Oleh
Effendy Wongso
Tubuh
ringsing itu menegak
bagai
roh yang menyampir
pada
nyawa-nyawa yang kobong
Kelanalah
para dina
karena
engkau tak pantas
duduk
di Negeri Tengah
yang
didiami roh-roh hitam
Bao
Ling
Kelana
Para Dina
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Ah,
gadis itu hanyalah seonggok daging dan tulang-belulang yang ringkih. Ia bukan
Hwasan yang kokoh dan gagah perkasa. Setiap saat ia dapat terbunuh di medan
laga. Dan hal itu lebih menyakitkan ketimbang alur fiktif khayalannya sendiri.
Bahwa ia mendapati dirinya terbantai dalam maharana. Ia takut kehilangan gadis
itu lebih dari apapun juga di dunia ini. Ia akan menangisi kematian gadis itu
lebih dari seribu malam. Ia akan hancur bersama hilangnya jasad gadis itu
menjadi debu. Ia akan merasa kehilangan nyawanya sendiri. Nyawa yang telah
manunggal dengan dirinya. Oleh karenanya, ia akan menjadi tameng bagi seorang
Fa Mulan. Ia tidak dapat membiarkan gadis yang sangat dipujanya itu menyongsong
perang.
Namun
dedewa seolah rungu, tak mampu menjelmakan sebuah mana bagi gadisnya yang
heroik. Tak ada mukjizat yang diturunkan dari svargakaloka. Dedewa telah
menulikan telinganya sendiri. Dedewa telah membutakan matanya sendiri. Mereka
tidak mampu lagi meraba segala kebajikan, dan memusnahkan rona kebatilan yang
telah meranggas dengan cepat serta melahap semua benih-benih kebaikan di
mayapada.
Lantas
kini ia seolah meniti lapak ajal yang telah tertoreh untuknya. Detak demi detak
pada jantungnya, dan denyut demi denyut pada nadinya, ia hanya menghirup
kekobongan hingga kematian itu memaksa jiwanya melayang-layang entah kemana.
Inikah sesungguhnya kematian yang virtual?! Kematian yang sejati, yang selama
ini hanya memberdirikan raganya saja?!
“Saya
tidak pernah takut terhadap kematian. Saya hanya takut terhadap apa yang telah
ditimbulkan oleh maharana.”
Sebuah
penegasan yang kerap ia dengarkan dari gadis itu kembali berdenyar di
telinganya. Sesungguhnya dedewa tidaklah berlaku adil terhadapnya. Bukankah
dengan segala kesaktian mereka, gadis itu dapat diberi kekuatan untuk mengatasi
kematian yang cuma sedepa itu? Tetapi mereka tidak melakukannya. Mereka seolah
tidak peduli. Bahkan mereka membiarkan sang angkara murka dengan bebas
mempermainkan nasib gadisnya.
Gadis
itu masih kecil. Namun ia telah menghadapi gergasi masalah. Seribu satu pelik
persoalan bangsa telah menghantamnya bagai gada raksasa yang siap meremukkan
kepalanya. Inikah keadilan yang diturunkan dari surga untuk Magnolia
Tionggoan?!
“Kadang-kadang
saya terlalu egois, Kapten Shang. Saya terlalu oportunis, dan melalaikan satu
hal, bahwa kita manusia penuh dengan keterbatasan. Saya percaya Anda diutus
Dewata untuk mengingatkan saya akan hal itu.”
“Saya
tidak sesuci yang kamu katakan tadi, Mulan.”
“Memang
tidak sepenuhnya demikian, tapi paling tidak saya dapat memahami konteks
kontemplasi, sehingga tidak bertindak gegabah dan sia-sia. Dan satu hal lagi,
saya tak akan binasa dengan sia-sia.”
“Mulan….”
“Memang
benar, bukan?”
Shang
Weng melirik. Didapatinya senyum tulus pada wajah lesi gadisnya. Bukan sekali
dua ia begini. Namun telah berkali-kali. Berkali-kali, sehingga ia tidak pernah
tahu apa yang tengah dialaminya. Dalam maharana kali ini pun ia tak pernah
takut akan kematian. Ia tidak pernah terkalahkan oleh rasa kerdil dan inferior.
Ia adalah gergasi patriotik yang sesungguhnya.
Pemberontakan
jelata Han dan Mongolia adalah remah dari bentuk ketidakpuasan manusia. Itulah
mulakat kesalahan yang tak boleh terulang pada masa-masa yang akan datang.
Kehancuran lantaran inferioris adalah bentuk kelalaian yang tidak dapat
dimaafkan oleh siapapun. Tak terkecuali para pemimpin bangsa yang mengendalikan
segala titah dan amar keputusan. Karena itulah kesewenang-wenangan harus
dihentikan. Karena itu pulalah gadis Magnolia bernama Fa Mulan itu terus
berjuang dan berjuang tanpa pamrih agar kedamaian menyata di Tionggoan. Namun
sungguh perjuangan yang tanpa berbelas. Ia menyuarakan kebajikan dan menampik
kebatilan atas nama langit dan cinta yang wangi. Ia memimpin secara tegas
tetapi jauh dari tiranisasi. Bukankah, ia merupakan pemimpin yang unggul dan
mengungguli segala para pemimpin yang ada di Tionggoan sekalipun ia merupakan
kaisar tertinggi?!
Oh,
Mahadewa nan Agung!
Dimanakah
letak keadilan surga yang telah didengung-dengungkan sejak para leluhur beranak
pinak bahkan telah meleluri di kekinian? Tunjukkanlah kesaktian-Mu,
tunjukkanlah kuasa-Mu sehingga mereka dan mereka tahu mana kebenaran dan mana
kebatilan. Pertumpahan darah telah menyebabkan segalanya menjadi tak ada
artinya. Genosida dan pembantaian telah menjadi budaya di mana-mana! Manusia
telah menjadi serigala bagi manusia lainnya. Letupan amarah bagai meriam,
meletup, meledak, dan melantakkan segala. Itukah angkara dan hukuman, ataukah
hanyalah sebentuk ketidakpedulian yang Engkau tunjukkan karena kekhilafan manusia?!
Lalu,
apakah gadis Magnolia itu adalah jejelma dedewi yang diturunkan oleh-Nya untuk
menghalau segala angkara?! Oh, inilah bentuk ketidaktahuan oleh sesiapa dan
sesiapa. Inilah bentuk kebodohan manusia yang telah digariskan secara verbal
oleh dirinya sendiri. Inilah bentuk ketololan manusia yang telah ditakdirkan
olehnya sendiri sehingga ia menjadi keledai yang selalu dan selalu jatuh ke
dalam lubang yang sama.
Ya,
manusia adalah keledai. Keledai yang setiap sebentar dapat menjelma menjadi
serigala dan memangsa sesiapa yang merupakan kaumnya sendiri. Bukankah demikian
merupakan tindak ketololan yang jauh melebihi ketololan yang ada di muka bumi
ini?!
Dan
ini adalah ketololan Tionggoan! (blogkatahatiku.blogspot.com)