Oleh Weni Lauwdy Ratana
TENTANG ENIGMA MASA LALU
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
SMA Saint Teresa tampak lengang. Tidak ada kegiatan belajar
mengajar pada dua setengah jam pertama sejak bel masuk berdentang pagi tadi. Di
sini, di salah satu ruangan gedung sekolah, Amelia terpekur di antara perbincangan
serius beberapa orang guru dan dewan sekolah. Ia mendengar takzim. Dan hanya sesekali
mengeluarkan pendapat pada rapat di aula guru pada hari ini.
“Jadi, kami menyerahkan tugas ini pada kamu dan Jennifer
Chan.”
Amelia kemekmek, masih berusaha menyanggah. “Ta-tapi,
kenapa harus saya, Pak?”
“Kami guru-guru sudah menilai kinerja kamu dalam satu
kuartal ini. Prestasimu bagus. Mading yang kamu pegang juga berhasil. Tiap
minggu kami membaca artikel-artikel yang kamu muat. Selama ini, tidak ada yang
kurang selain perlunya perbaikan-perbaikan nonteknis. Hm, kami sangat yakin
dengan kemampuan jurnalis kamu. Jadi, itulah alasan kami memilihmu untuk melakukan
tugas jurnalistik ke China,” tampik Kepala Sekolah, lalu berusaha membujuk
supaya Amelia segera memenuhi tuntutan tugas yang mereka sepakati bersama.
“Tapi….”
“Sudahlah, A Mei. Yang penting kamu harus siap dan
sungguh-sungguh. Majalah edisi perdana sekolah kita harus berhasil, dan tidak
kalah bagusnya dengan majalah-majalah umum lainnya. Kamu bebas membentuk kelompok
redaksi. Boleh memilih siapa-siapa saja sebagai pengasuh majalah kita. Tapi tentu
saja, kamu harus selektif memilih anak-anak yang punya bakat menulis saja. Kami
para guru hanya dapat mensupport kamu dari belakang. Masalah dana, founder dan
dewan sekolah sudah siap mengeluarkan bujet yang kamu perlukan selama di China.
Juga untuk biaya cetak majalah dan segala macam nantinya.”
“Tapi….”
“Oya, mengenai semua akomodasi selama kamu di China, kami
akan menghubungi kamu lagi nanti. Di Beijing sudah ada guide sebuah travel yang
akan mengantar kalian ke objek-objek utama bahan tulisan majalah kita nantinya.
Jadi jangan khawatir bakal tersesat. Secara reguler kalian adalah turis. Jadi,
enjoy saja di sana.”
“Tapi….”
“Baiklah, rapat segera kita tutup dengan menyepakati Amelia
Samantha Hong menjadi duta jurnalis SMA Saint Teresa ini ke China. Bapak-bapak
dan Ibu-ibu guru sekalian, tidak ada yang keberatan, kan?”
“Tidak ada!”
Kalimat serupa koor dalam nada kalimat yang sama ‘tidak
ada’ itu menyudahi rapat para guru siang ini. Amelia menghela napas panjang-panjang.
Tidak ada kesempatan untuk menolak keputusan para guru dan dewan sekolah. Palu
amanat baru saja diketukkan dengan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat.
Rasanya ia baru saja mendengar ‘vonis’ yang membahagiakan.
SMA Saint Teresa mempercayakan majalah terbitan perdana ini
dipegang oleh Amelia Samantha Hong Xiao Mei!
Ini merupakan sebuah kebanggaan besar sepanjang
hidupnya!
Bentangan langit sudah semakin membiru ketika Amelia keluar
dari ruang rapat guru. Tak sedikit pun terlihat awan gemawan yang biasanya menghiasi
gigir langit. Kadang-kadang iklim panas tropis memang membuat kulitnya yang
putih bersih itu jadi sedikit sensitif. Dan ia selalu misuh-misuh kalau badannya
sudah kemerah-merahan dan terasa gatal disengat Sang Surya. Sudah seharusnya memang
suhu di Singapura memanas. Penghujung musim hujan baru saja berlalu.
Tapi hari ini Amelia memang tidak menyangka kalau
temperatur udara akan menyengat begini. Makanya, sejak dari rumah pagi-pagi
sekali ia tidak menyiapkan apa-apa untuk melindungi dirinya dari panas matahari,
paling tidak sunblock cream yang telah meluluri badannya jauh sebelum terik
mentari siang memanggangnya.
Namun, meski begitu, hari ini suhu sepertiga didih itu tidak
terlalu menggamangkan hatinya. Hari ini ia tidak terlalu mempermasalahkan cuaca
tropis yang sudah condong ke musim kemarau. Rupanya ada hal lain yang lebih
menarik perhatiannya ketimbang jatah ngedumel semisal misuh-misuh yang rutin
dalam hidupnya jika musim sudah sedikit berubah ekstrim seperti sekarang ini.
Persoalannya, ya karena itu tadi.
Bahwa, dari hasil rapat di aula guru barusan, ia mendapat
kabar yang cukup surprais. Surprais karena, beserta Jennifer Chan Mei Fang ia
akan diutus ke China sebagai duta jurnalis sekolah.
Ihwal semua itu tentu saja dalam rangka penerbitan majalah
edisi perdana sekolah mereka. Dan sudah barang tentu hal tersebut merupakan
prestasi yang membanggakan, yang tidak dapat dilakukan oleh semua siswa di SMA
Saint Teresa.
Sebagai pemimpin redaksi mading, ia dinilai memiliki
komitmen di bidang jurnalis. Lantaran itulah, maka topik tersebut dibahas
intensif dalam rapat dewan sekolah. Yang pada akhirnya final menghasilkan
keputusan mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat.
Jadi, tak ada keputusan terlebih banding dalam rapat selain
menyepakati pemberangkatan Amelia Samantha Hong dan seorang staf redaksi representatifJennifer
Chan Mei Fang. Majalah sekolah yang bakal berisi beragam rubrik kebudayaan dunia
itu patut dijadikan lektur penting untuk wawasan para siswa di SMA Saint Teresa
khususnya, dan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Rapat guru-guru juga
memutuskan, untuk majalah terbitan perdana itu, obyek kebudayaan dan situs-situs
bersejarah Negeri China akan dijadikan profil pertama serta menjadi headline di
majalah World Chronicle, nama majalah sekolah mereka.
Ia masih tercenung dengan rupa sumringah di perempatan
koridor aula guru dan kelasnya ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Tidak terlalu keras memang, tapi cukup untuk membuyarkan semua angan indahnya
yang saat ini sudah terpencar dan terbang ke langit biru. Ia menoleh. Wajah bundar
Jennifer menyambut tatapan matanya dengan ringisan heran plus empat kerutan di
dahi.
Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Tanpa dipanggil Si Gendut pun datang. Heh, ia tidak perlu
berpayah-payah lagi ke kelas kalau begitu. Mengabari Jennifer perihal tugas
jurnalistik mereka di China nantinya. Si Gentong Nasi itu sudah berjalan
sendiri, dan kini telah berdiri di hadapannya dengan wajah berminyak, salah
satu tanda lahir seorang Jennifer Chan memang begitu.
“Hayo, ada apa? Kok senyam-senyum senyam-senyum sendiri,
sih?”
Amelia mencibir. Bersidekap tangan lalu membuang muka.
Mencoba menebar rasa penasaran di hati gadis bertubuh besar itu. Sahabat
tetanggaannya tersebut memang selalu ingin tahu meski sama sekali tidak
terlibat dan tidak memiliki andil apa-apa dalam sebuah permasalahan.
“Oh, I see. Kamu pasti ditembak sama Ronald, kan?”
Jennifer mengacung-acungkan telunjuknya di depan wajah
tirus Amelia. Dan tersenyum penuh kemenangan seolah paparazzi yang telah
membongkar sebuah top-secret dari seorang selebritis yang disembunyikan dari
khalayak publik.
Memang, selama ini Jennifer tahu kalau Ronald sang Ketua
Kelas naksir sama Amelia. Tapi sayang perasaan cowok itu selalu dipendam dalam
hati saja. Jadi selama ini pula ia belum pernah mengungkapkan kata cinta secara
terbuka dan terus terang kepada Amelia. Boro-boro ucapan cinta dari bibirnya
sendiri, sebaris SMS cinta pun belum pernah. Namun biar begitu, Jennifer tahu
kalau yang namanya Ronald Tan Gio Hok itu diam-diam mencintai Amelia. Buktinya,
cowok berkacamata minus itu selalu kikuk bila berhadapan dengan Amelia. Juga
tatapan matanya yang rikuh dan menyiratkan banyak makna bila memandang cewek
pujaan hatinya itu dari jauh.
Heh, bukankah orang yang tengah jatuh cinta selalu
berkelakukan aneh-aneh? Ronald pun begitu. Pokoknya, meskipun ia tidak pernah
memploklamirkan diri bilang suka dan cinta sama Amelia, tapi seisi kelas juga
tahu kok! Jadi, orang bego saja yang tidak paham kalau kelakuan cowok cool itu
bukan sedang jatuh cinta. Buktinya lagi, saban hari kelakuannya persis kura-kura
kepanasan bila bersitatap mata dengan Amelia.
“Kalian jadian, ya?” Jennifer masih mencecar dengan beragam
pertanyaan pada sahabatnya yang tiba-tiba saja hari ini berubah jadi riang begitu.
“Ronald ngajak kencan, ya? Duh, first date, nih yee?”
Amelia kembali mengarahkan sorot matanya ke wajah bundar
Jennifer. Dientakkannya kaki keras-keras ke lantai koridor. Pura-pura sewot akibat
keceriwisan gadis prenjak yang punya hobi tidur dan makan apa saja yang
enak-enak itu.
