ja-jadi,
selama ini kamu tahu aku naksir sama Taurus?!”
“Ya
iyalah! Cuma orang bego aja yang nggak tahu kalau kelakuanmu yang kayak ular
kepanasan bila berhadapan dengan Taurus itu bukan merupakan love-syndrome.”
“Heh,
kamu bisa aja!”
“Ya
iyalah. Habis, mau dikategorikan apa dong kelakuan anehmu itu kalau bukan
karena pengaruh kasmaran.”
“Tapi,
aku kan nggak pernah ngungkapin perasaanku ke doi, Man!”
“Itu
yang salah!”
“Kenapa?”
“Ya
iyalah. Mana doi tahu kamu suka dia kalau kamu hanya diam kayak patung orang
setengah kelar begitu. Diam melulu.”
“Jadi,
aku harus bagaimana dong, Ra?”
“Samperin.
Terus terang, bilang kalau kamu tuh naksir dia.”
“Hei,
kamu pikir aku sudah gila ya, Ra?”
“Lho,
memangnya kenapa? Kamu pikir apa cewek nggak bisa ‘nembak’ duluan?”
“Keganjenan,
tahu!”
“Oke.
Kalau begitu, silakan menjomblo seumur-umur!”
“Maura!
Jangan nakut-nakutin begitu, dong!”
“Habis,
kamu nggak pede sih!”
“Baik,
baik. Tapi, kamu ajarin ya bagaimana cara ‘nembak’ doi.”
“Hah?!
Memangnya aku instruktur cinta apa?!”
“Please,
Ra! Aku nggak mau menjomlo seumur hidup!”
Maura
menggeleng. Berdiri dari bangku kantin, hendak melangkah menuju ruangan kelas.
Pura-pura menolak permintaan Andin yang memelas dengan suara paruh tangisnya.
“Maura,
please dong!”
Maura
tetap melangkah. Diam-diam ia tertawa melihat kelakuan sahabatnya yang lugu
itu.
Andin
memang jomblo sejati! (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment