![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Arga baru saja tiba di rumah dan
menggeliatkan badannya mengusir penat setelah seharian dia meliput acara
perlombaan voli pantai di Parangtritis ketika Niar, adiknya, menegurnya dengan
mulut belepotan silverqueen sembari selonjoran di teras membaca GADIS.
“Ada undangan ultah untuk Mas Ar. Tuh, di
atas meja makan.”
“Dari siapa?”
“Dari siapa lagi?” Niar masih asyik dengan
permen coklatnya. Matanya tidak terlepas dari gambar-gambar model di GADIS.
Arga menghela napas panjang-panjang. Sri.
Gadis itu lagi!
“Kayaknya dia ada hati sama Mas Ar!”
“Siapa?” Arga pura-pura tidak tahu.
Dilepaskannya rompi dan kamera Nikon-nya. Diletakkannya sementara di atas meja
makan. Matanya menyambar sepucuk surat mungil bersampul merah jambu. Ada pita
pemanis dengan warna senada.
“Sweet seventen-an. Asyik. Mas Ar, Niar ikut
ya?”
Arga tidak menjawab. Ditariknya sebuah kursi
dan duduk anteng dengan rupa cemas.
Entah sudah berapa kali Sri menelepon
mengingatkannya agar hadir pada hari jadinya yang ketujuh belas. Dan hari ini
dia mengirimkan undangan. Alangkah sakitnya hati Sri bila besok dia sampai
tidak menghadiri pesta ulang tahunnya itu.
Tapi….
“Mas Ar mau hadir, kan? Tadi pagi-pagi sekali
dia nelepon lagi. Katanya….”
Arga bangkit. Dilangkahkannya sesegera
mungkin kakinya menuju kamarnya. Dia tidak ingin mendengar celoteh adik semata
wayangnya itu. Dia ingin tidur puas-puas. Melupakan saja gadis yang menaruh
perhatian lebih padanya itu. Sungguh, dia menyesal mengapa bersikap manis saat
mewawancarai gadis itu. Mengapa dia bersikap baik bila bertandang ke rumahnya.
Mengapa….
Di kamarnya, di atas tempat tidurnya yang
sederhana namun resik, dia terpulas karena kecapekan. Di dalam mimpinya, dia
bertemu Sri lagi. Sri tampak cantik dan anggun seperti Cinderela dengan gaun
pestanya yang gemerlap mempesona. Dan dia menjadi pangeran yang siap
mempersunting Cinderela.
***
Plaakk!
Arga tergeragap. Dia meringis sembari
mengelus bahu kanannya yang perih akibat tepukan seseorang di belakangnya.
Secuil senyum nakal menyambutnya begitu dia berbalik untuk menengok.
“Ngelamunin dia lagi ya, Ga?” Pertanyaan itu
terdengar saat mata Arga membentur sesosok tubuh lampai punya Liana, teman
sekampusnya.
Arga tak menggubris. Pura-pura dialihkannya
kembali tatapannya ke harian lokal yang memuat artikelnya. Merasa tidak
dianggap, Liana berusaha merebut koran itu dari tangan Arga. Tidak berhasil.
Karena Arga bergerak refleks, mengelakkan badannya ke samping. Lalu
menyembunyikan koran tersebut di belakang punggungnya.
“Apa-apaan sih, Na?” semburnya sembari
melotot.
Liana berkacak pinggang dengan rupa semasam
mangga muda. “Kamu tidak tuli, kan?”
“Tentu saja tidak.” Arga kembali menggelar
korannya.
Liana duduk kini di samping Arga. “Nah, kalau
tidak, tolong jawab pertanyaanku tadi.”
“Soal apa?” tanya Arga tanpa mengangkat muka.
“Soal gadis cantik-manis-ayu de-es-te (dan
seterusnya) yang bernama Sri .”
