Oleh
Effendy Wongso
PROLOG
“Ada
apa, Jabrik?”
“Hm,
anu… tolong tanda tangannya, Kak.”
Cowok
itu membeliak dengan mata sebesar bola pingpong. Ditatapnya dalam-dalam gadis
dengan wajah yang tercoreng-moreng arang. Mirip Indian dari etnis anglo-saxon
yang nyasar ke sekolah. Rambut pendeknya kusut, diikat sepasang pita dari tali
rafia.
“Apa?!”
Cowok itu menghardik kasar. “Minta tanda tanganku?! Hei, Jabrik! Tahu tidak,
jangankan tanda tangan dari aku, setitik tinta dari balpoin Parker-ku yang
lebih mahal dari selembar nyawamu ini pun tidak pantas buat kamu yang ‘miskin’
itu! Lihat tampangmu yang amburadul. Pergi, pergi sana!”
Gita
menangis. Sungguh, seumur hidup dia tidak pernah dihina serendah itu. Dia
berlari, menyimpan dendam yang tidak bakal dia lupakan sepanjang hidupnya.
***
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Endapan
amarah yang selama ini mengental telah meledak-ledak. Laharnya berupa kalimat
yang sungguh tidak proporsional di gendang telinga. Tentu bukan merupakan hal
yang terencana. Atau semacam dialog skenario yang sering dilafalkannya pada
mata pelajaran seni drama di sekolah. Tentu saja semuanya bukan!
Satu
dari sepuluh kejadian, mungkin lebih dari sepuluh, mungkin juga kurang.
Entahlah. Yang pasti dari sekian banyak kejadian miris yang dia alami, hanya
satu saja yang dia hapal benar dan simpan baik-baik di lubuk hatinya sehingga
‘kenangan’ itu tidak bakal dia lupa sampai beruban emas sekalipun.
Dia
terkikik tanpa suara, berusaha menguncupkan bibir setipis-tipisnya. Tentu saja.
Dia tidak ingin dianggap tidak serius dengan amarahnya kali ini. Kalimat hati
yang dia dengungkan sendiri tadi tentang ‘uban emas’ memancing hormon tawa
hingga hampir menyeruak. Huh, selalu saja begitu. Nyaris dia memalukan diri
sendiri. Memangnya makhluk apa yang dapat marah meledak-ledak serupa meriam
bambu lalu sepersekian detiknya lagi terkekeh-kekeh seperti hantu gaul.
Dasar!
“Salah
satu ciri-ciri jodoh adalah berasal dari ketidakcocokan. Lalu ketidakcocokan
itu akan ‘nyambung’ setelah kedua belah pihak, antara cowok dan cewek itu
menyatukan pendapat yang berbeda. Mengambil hikmahnya. Jadi….”
Dia
tak menggubris. Tetap saja memasang wajah angker. Namun sialnya, wajah
angkernya itu tidak seseram dalam film-film horor sehingga cowok berwajah bayi
itu malah terbahak. Lebih menganggap dia sedang berada di depan panggung
Srimulat ketimbang di kuburan keramat.
“Kamu
lucu….”
Tidak
ada tanggapan sama sekali untuk seruan cowok bertubuh atletis di hadapannya.
Hanya terdengar dengusan yang tidak berirama dari hidungnya sebagai reaksi.
Sunggingan senyum bagusnya pun disambut hambar. Dia berlipat tangan. Berdiri
seperti manekin. Sesekali melirik mata ekuator itu. Tentu saja secepat cahaya.
Dihindarinya bersirobok mata. Tidak ingin dianggap tidak serius kali ini.
Hei,
ada apa dengan dirinya? Bukankah ini kesempatan untuk melampiaskan unek-unek?
Tapi, kenapa sampai bimbang begini. Seolah bibirnya digembok. Tentu bukan hal
yang bagus. Padahal, kesempatan untuk melakukan pembalasan tidaklah gampang.
Soalnya, momen tersebut seperti komet Halley yang sekali melanglang buana
selama belasan tahun sekali.
Seperti
cerita film Meteor Garden saja. No way. Dia tidak ingin jatuh cinta pada
musuhnya. Seperti Shancai pada Taoming Se. Lagipula, dia memang bukan Shancai.
Apa-apa juga tidak mirip sama Shancai. Rambutnya saja beda, kok. Satunya
panjang sepinggul bak mayang melambai, satunya stil shaggy semodel ijuk. Jadi,
apanya yang sama?! Lagian, cowok ceking itu juga tidak mirip Taoming Se.
Ditambah lagi, kisah perseteruannya dengan Hasbi Al-Farouq sangat jauh dari
mirip romantika di bawah hujan meteor yang kondang itu.
Sebal.
Teman-temannya
malah sudah mewanti-wanti. Katanya, benci itu pangkal dari cinta. Huh!
Amit-amit jabang baby, deh! Orang sejelek itu siapa juga yang mau. Katanya sih,
cowok model. Model apaan? Model topeng monyet di Kampung Rambutan mah, iya!
Tapi,
kalau mau dibilang tidak mirip-mirip amat sih juga tidak benar. Soalnya cowok
itu tajirmeski tidak setajir putra tunggal direktris Taoming Feng dalam film
Meteor Garden. Dan, hei, bukankah diaGita Charini, berasal dari keluarga
biasa-biasa saja? Iya sih, tapi tidak miskin-miskin banget seperti keluarga
Shancai yang terdiri dari tiga wayang itu. Yang apa-apa juga selalu kekurangan
kecuali keharmonisan dan kebahagiaan keluarga, dan sekali-sekali kebanyolan
yang menjadi bumbu romantika sehari-hari.
Kalau
dari struktur wajah sih dia lebih rela disebut mirip Ye Sha. Meski bagai pinang
dibagi sepuluh, toh rambut mereka sama-sama pendek. But, sudahlah. Sangat tidak
etis membandingan dia dengan Ye Sha. Atau, sesuatu yang berhubungan dengan
Meteor Garden segala macam.
“Kamu
masih marah, ya?”
Tentu
saja sedang marah. Bahkan lebih dari marah. Gadis itu mengumpat dalam hati.
Kedongkolannya bertumpuk. Cowok itu tidak pernah serius. Semuanya ditakar dalam
kacamata gampang. Memangnya hati bisa ditawar-tawar apa?! Sejak zaman kuda
gigit besi sampai kuda gigit burger cowok itu selalu menyepelekan masalah. Dia
pikir, dengan uang segalanya beres.
“Padahal,
saya mau ngasih sesuatu ke kamu.”
Nah,
ini. Ini! Dia pikir, semua cewek itu matre. Bisa dibujuk rayu dengan
seperangkat imbalan.
“Kamu
ultah hari ini, kan?”
Oh,
Heaven!
Dia
sendiri sampai lupa kalau hari ini merupakan hari jadinya. Tapi, tiap tahun
juga dia tidak peduli dengan hari kelahirannya. Untuk apa diingat-ingat?! Gadis
yang terlahir dalam keluarga sederhana seperti dia kebanyakan juga tidak pernah
merayakan ultah. Mana ada duit untuk berhura-hura seperti sebagian anak yang
terlahir dengan predikat ‘the have’. Mungkin karena merasa segalanya mudah dan
apa-apa gampang, mereka selalu menganggap orang-orang kecil dapat ditindas.
Dan
muasal kebenciannya terhadap Hasbi, anak sepasang pengusaha kaya, adalah karena
hal itu tadi. Dia dijadikan obyek permainan murahan. Siapa yang tidak sakit
hati coba kalau dirinya dianggap barang murahan!
Seumur
hidup dia tidak akan dapat melupakan kejadian yang paling menyakitkan hatinya
itu.
Tidak
akan!
***
Gita
memandang wajah tirus di sampingnya dengan mimik selidik. Bukan kali ini saja Tiara
ngomporin untuk baikan dengan cowok itu. Tapi sudah berkali-kali sampai
kadang-kadang dia menyangka sobat kentalnya itu sedang menawarkan produk
asuransi padanya. Tentu ada maksud terselubung kalau gadis itu sudah ngotot
begitu.
Namun,
tentu saja cewek tomboi itu menolak tanpa syarat. Titik. Tidak ada sepatah
kalimat pun yang pantas dibicarakan kalau sudah menjurus pada cowok blaster
Arab itu. Bukankah dia sudah bersumpah untuk tidak pernah memaafkan orang yang
pernah menyinggung harga dirinya?! Jadi sekarang, mana mau dia mencoret nama
Hasbi Al-Farouq dalam DOTDaftar Orang Tercela di hatinya?!
Dan
sekarang gadis itu berkicau lagi. Setiap hari dia datang dengan ulahnya yang
seperti Nenek Cerewet. Berusaha mencairkan kebenciannya terhadap Hasbi. Bah,
melanggar sumpah adalah dosa hukumnya! Jadi, sedini mungkin ditampiknya rayuan
pulau kelapa Tiara meski kibasan pelepahnya sejuk membuai.
“Pada
hakekatnya manusia kan bisa berubah. Jadi, Hasbi pun pasti telah berubah,”
jelas gadis berdagu lancip sembari menelengkan kepala, menatap penuh harap.
“Mungkin
dia dapat berubah. Tapi, hatiku tidak!” Gita mengultimatum.
“Sampai
kapan kamu dapat menyimpan dendam?”
“Sampai
dunia kiamat!” pekik Gita sembari memutar tumitnya, siap meninggalkan Tiara
yang masih melongong diomeli begitu.
“Eit,
tunggu, Git!” Tiara menarik lengan Gita, menggebah kehendaknya yang tidak
sehat. Lari dari masalah!
“Ada
apa lagi, sih?” Gita melotot.
“Percaya
sama aku. Dia bukan Hasbi yang dulu lagi….”
“Syukurlah
kalau begitu. Paling tidak, aku tidak akan pernah melihat lagi kelakuannya yang
minus tiga derajat di bawah nol.”
“Hihihi.
Memangnya kulkas apa, tiga derajat di bawah nol?”
