Oleh Weni Lauwdy Ratana
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Amelia menghela napas
panjang. Diedarkannya mata ke sekeliling. Semuanya masih tampak lawas. Patung-patung
Teracotta masih berjajar rapi. Berdiri dengan anggun dalam bungkam,
menghadirkan fenomena misteri yang tak terpecahkan.
Hari ini ia memisahkan
diri dari rombongan tur. Kembali menjejaki tempat yang sudah dua kali dikunjunginya
itu. Efek sembrani mimpi-mimpinya telah memaksa kakinya melangkah ke tempat
ini.
“Setelah terdesak mundur,
sisa-sisa laskar barbarian Mongol berlarian kembali ke gurun, Ulan Bator. Namun,
di antaranya banyak yang tertangkap lantas dieksekusi oleh Huang Di, ayahanda
Yuan Ren Xie Khe Khe yang lalim, seorang kaisar psikopat yang mengubur
prajuritnya sendiri untuk dijadikan Teracotta!”
Amelia menggigit bibir.
Terdiam saat menyimak prahara kisah suram monarki di China yang dituturkan oleh
pengurus tua museum dengan suara lamat. Diusapnya wajah. Mimpi-mimpi itu
menjelas kembali di benaknya.
“Perang dan perang telah
membawa demikian banyak korban. Tidak di pihak pemerintah yang berkuasa saat
itu, Dinasti Yuan, juga tidak untuk pemberontak barbarian Mongol. Banyak siasat
yang menghalalkan berbagai cara untuk memenangi ambisi pribadi.”
“Maksud Bapak….”
“Salah satunya adalah
Putri Yuan Ren Xie….”
“Putri Yuan Ren Xie?!”
“Ya. Putri yang hadir dalam
mimpi-mimpimu. Sejarah mencatat bahwa dia adalah putri tunggal Kaisar Yuan Ren
Qing dari permaisuri pertamanya. Khe Khe menjadi salah satu korban perang.”
“La-lalu….”
“Setelah tertangkapnya
ribuan pemberontak barbarian Mongol dalam sebuah pertempuran di perbatasan Tembok
Besar, atase militer Mongol mencari cara agar dapat membebaskan tawanan
secepatnya sebelum dieksekusi. Dari pihak jasus atau mata-mata Mongol di Da-du,
mereka mendapat informasi bahwa Putri Yuan Ren Xie akan keluar daerah, entah dalam
rangka apa, dan melewati sebuah hutan, yang saat itu dijadikan tempat pelarian
beberapa ribu pemberontak barbarian Mongol. Nah, dari informasi itulah mereka
akhirnya dapat menangkap putri tunggal Sang Kaisar setelah melumpuhkan
prajurit-prajurit tangguh yang mengawal dan menyertai perjalanan Putri Yuan Ren
Xie saat itu.”
“Ja-jadi….”
“Putri Yuan Ren Xie
merupakan pampasan perang, satu nyawa yang dapat ditukar dengan ribuan nyawa tawanan
Mongol di Da-du!”
“La-lalu….”
“Jadi, tertangkapnya Khe
Khe merupakan sebuah anugerah yang tak ternilai harganya. Pembebasan tawanan
merupakan komitmen imbal dari penyerahan Khe Khe ke pihak penguasa Tionggoan.
Namun sayang Sang Kaisar ingkar dengan janjinya. Setelah berhasil membebaskan
putrinya, dengan liciknya Sang Kaisar mengatur siasat keji berupa perangkap.
Para pemimpin Mongol kembali tertangkap. Dieksekusi kemudian. Lalu, genosida
bagi kaum barbarian Mongol tak dapat dielakkan lagi. Tanah Tiongkok kembali
dilumuri kisah tragis yang seperti tidak ada habis-habisnya!”
Amelia terpaku. Menekuri
ulasan Wang Wei sang Pengurus Museum dengan takzim. Ini adalah kali ketiga ia
mengunjungi tempat Teracotta ditemukan. Pada sebuah penggalian paling
spektakuler di abad kedua puluh. Diceritakanlah semua fenomena aneh
mimpi-mimpinya selama berkunjung ke Beijing.
“La-lalu apa
hubungannya….”
Lelaki tua itu berdeham
sampai dadanya yang tipis berguncang. Diamatinya wajah gadis bermata sipit itu
dengan rupa gerun. Ia mengguman dengan kalimat tak jelas, mungkin dalam bahasa
Kanton, salah satu bahasa daerah paling dominan di China. Amelia tidak
mengerti.
“Semuanya itu seperti
takdir. Mungkin kamu merupakan reinkarnasi dari Yuan Ren Xie Khe Khe!”
“Ap-apa?! Reinkarnasi?!”
“Ah, sudahlah. Jangan
mengingat-ingat lagi peristiwa tragis sejarah bangsa ini. Di mana perang telah
mengorbankan banyak nyawa yang tak berdosa! Tangisan Teracotta, juga mimpi-mimpi
yang kamu alami itu merupakan fenomena aneh yang seperti dikirim dari langit
untuk kita renungi bersama!”
“Ta-tapi….”
“Pulanglah. Anggaplah
mimpi-mimpimu itu hanya bagian dari bunga tidur. Jangan sampai mimpi-mimpi itu
merusak pikiranmu. Sebab hal itu hanya seutas benang merah tragedi silam yang
kembali melintas di alam bawah sadarmu.”
“Tapi Pak….”
“Maaf! Bapak harus
melayani tamu lainnya.”
Lelaki tua itu melangkah,
perlahan menjauhi Amelia yang masih tepekur di salah satu sudut museum. Gadis
berwajah lesi itu menggigit bibir. Menatap punggung lelaki tua yang menirus
dari matanya. Mungkin ia harus menyudahi uraian simpul mimpi. Dan menguburnya
untuk selama-lamanya. Sebab dunianya yang sekarang memang nyata.
Bukan mimpi! (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment