Oleh
Weni Lauwdy Ratana
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Changi
International Airport masih seperti dulu. Lalu-lintas dan deru pesawat udara
dari mancanegara seperti tidak ada habis-habisnya. Salah satu kota kosmopolitan
terpadat di dunia ini masih mendenyutkan rutinitasnya sebagai kota industri
terbesar di Asia Tenggara.
Amelia
masih duduk di ruang tunggu terminal keberangkatan. Sebentar lagi sebuah boeing
Singapore Airlines akan menerbangkannya ke Beijing. Ia menggigit bibir. Merasa
terharu atas simpati anak-anak sekelas yang dengan sukarela mau mengantar
mereka sampai di bandara. Juga beberapa guru yang sejak dalam perjalanan menuju
bandara tadi terus memberikannya motivasi-motivasi agar dapat berprestasi di
dunia jurnalisme yang tengah dirintisnya saat ini.
Sesaat
mereka tadi berpisah di depan pintu masuk ruang tunggu keberangkatan. Papa dan
Mama, serta kedua orang adiknya hanya dapat mengantarnya ke gerbang bandara
karena terburu-buru hendak mengikuti sebuah kegiatan tur amal di Sentosa Island,
sebuah pulau kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari pusat Kota Singapura.
(Tur amal tersebut rutin diadakan setiap periode oleh perusahaan-perusahaan
kapital yang berada di Singapura. Bertujuan untuk mengumpulkan dana dermawan,
yang kemudian diserahkan kepada dinas
sosial negara untuk disumbangkan kepada negara-negara miskin yang tengah
dirundung musibah bencana alam dan lain sebagainya).
Sesaat
sebelum berpisah tadi juga, Ronald sempat memberikannya seuntai gelang tasbih
kayu cendana.
“Untuk
kamu.”
“Un-untuk
aku?”
“Ya.
Ambillah.”
“Apa
ini?”
“Cuma
gelang.”
“Untuk
apa?”
“Kenang-kenangan.”
“Tapi….”
“Kenapa?”
“Tapi,
mungkin gelang ini sangat berarti buat kamu. Sepertinya semacam gelang-gelang
tua warisan begitu.”
“Memang,
iya. Sudahlah, A Mei. Terima saja.”
“Tapi,
mana boleh aku menerima barang turun-temurun begitu? Hei, aku tidak berhak sama
sekali dengan barang ini. Hih, bisa-bisa aku dicekik sama arwah leluhur
keluarga kamu yang marah nantinya.”
“Hahaha,
kamu lucu juga ya, A Mei.”
“Habis,
kamu memaksa sih.”
“Ini
ikhlas. Lagian, arwah leluhurku tidak bakalan marah, kok. Kan sudah minta
izin.”
“Hihihi….”
“Hahaha….”
“Ron,
terima kasih saja, deh. Bukannya menolak, tapi….”
“Oh,
come on. Please, terimalah. Cuma kenang-kenangan saja, kok.”
“Iya,
sih. Tapi, aku tidak enak hati, nih. Mana boleh sembarangan orang menerima
begitu saja barang warisan seperti punya kamu ini. Yah, walaupun tidak
berharga, namun aku yakin kalau gelang tasbih cendana ini memiliki histori
tersendiri di dalam silsilah keluarga kamu. Iya, kan, Ron?”
“Justru
itulah, aku ingin memberikan gelang tasbih ini kepada orang yang sangat berarti
buat aku. Ja-jadi….”
Jantung
Amelia berdetak. Jadi, selama ini ia menjadi bagian terpenting dalam hidup
seorang Ronald Tan!
‘AKU
INGIN MEMBERIKAN GELANG TASBIH INI KEPADA ORANG YANG SANGAT BERARTI BUAT AKU’.
Kalimat
indah itu masih mendesir pada gendang telinganya.
Kalimat
indah itu menghunjam nikmat di dalam ulu hatinya.
Kalimat
indah itu menorehkan harapan akan penantian yang selama ini ditunggu-tunggunya.
Kalimat
indah itu….
“Oh,
come on….”
“Hm,
baiklah kalau kamu memaksa begitu. Aku terima. Terima kasih ya, Ron.”
“Sama-sama.”
“Kamu
kok baik banget sama aku, Ron?”
“Sama
semua orang juga aku baik, kok.”
“Tapi,
sama aku kok beda?”
“Maksudmu….”
Amelia
terdiam sesaat tadi. Ia tahu Ronald diam-diam menyukainya. Sayang ia belum
memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan hatinya itu. Sesungguhnya ia
pun menyukai cowok itu. Meski tidak terlalu stylish layaknya anak-anak muda
lainnya, tapi Ronald adalah cowok yang baik. Ia sangat care. Lebih mengutamakan
kepentingan teman-temannya ketimbang dirinya sendiri. Punya tanggung jawab dan
disiplin. Lagian, cowok kutu buku itu juga tenang dan berwibawa. Mungkin karena
ia terlahir sebagai anak sulung dalam keluarganya yang tergolong sederhana.