“Sudah,
deh. Aku mau ke perpustakaan. Jangan ganggu aku lagi.”
“Git,
Git. Tunggu. Jangan cengeng begitu, dong. Hasbi kan sudah minta maaf. Sampai
kalimat maaf keberapa juta kali baru kamu dapat memaafkan dia, sih?”
Gita
bertolak pinggang seperti wayang golek. Untung suasana di persimpangan koridor
antara aula utama dan perpustakaan sedang sepi. Jadi siang itu mereka tidak
usah mengadakan ‘pertunjukan’ dadakan dengan penonton yang semuanya berseragam
putih abu-abu. Soalnya, akting ngotot Tiara yang kepingin menyadarkan sahabat
karibnya itu selalu ditingkahi dengan gerakan tubuh serupa ludruk. Heboh
sekali!
“Tia,
kenapa sih kamu ngotot aku baikan sama si Burung Hantu itu?!”
Tiara
terkikik. “Kalau dia burung hantu, kamu pasti….”
“Jangan
bercanda!”
“Siapa
yang bercanda. Aku serius. Hasbi itu baik.”
“Kamu
sudah kena sirep dia!”
“Hihihi.
Kamu lucu….”
Gita
mencibir. Kembali mencoba melangkah menuju gedung perpustakaan. Dikibaskannya
tangannya dengan rupa mencemooh.
“Padahal,
apa kamu sudah tidak ingat, kamu pernah dikerjain sama dia sampai nyaris
sekarat. Heh, sekarang malah belain dia. Apa bukan karena diguna-guna namanya
kalau kamu dapat berubah tiga ratus enam puluh derajat begitu?”
Tiara
masih terkikik. “Di zaman tiga dimensi ini kamu masih percaya dunia klenik dan
sejenisnya?!”
“Ka-kamu…
ah, sudahlah!”
“Git,
Git. Dengarin aku. Sebegitu jahatnyakah Hasbi hingga kamu menyimpan dendam
kesumat begitu?”
“Dianya
yang kebangetan!”
“Itu
kisah lama, semasa kita MOSMasa Orientasi Siswa. Masa sih kamu masih membencinya?
Aku saja yang paling jadi korban tidak mengingat-ingat kejelekan dulu dia,
kok.”
“Itu
karena kamu lembek. Disogok semangkok mie pangsit saja sudah tergugah. Manut
seperti pitik.”
“Duh,
sebegitunya!”
“Tentu
saja. Buktinya kamu ngotot belain dia. Bawa-bawa upeti segala macam.”
“Astaga,
Git. Kamu ini sudah kebangetan,” Tiara mengacungkan sebuah kado mungil berpita
pink bergambar Mickey Mouse. “I-Ini pun tidak kamu hargai?! Oh, Gita-Gita.
Jangan tanya kalau kenapa aku sampai ngotot sampai nyaris gokil begini!”
“Memangnya
aku pikirin?!”
“Dengarkan
aku, Git. Berjuta-juta kalimat maaf dari dia. Kemudian kado very nice ini. Duh,
isinya apa, ya? Hm, mungkin kalung berlian. Anting-anting emas dua puluh empat
karat. Bros mawar batu rubi. Atau, hei… cincin meteor seperti punya Shancai!
Atau…. ah, aku sebal deh sama kamu. Maumu apa, sih?!”
“Mauku
cuma satu. Please… Heaven! Jangan ganggu aku lagi!” Gita berteriak sembari
berjingkrak. Lebih mirip penyanyi rock ketimbang gadis yang sedang marah.
“Ta-tapi….”
“Tidak
ada tapi-tapian. Pokoknya, aku tidak mau diganggu lagi sama si Burung Hantu
itu! Titik! Seru!”
“Ta-tapi,
dia ingat ultah kamu, kok. Aku saja lupa kalau kamu berulang tahun kemarin.”
Gita
tak mengacuhkan kalimat yang nyaris meruntuhkan pertahanan kekerasan hatinya.
Sumpah, demi langit dan meteor-meteornya, dia tidak ingin melanggar apa yang
telah diucapkannya dulu! Dilangkahkannya dengan paksa kakinya meski Tiara masih
mencengkeram lengannya. Satu kibasan keras tidak sengaja dari tangan kanannya
menghempaskan sesuatu dari tangan Tiara.
Kado
mungil itu terpental dan jatuh di lantai. Tiara menggigit bibir. Gambaran
kebencian gadis itu belum pupus. Hatinya masih sekeras tembok. Dia gamang.
Gita
memutar tumit. Melangkah cepat, menghindari sahabatnya yang masih tercenung
mengamati kado mungil yang tergeletak di lantai. Dan ketika menjauh, airmatanya
berlinang tanpa terasa. Dia merasa berdosa masih menyimpan dendam yang kian
hari kian menyiksa batinnya itu.
Mungkin
dia harus belajar memaafkan. Dan ikhlas menerima kenangan pahit dulu sebagai
bagian dari masa lalu. Toh semua manusia tak luput dari kekhilafan.
Ya,
dia harus berusaha untuk itu.
“Maafkan
aku, Hasbi!” bisiknya lirih. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment