![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Tren
kawat gigi (behel) yang kian disukai oleh masyarakat, khususnya kaum muda
memang menjadi fenomena tersendiri. Selain kegunaan sebagai alat memperbaiki
posisi gigi, kini behel juga menjadi semacam gaya hidup. Wanita remaja pengguna
behel pada umumnya menggunakan benda yang sejatinya untuk "perawatan" gigi
tersebut dialihfungsikan ke lain hal yakni sekadar bergaya lantaran mengikuti
arus zaman.
Namun
di luar itu, ada hal menarik yang hampir luput dari perhatian. Dua dekade yang
lalu, sejenis tren aksesoris untuk gigi juga merebak di kalangan masyarakat,
yakni gigi emas. “Dulu, orang sangat bangga bisa bergigi emas. Pengguna gigi
emas kebanyakan berasal dari daerah,” kata Aping (64), tukang gigi palsu.
Kepada BLOGKATAHATIKU, beberapa waktu lalu, pemilik toko tukang gigi palsu “Cipta” yang
beralamat di Jalan Jenderal M Jusuf (dulu Jalan Gunung Bulusaraung) 71,
Makassar, menceritakan maraknya pemakaian gigi emas di era 1960 hingga 1980
itu. “Selain gigi emas, mereka juga kerap memesan gigi platina atau perak,”
jelas pria yang menekuni usaha turun temurun keluarganya ini.
Seiring
bergesernya zaman, urai Aping, kini gigi emas sudah hilang dari ‘pasaran’.
Sekarang orang bahkan malu jika menggunakan gigi emas karena terkesan kuno. “Tren
gigi emas sudah hilang sama sekali. Orang (pasien) yang datang ke sini hanya
untuk pasang gigi palsu biasa,” ujarnya.
Ketika
ditanyakan perihal keberadaan tren behel yang merupakan penyebab melamurnya
tren gigi emas, pria paruh baya yang masih hidup melajang tersebut mengatakan
bahwa bukan hal itu penyebabnya. “Bukan, bukan itu. Kawat gigi (behel) adalah
aksesoris sementara ini (gigi emas) adalah bagian dari gigi. Jadi berbeda sama
sekali,” papar Aping.
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Sementara
itu, dari pantauan BLOGKATAHATIKU, saat ini toko tukang gigi di Makassar bisa
dihitung dengan jari. Di Jalan Gunung Lompobattang, Makassar, misalnya, hanya
terdapat dua toko yang membidani gigi palsu, dan itu pun merupakan usaha turun
temurun keluarga. “Usaha gigi palsu ini sudah dimulai oleh orang tua saya di
1970-an. Pasien yang datang kebanyakan adalah pelanggan lama dan berasal dari
daerah seperti Kabupaten Bone,” kata Alfred Sentosa (46), pemilik toko gigi
palsu
Senada
dengan Aping, Alfred sendiri membenarkan bahwa tren gigi emas sudah hilang, dan
sama sekali tidak ada lagi pasien yang datang ke toko gigi palsunya untuk
memasang gigi emas tak terkecuali gigi perak.
“Permintaan
pemasangan gigi palsu emas memang banyak di 1970-1980-an.Tapi sekarang tidak
ada lagi,” ujarnya.
Maraknya
penggunaan behel, Alfred melihat hal itu sebagai tren belaka yang mirip “booming”
gigi palsu emas pada dua-tiga dekade yang lalu. “Behel dan gigi emas hanya
digunakan untuk bergaya, sejauh ini tidak mempengaruhi permintaan pemasangan
gigi palsu biasa,” jelasnya.
Namun
demikian, diakui Alfred, pasien yang datang ke tukang
gigi seperti dirinya memang sudah agak berkurang, tetapi itu bukan lantaran
terpengaruh oleh tren behel namun disebabkan faktor lain seperti hadirnya tukang-tukang
gigi jalanan dan klinik-klinik gigi yang lebih modern. “Tapi kembali lagi
kepada masyarakat. Tingkat kemampuan (beli) orang kan berbeda-beda. Jadi kalau
mereka ingin memasang gigi palsu dengan harga yang agak lebih murah, ya
biasanya datang ke toko tukang gigi,” ungkapnya.
Untuk
harga satu set gigi palsu, Alfred tidak dapat menjelaskan secara rinci sebab
bahan-bahan dasar pembuatan gigi palsu itu berbeda-beda. “Satu set (gigi palsu)
impor (dari China, Jepang, dan Belanda) itu kurang lebih Rp 2 juta sampai Rp 3
juta, tergantung bahan apa yang pasien inginkan,” katanya.