Oleh
Effendy Wongso
Kekerasan
dan kelembutan
adalah
dua kubu yang berbeda
satu
bersaif mawar berbisa
dan
satu bersaif yang-liu
masing-masing
bertarung
dalam
jarak tak seberapa
Fa
Mulan
Refleksi
Taichi Chuan
1220,
Provinsi Guandong
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Namaku
Wong Qi Bei.
Aku
tidak pernah berpikir untuk menjadi pendekar dengan dianugerahi sepasang lengan
baja, yang nyaris setiap hari kuisi dengan perkelahian. Orangtuaku tidak pernah
bermimpi anak sulung mereka akan menjadi petarung. Karena mereka menganggap
pendekar adalah centeng-centeng naif yang memenuhi hidup dunia dengan darah.
Tetapi
dunia ini memang sudah babur.
Yang
kuat menjazam yang lemah. Tidak ada keadilan lagi ketika dajalis melanda
Tionggoan. Pemampasan menjadi cerita subur di tanah ini. Aku ke biara Shaolin
bersangu itu. Kelaknatan zaman mengaburkan perjalanan hidupku.
Aku
gamang. Diombang alur takdir. Rupanya Shaolin yang sesuci yang-liu bukanlah
tempat menempa harap. Kebatilan harus dilawan dengan kebajikan. Bukan dengan kekerasan!
Aku
terpental.
Nasib
membawaku kembali ke tanah kelahiranku ini. Di sini aku belajar menyelaras
dengan alam. Bukan kehendak berlandas keinginan sekeras karang semata.
Kusosialisasikan paruh hidupku demi kebajikan. Aku belajar memadani. Membaur dengan
kesederhanaannya. Meresapi hidup penuh warna tanpa kekerasan. Nasehat yang
kutepis jumawis dulu dari sepasang manusia peniup lafaz dalam napasku menyata.
Hitam
dan putih sisik-melik dunia memang hanya setipis sutra!
Lalu
suatu waktu aku menerima surat dari saudara seperguruanku, Fang Wong. Ia
mengabariku presensi neonatus Dewata. Sekarang gadis cilik itu berada di
Chengdu. Aku diminta untuk memoles permata tersebut. Mengasahnya sehingga
menjadi batu permata yang paling mulia di antara segala permata.
Maka
berangkatlah aku ke sana.
Kutemui
gadis cilik jelmaan Dewata.
Aku
terkesiap. Ribuan tahun tanah di Tionggoan tidak pernah ditumbuhi bunga
secantik ini.
Ia
adalah Magnolia. Keindahan segala bunga.
Kuajari
ia Totok Nadi. Ortopedi. Juga pengobatan tawar racun. Kukenalkan ia pada segala
jenis racun dan juga penawarnya.
Alangkah
girangnya ia bukan kepalang.
“Guru,
kenapa di dunia ini ada yang namanya racun?” Ia bertanya demikian, suatu hari
ketika mengajarinya semua hal.
“Seperti
juga dalam kehidupan manusia, hati manusia diliputi dua hal mendasar. Pertama,
kebajikan. Kedua, kebatilan. Kebatilan dapat kita ibaratkan dengan racun. Lalu,
kebajikan dapat kita ibaratkan dengan penawarnya. Dua hal itu seiring sejalan.
Tapi, kadang-kadang racun dapat menjadi penawar racun bagi yang lainnya. Begitu
pula sebaliknya. Kebajikan dapat menjadi kebatilan bagi kebajikan lainnya.
Itulah fenomena yang terjadi di lingkungan kita. Di Shaolin misalnya, ada
maharesi yang dapat berubah jadi serigala. Begitu pula sebaliknya di dunia
hitam, ada serigala yang dapat menjelma menjadi Dewata.”
“Maksud
Guru, racun itu tidak selamanya buruk?”
“Racun
adalah bagian dari alam. Racun mengisi kehidupan kita sejak terbentuknya kali
pertama dunia ini. Yang-liu dan Mawar Beracun tumbuh seiring dengan pesonanya
masing-masing.”
“Apakah
hal yang Guru sebutkan tadi masuk dalam komponen Taichi Chuan?”
“Tidak
ada unsur yang lepas dari alam. Semuanya menyelaras sehingga terjadi
perimbangan yang kosmis. Kalau menentang hukum-hukum tersebut, maka manusia
akan menemui petaka.”
“Petaka?!
Apa maksud Guru?”
“Petaka
itu bersumber dari diri kita sendiri. Seseorang dapat menuai bencana dan
mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. Salah satu unsur yang tak dapat
dielakkan adalah proses penuaan, sakit, dan mati. Manusia kadang-kadang ingin
hidup di luar hukum alam tersebut. Mengabadikan dirinya dalam ambivalensi maya.
Tapi, tidak ada yang dapat membendung unsur alam dahsyat kematian. Semua
manusia pasti mati!”
“Guru,
apakah yang dimaksud dengan ambivalensi maya yang seperti Anda sebutkan tadi?”
“Itu
adalah nafsu keinginan dan ambisi. Ambivalensi maya itu terangkai dari
egosentrisme dan utopis manusia. Padahal awal mula neonatus, manusia tidak
membawa apa-apa. Semuanya terlahir bugil. Dan ketika berpulang ke Sang Pencipta
pun begitu.”
“Jadi
menurut Guru, awal petaka itu bermula dari ambisi dan keegosentrisan manusia?”
“Betul.
Bencana bagi kehidupan datang susul-menyusul dibahang oleh ambisi manusia.
Perang, genosida, pemusnahan dan masih banyak lagi ulah batil manusia.”
“Kalau
begitu, apakah darah akan dibalas dengan darah , Guru?”
“Darah
dibalas darah, tidak akan ada habisnya. Karenanya, kebencian mesti dilawan
dengan kasih sayang. Kekerasan tidak pernah akan berakhir bila dilawan dengan
kekerasan. Tapi kekerasan akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih.
Bukankah itu yang diajarkan oleh Sakyamuni ?”
“Saya
gamang, Guru. Terjadi banyak ketidakselarasan yang membumihanguskan peradaban.
Perang dan perang. Apakah Dewata akan murka dan menjatuhkan sanksi kiamat?!”
“Beragam
sanksi dapat dijatuhkan Dewata sebagai kompensasi kemurkaan. Ia dapat berupa
bencana jasadi. Tapi, ia dapat juga berupa takdir. Utusan yang sudah menjadi
predestinasi.”
“Siapa
yang dimaksud utusan itu, Guru?”
“Pahlawan
dan kesatria. Mereka dapat berasal dari kalangan manapun. Jelata sekalipun.
Tidak hanya dari puak terpandang dan keluarga bangsawan.”
Aku
lihat ia mengangguk mafhum ketika itu.
Aku
tersenyum.
Utusan
itu adalah Fa Mulan! (blogkatahatiku.blogspot.com)