Air muka Arga berubah. Diangkatnya kepala
dari lebar kertas koran di akhir jawaban Liana. Ini, ini dia yang mesti
dihindarinya! Sebab, tabu hukumnya apabila dia menyinggung-nyinggung soal gadis
manis yang punya talenta besar di bidang modeling itu. Bahaya. Nah, sedini
mungkin hal-hil yang menyangkut tentang Roro Sri Dwinintaputri Trisnojoyo harus
digebahnya. Terbang jauh-jauh dan semoga tak akan pernah kembali.
“Kenapa memangnya dengan putri tunggal puak
terpandang itu?” tanya Arga cuek, meski tak urung juga bola matanya bergerak
gelisah.
“Kenapa?” Liana tersenyum sinis. “Justru aku
yang pingin nanya tentang dia.”
“Dari aku?”
“Siapa lagi?”
“Hei, kok ke aku?”
Liana menghempaskan napasnya dengan keras.
“Kok, kamu mendadak jadi bego begitu, sih?!”
“Maksudmu?”
“Cih, pura-pura lagi,” Liana mencibir dengan
gaya kekanak-kanakan. “Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, padahal
hati kamu kebat-kebit,” ledeknya, lalu tertawa terbahak.
Arga menahan dirinya sekuat mungkin untuk
tidak tersenyum. Dirasakannya pipinya memanas. Hm, mudah-mudahan cewek tengil
ini tidak melihat pipiku yang mungkin sudah merah-padam, harapnya dalam hati.
Pufh! Anak ini memang kerjanya suka usilin urusan orang lain. Dia ratunya
tukang gosip. Setiap hari ada saja korban dan bahan gosipnya. Mottonya, tiada
hari tanpa gosip.
“Lho, hari ini kamu kan, ada kuis?” tanya
Arga cepat.
“Tidak jadi. Pak Hans lagi tidak enak badan,”
jelas Liana dengan kalimat ‘steno’nya, lantas menyergah, “Eit, jangan
mengalihkan pembicaraan. Dosa, tahu?”
Mau tidak mau Arga akhirnya tersenyum juga.
Nona yang satu ini memang pantang menyerah jika sudah mengejar sumber berita.
Apalagi yang hangat dan aktuil. Dan memang harus diakui kalau dia punya prospek
yang cerah untuk menjadi seorang wartawati handal. Tapi mudah-mudahan saja
bukan untuk media cetak yang, khusus mengupas masalah gosip dan isu hasil
bentukannya bersama nona-nona rumpi lainnya!
Akhirnya Arga menyerah. Liana terlalu pintar
untuk dibohongi. Juga terlalu cerdik untuk dikibuli. Dia seperti punya seribu
pasang mata dan telinga yang bertebaran di mana-mana.
“Cuma temenan.” Hanya kalimat itu yang diuraikan
Arga menanggapi desakan pertanyaan Liana yang seperti muntahan peluru senapan
mesin, menanyai tentang kebenaran gosip yang belakangan ini menjadi buah bibir
semua orang.
“Percaya, percaya….” Liana berdiri dengan
sikap prajurit, lantas membungkukkan badannya dalam-dalam seperti hormat ala
Jepang. “Terima kasih atas jawabanmu yang sudah klise.”
“Eh, tidak percaya?” Arga turut berdiri
setelah melipat korannya.
“Hanya orang stewar yang akan percaya.”
“Apa? Rod Steward?” Arga mengernyitkan
dahinya, sama sekali tidak mengerti bahasa ‘gaul’ yang dilontarkan Liana
barusan.
“Bukan Rod Steward yang penyanyi rock itu.
Tapi stewar!”
“Apa itu stewar?”
“Itu singkatan dari setengah waras.”
“O,” Arga mengangguk lugu. “Tapi kamu akan
menjadi orang stewar bila ikut-ikutan gosip itu.”
“Oya?” Liana mendelik. “Lantas, apa dalih
kamu lagi mengenai foto berdua kamu dengan Sri yang jelas-jelas terpampang
besar-besar dan dimuat di sini minggu lalu?” Ditariknya koran dari tangan Arga,
lalu diacung-acungkannya di muka hidung cowok itu.
“Itu hanya snap-shot dari paparazzi amatiran
yang tidak punya kerjaan,” Arga menanggapi dengan tenang. Diambilnya kembali
koran dari tangan Liana.
“Tapi….”
“Liana, Liana,” Arga menyalib,
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu tuh, harus tahu siapa sebenarnya Si Sri
itu. Dia itu publik figur. Dan sebagai publik figur dia tidak terlepas dari
perhatian yang sekecil apa pun.”
“Tapi….”
“Sstt… jangan potong kalimatku,” Arga
mengibaskan tangannya. “Nah, entah di mana dan bagaimana, pas aku terlihat
berdua dengan dia, ‘klik-klik-klik’, maka jadilah foto yang kamu lihat di sini
minggu lalu.” Giliran Arga yang mengacung-acungkan koran itu di muka hidung
Liana. “Kebetulan saja aku yang ketiban sialnya karena saat itu aku tengah
mewawancarai dia. Kukira, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi cowok-cowok
lain. Paham?”
Tapi Liana tidak mau paham. Sebab, nyaris
seantero Yogyakarta tahu kalau Roro Sri Dwinintaputri punya gacoan baru bernama
Arga Sofyan.
“Tidak ada yang bakal menjebloskan kamu ke
dalam penjara kalau kamu berterus terang, kok.” Liana belum menyerah.
“Tapi….”
Liana yang menyalib kini. “Cantik, beken,
dari keluarga terpandang. Apalagi? Bangga dong, punya doi seperti Sri. Nah,
kenapa mesti malu mengakuinya?”
Arga kali ini benar-benar menyerah. Dia tidak
tahu harus ngomong apa lagi untuk meyakinkan Liana kalau dia sama sekali tidak
ada affair dengan model belia adik dari Roro Sari Dewantiputri, teman
sekampusnya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Cuma temenan!
Kalimat itu yang berkali-kali diulang Arga di
bibirnya. Di bibir tok. Tapi tidak di hatinya. Karena hatinya menolak kalimat
itu. Hatinya tidak pernah mau akur dengan kalimat yang berkali-kali
diucapkannya itu.
Hatinya bicara lain.
***
Jika ada kesalahan terbesar sepanjang hidupnya,
maka Arga tidak akan memungkiri ini: Jatuh cinta pada Sri! Kadang-kadang dia
berpikir kalau dirinya sedang mengalami gejala psikopat. Mengharap apa yang
mustahil diraih. Pungguk merindukan bulan!
Gadis itu demikian terpandang. Berprestasi.
Model. Lahir dari keluarga yang menjadi panutan masyarakat. Sedangkan dia? Huh,
sudah kurus, jelek, miskin lagi. Lagian masa depannya belum jelas. Nyari makan
untuk diri sendiri saja susah, bagaimana mau ngasih makan anak orang lain? Apa
mau dikasih makan batu? Arga, Arga, kamu mesti tahu diri. Ngaca, ngaca, dong!
maki Arga berulang-ulang pada dirinya sendiri.
Dunia akan menertawakannya. Dan mereka semua
sekarang sudah tertawa membaca beritanya yang dianggap paling lucu sedunia.
Seorang mahasiswa kere berani-beranian berpacaran dengan seorang model dari
keluarga berdarah biru, ningrat. Nyali apa yang dia pakai?!
Cibiran pun tertuju untuknya. Sarkartis dan
menyakitkan memang. Sekarang dia digelari si Muka Badak. Tidak secara langsung.
Cuma bisik-bisik seperti sepoi-sepoi angin. Tapi sepoi-sepoi angin itu bakal
menjadi topan yang memporak-porandakan hatinya….
Agaknya dia harus belajar untuk menjadi
seorang kesatria. Jujur pada dirinya sendiri, berterus terang mengatakan
cintanya terhadap Sri dengan mengenyahkan perasaan-perasaan kerdilnya, atau
tidak sama sekali dan berarti kalah! (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment