Oleh
Effendy Wongso
Genta-genta
bernada pilu
iring
tarian anacastik
iramanya
rucah
seperti
noktah yang sendiri
Bao
Ling
Tarian
Anacastik
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Apa
yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkan Tionggoan?! Sungguh, aku tak paham
akan nestapa ini. Adalah denyar dan dengung kematian sajalah yang senantiasa
mengitari hidupku. Adalah parade iblis sajalah di penglihatanku sejauh
kulabuhkan pandang mataku. Semuanya adalah tarian anacastik, mengirama dengan
sempurna dan moralistik.
Kesempurnaan
adalah asma yang bertiup sepanjang masa. Aku terbang, melayang dan melayang
tertiup angin. Aku tidak pernah tahu di mana aku berada. Kadang aku merasa
telah berada di Selatan, atau di Utara. Lalu suatu waktu, angin jualah yang
membawaku ke Timur atau Barat. Entahlah. Anominitas ini sungguh menjadikanku
pebuta di antara buta. Semuanya gelap. Noktah terang hanyalah gemintang di atas
langit malam. Titik terang hanyalah pijar lentera di bawah temaram dusun-dusun.
Apakah ini gerhana di dalam jiwaku?
Ada
kaisar yang lalim. Ada rani yang bijak. Semuanya seiring sejalan dalam
detak-detak jantung ini. Oh, adakah pengampunan atas dosa-dosa kami ini? Adakah
pembelaan atas ketertindasan yang senantiasa mengirama di dalam kedinaan ini?
Semuanya
hening. Diam dan bisu.
***
Ketahuilah,
Mulan. Sesungguhnya, ada dua warna yang menangkupi dunia. Sesungguhnya pula, warna-warni
lain, hanyalah bias dari kedua warna tersebut. Namun, kita tidak pernah dapat
menangkap apa makna di balik semua warna yang terpancar tersebut. Keindahan
dari pelangi adalah kesemuan. Sungguh, kita telah menafsir keliru segala. Dan
dalam menyusuri jalan nan panjang, kita semakin dibutakan oleh sang kala. Ketahuilah,
Anakku, bahwa jauhar dan mute yang tersebar di sepanjang jalan yang telah kita
tempuh, telah membinasakan badan.
Lalu
apa yang sesungguhnya kita cari?! Bukankah pedoman telah dimaktubkan oleh
Sanghyang dalam setiap sisi nurani manusia?! Lantas, mengapa kita demikian
bodoh dan dungu sehingga monceng dan salah arah?!
Oh,
durja benar napas yang diembus para pendosa di tanah nan batil, Mulan. Apakah
ini awal mulakat manusia dengan maut?!
Jawablah,
Anakku. Satu di antara perintah keng nan
suci adalah, jangan bersenada dengan kebatilan. Namun manusia, para pendosa,
telah meremeh-temehkan genta agung yang mendengung dari langit ketujuh. Manusia
telah menulikan pendengarannya sendiri. Manusia terus menjazam. Hingga
timbullah maharana nan rana.
Oh,
andai saja engkau tahu, Anakku, betapa pilunya irama hati para rani dan dedewa
di langit ketujuh. Mereka semua telah meneteskan airmata darah, dan perlahan
airmata tersebut menjadi bah lantas menggenangi istana langit. Inilah murka
bagi mereka yang berkuasa atas titah dan amar. Inilah ihwal azab yang akan
diturunkan dari langit ketujuh.
Malang
nian nasib para pembatil di tanah kerontang ini, Anakku. Sungguh dina diri-diri
nan berlumpur nanah dan kotoran, yang keluar dari anus mereka sendiri. Adakah
genosida sebagai bentuk pembersihan pendosa-pendosa itu?!
Seratus
kalpa tumimbal lahir tak akan mampu membasuh nista tercela. Mereka terus
melanglang, dan lahir dari rahim betina ke rahim betina yang lainnya. Kelelahan
dan perjalan nan panjang tidak pernah menyadarkan mereka. Lahir, lahir, dan
lahir adalah sebentuk rutinitas yang menjemukan. Manusia tidak pernah dapat
memutus rantai yang membelenggu mereka. Apakah pertobatan merupakan sebentuk pengampunan
bagi para pendosa tersebut?!
Lantas,
di manakah sesungguhnya letak nirwana yang telah didengung-dengungkan di dalam
sanubari mereka oleh dedewa dan dedewi?! Padahal, dua di antara sepuluh keng
menitahkan manusia supaya bijak bertindak. Namun lagi-lagi manusia tak
mengindahkan hal tersebut. Diberinya neraka inmoral bagi sesamanya. Kekisruhan
tak pelak terelakkan. Manusia telah melanggar aturan.
Oh,
Anakku, Bunga Magnolia, Pahlawan Tionggoan, kini engkau tergolek tak berdaya di
dalam haribaan pertiwi. Tanah bergetar. Langit meratap dengan gelegar sejuta
guntur. Derau angin berdesing-desing. Bangunlah, Anakku. Bangunlah! Di sini
yang-liu meliuk-liuk memanggilmu.
Bangunlah,
Anakku. Inilah Aku, Avalokitesvara dari langit ketujuh. (blogkatahatiku.blogspot.com)