“Siapa juga yang ngajak kencan?!”
“Kagok ya?” Jennifer menggoda. “Habis, kencan pertama sih!”
“Jennifer Chan!” Amelia berkacak pinggang, melototkan
matanya sehingga membulat sebesar bola pingpong. “Kamu ini ngomong apa, sih?!
Asal nimbrung tanpa tahu apa tema masalahnya!”
Jennifer meleletkan lidahnya. “Memangnya apa lagi kalau
bukan masalah Si Ronald Tan itu?”
Amelia mengayunkan tangan kanannya, pura-pura bermaksud
menabok lengan Jennifer yang sebesar pilar bangunan mediterania. “Ka-kamu….”
“Hihihi… malu, ya?”
Amelia mengerutkan wajahnya menyemburatkan nada cemberut.
Namun seulas senyum menyungging di bibirnya lima detik setelahnya.
Tiinggg!
Mendadak ia mendapat ide untuk ‘ngerjain’ Jennifer.
Diliriknya gadis berbadan subur itu sembari menahan geli akibat ide lelucon
yang bakal dilontarkannya, yang kini tengah menggelitik di serabut kelabu
otaknya. Gadis nyinyir macam ini harus dikasih pelajaran biar tidak selalu merecoki
urusan paling pribadi orang. (Apalagi kalau bukan perihal cowok yang bernama Ronald?!)
“Benar, kan? Temanya pasti tentang Si Ronald Tan itu, kan?
Hayo, terus terang saja. Tidak usah malu-malu tikus begitu,” Jennifer masih
mendesak dalam nada ledek.
“Ya, bukanlah!” Amelia menegaskan suaranya dalam nada
jerit-gemas. “Kamu sok tahu, sih! Apa-apa yang berurusan denganku pasti
dikatai: ‘Si Ronald-Si Ronal-Si Ronald’. Memangnya hidupku hanya berhubungan
dengan Si Ronald Tan apa?!”
“So, apa dong?”
“Besok ada pesta makan-makan di halaman belakang sekolah.
Itu masalahnya.”
“What?” Jennifer bertanya antusias sampai-sampai sepasang
biji matanya nyaris terlontar keluar. “Makan-makan?!”
“He-eh. Makanya, jangan sok tahu begitu, dong! ”
“Be-benar, nih?!”
“Iya, makan-makan. Memangnya apa?”
“Dalam rangka apa, sih? Kok, aku tidak tahu? Memangnya
tidak pakai undangan apa?”
“Mau pakai undangan kek, mau tidak kek, pokoknya aku tidak
tahu ya, tidak tahu. Yang penting makan-makan. So, jangan cerewet lagi.”
“Asyik, asyik. Makan-makan, makan-makan.”
“Ya, makan-makan sampai puas.”
“Yess! Yess! Makan-makan, makan-makan. Eh, Barbeque garden
party, ya? Iya, kan?”
“Mana aku tahu. Maybe, barangkali. Mau barbeque garden
party kek, mau barbeque water closed party kek, ya terserah. Itu bukan
urusanku.”
“Ya, benar juga, sih. Terserah acaranya apa dan dalam
rangka apa, yang penting kan, makan-makannya itu lho. Asssyiiiik….”
Amelia mengibaskan tangan seolah menggebah tawon menanggapi
tepuk tangan gembira Jennifer. Dikuncupkannya pelepah bibir serapat mungkin. Berusaha
menahan tawa yang hendak meruap dari kerongkongannya.
Huh!
Biar tahu rasa si Karung Beras itu, betapa kecewanya nanti
saat ia ternyata dikelabui!
Hehehe! kekehnya dalam hati.
“Eitss… jangan senang dulu,” lontarnya kemudian, kali ini
menggrendel kegembiraan Jennifer dengan sebaris kalimat gantung. Telapak tangan
kanannya pun mengelopak menggantung di udara mengisyaratkan STOP!
“Kenapa?!”
Kali ini Amelia sudah tidak dapat menahan tawanya.
Dilontarkannya ide kalimat lelucon yang sedari tadi tertahan di tenggorokannya.
“Karena yang akan dimakan adalah rumput halaman belakang
sekolah yang sudah meranggas! Hahaha… hahaha….”
Jennifer shock.
Dan ia menjerit histeris karena kecewa. Sementara itu Amelia
masih terkikik seperti kuntilanak, lalu melarikan diri sebelum gadis gembrot
itu menabok punggungnya dengan telapak tangannya yang selebar daun pisang.
“Awas kamu ya, A Mei!”
“Heh, aku tidak salah kan? Besok memang ada kerja bakti
bersih-bersih rumput di halaman belakang sekolah!”
Amelia yang memiliki nama kecil A Mei itu terus berlari,
dan tepat berhenti di bingkai pintu kelasnya saat nyaris bertabrakan dengan
Ronald sang Ketua Kelas. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment