Oleh
Effendy Wongso
Seterang
apakah gemintang timur
yang
memias serupa lelatu api
dari
sembur mulut Sang Naga?
Oh,
patriot dari Chengdu
serupakah
engkau tetomis
yang
kasat dan hidup
lantas
menggeliat serta terbang
di
atas tanah nan kerontang ini?
Bao
Ling
Litani
Nirwana
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Di
manakah letak sang jiwa, yang melanglang dan kadang melarung dalam mayapada tak
bertepi? Serupa dengung kecapi dan sitar pengembara, ia terus menerus menelusup
lantas menelikung di antara basir pasir dan cadas. Kegalauan ini sungguh tak
terjamah jawab, meski dawai-dawai itu melengking parau dan membiasi malam
dengan pongah.
Lalu,
apalah arti seorang manusia yang ditiupi lafaz dari langit. Ia mengecap dengan
tangisnya. Ia meraba dengan jeritan dan celotehnya yang mungil.
Oh,
aku tak paham.
Sungguh
tak paham
Kepandaian
ini menjadikanku pandir. Sungguh dina jiwa yang semelata ular-ular di Gobi.
Sungguh lara hidup yang mengagungkan rasa dan raga.
Lantas,
apakah Fa Mulan yang dianugerahi Prajurit Garda Langit merupakan seorang
perkasa di antara gergasi buana? Sehingga ia mampu memecahkan karang gemarang
hanya dengan aumannya?
Oh,
sahabatku. Tidaklah bijak mendewakan aku dalam selaksa puja. Kultus telah
menjadikanku batu di antara karang. Dan menjadikanku pemati di antara nisan.
Mohon,
sahabat. Sekali lagi aku pinta, enyahkan selantun litani yang mengikatku dalam
pranata ini. Aku ini hanya seonggok daging. Aku ini hanya segumpal darah. Aku
ini hanya raga yang terbentuk dari segala najis, yang sungguh tak kalian pahami
maknanya.
Sebab,
Fa Mulan yang kalian gelari Prajurit Garda Langit juga sesekali melakukan nista
tercela dalam gelimun gemawan gelap.
Ya,
nista tercela.
Saya
tidak pernah dapat memahami apa makna kehidupan ini. Semuanya babur. Rangkaian
episode kisah manusia seperti rantai yang sambung-menyambung tanpa ujung. Ada
kehidupan, ada kematian. Ada tawa, ada tangis. Jauhar afeksi menjadikan saya
serupa rani. Sementara rana menjadikan saya serupa pemati. Kebajikan dan
kebatilan beriringan serupa bayang-bayang yang mengikuti cakra pedati.
Apa
yang terjadi dengan Tionggoan?!
Sabda
yang diturunkan dari langit untuk para Tuan dan Puan melamur seperti pendar
pelangi, dan tak lagi memiliki makna keindahan untuk dititi dedewi. Maka
kuduslah engkau para rani. Kuduslah engkau yang senantiasa meletupkan lelatu
kebajikan dalam sanubari manusia, meski iramanya yang minor menjadi rekwin.
Meski biramanya yang platonis tak terjamah para hati yang telah terpenjara oleh
tirai-tirai kegelapan.
Saya
Fa Mulan, Prajurit Garda Langit, perempuan yang disabda dan diturunkan dari
Langit untuk mengabdi demi kebajikan agar semuanya tak jadi nisan.
Ya,
tak jadi nisan. (blogkatahatiku.blogspot.com)