“Hm,
maksud aku….”
“Kenapa?
Kamu tidak suka ya, pemberianku?”
“Oh,
bukan. Bukan begitu.”
Amelia
mengibaskan tangannya sesaat juga tadi. Sedikit merasa kesal dengan sikap super
duper introver Ronald. Pancingannya, agar cowok itu mengungkapkan isi hatinya, ternyata
sukses gagal alias nihil. Umpan pada kail kalimatnya tadi tak tersentuh sama
sekali. Sampai kapan cowok itu dapat memendam rasa cintanya?! Sampai kapan ia
terpenjara oleh sikapnya yang dingin membeku?! Digigitnya bibir seperti
kebiasaannya. Ayo dong, Ron! Ngomong kalau kamu tuh suka sama aku! Ngomong dong
kalau kamu memang mencintai aku! Romantis sedikit kenapa, sih?! Kasih kecupan
di dahi atau pipi kek! Pesawat sudah hampir berangkat, nih! Masa sih ucapan
tiga patah kata alias ‘I Love You’ itu saja tidak ada?!
Huuuh!
Seeebeeel! Oh, Heaven help me, please! Tolong bikin cowok kiyut itu hidup dari
kelakuannya yang serupa patung, dan jangan hanya sesekali menyembulkan senyum
semanis gulanya semata! pinta Amelia memohon sembari melangkah dengan kaki
memberat ke arah ruang tunggu keberangkatan.
Namun, Ronald masih saja membatu. Hanya
lambaian tangannya saja yang terlihat seiring airmata Amelia yang sudah
menitik. Selebihnya, apa yang diharapkannya sukses dengan gigit jari.
“A
Mei….”
Jennifer
menggebah lamunan Amelia yang sedari tadi murung seperti mendung di musim
hujan. Announcer bandara telah mengumumkan kepada calon penumpang jurusan
Beijing untuk segera memasuki pesawat.
“Pesawat
sudah mau berangkat tuh!”
Amelia
mengangkat wajah dengan lunglai. Masih berusaha melirik jauh ke depan. Mungkin
saja Ronald masih berdiri di sekat kaca pembatas ruang tunggu keberangkatan.
Melambaikan tangannya sekali lagi sampai punggungnya benar-benar sudah menirus
dan masuk ke dalam pesawat. Namun semuanya jauh dari harap. Bingkai perak
kacamata cowok itu tak terlihat di antara rimba manusia dekat dinding-dinding
kaca. Hanya tampak puluhan orang yang masih menempelkan muka di sana. Beberapa
di antaranya adalah anak-anak dan orang tua yang sedang melambai. Bukan kepadanya.
Ah, Ronald pasti sudah pulang. Mereka semua pasti sudah pulang. Airmatanya kini
sudah menetes.
Ia
berdiri. Menyambar tas pundak yang diletakkannya di bangku samping tadi.
Berusaha mensejajari langkah Jennifer yang sudah berjalan tiga tindak di depan.
Turut mengantri proses pemeriksaan tiket di antara sepasang pilar petugas
wanita yang mengenakan seragam senada. Airmatanya kini sudah menderas.
Dan
ia baru saja hendak memperlihatkan tiketnya kepada petugas bandara ketika
tiba-tiba merasakan pergelangan tangannya dicekal. Ia berbalik, dan sedikit
menepi ke sisi tembok menghindari desakan orang-orang yang masih berjubel di
belakangnya. Ia sudah terpisah dengan Jennifer yang telah melewati proses
pemeriksaan tiket.
“Ro-Ronald?!”
“Sori,
aku mengganggu keberangkatan kamu sebentar.”
“Kok
kamu bisa masuk kemari?!”
“Aku
minta izin sama Kepala Petugas Bandara. Aku bilang, ada hal penting yang hendak
aku sampaikan kepada kamu.”
“Hei….”
“Ssstt.
Untung Kepala Petugas Bandara itu baik, dan mengizinkan aku masuk sebentar
kemari.”
“Un-untuk
apa?!”
“Ada
sesuatu yang lupa aku sampaikan kepada kamu tadi.”
“Apa
itu?”
Amelia
merasakan tubuhnya terentak ke depan. Ia limbung, dan tiba-tiba sudah berada di
dalam pelukan Ronald. Dadanya serasa sesak.
“Aku
mencintai kamu, A Mei!”
“Ak-aku….”
“Take
care. Aku akan menunggumu sampai kapan pun juga.” (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment