Oleh
Effendy Wongso
Alamat
lara
dijatuhkan
Langit kepadaku
danuh
ini tak pernah diam
maharana
memaksaku untuk kembali
dan
menanggung dosa
akibat
nyawa-nyawa yang melayang
seperti
anak-anak panah yang patah
Kao
Ching
Sepasang
Anak Panah yang Patah
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
1208,
Ulan Bator - Mongolia
Kao
Niang menatap bayi yang tengah digendongnya dengan rupa baur. Airmatanya
menitik tiap sebentar. Rambun seharian baru saja membawa kawat buruk. Orang
yang dikasihinya, tumpuan segala harapan telah pergi untuk selama-lamanya.
Hamdan Nai-Ramdak terbantai dalam sebuah insiden berdarah di Ulan Bator.
Perang
saudara yang melanda Mongolia telah merenggut nyawa suaminya sebagai korban
kebiadaban zaman. Meski gagal menggulingkan kekuasaan Temujin menjadi Khan
Agung dalam sebuah kudeta di tanah gurun, namun Bughut Orchibat, jenderal
pembangkang, telah membinasakan banyak prajurit Temujin, juga rakyat tak
berdosa.
Hatinya
meradang.
Rambun
semakin menyiksanya. Menggigit luar biasa dengan dinginnya yang dingin.
Sementara bayi belum bernama dalam pelukannya itu terus menangis. Seolah-olah
tahu kabar buruk yang dibawa oleh seorang peternak kuda tua kepada ibunya.
“Kao
Niang….”
Ada
suara paruh tangis yang menggema di belakangnya. Ia menoleh setelah membalik
badan. Daun tenda tersibak, partikel salju berhamburan masuk menyertai Layla
Khubilai yang berjalan tergopoh setengah berlari ke hadapannya. Ia tampak
menggendong bayi. Persis seusia bayi yang tengah digendongnya.
“Layla….”
“Abadur….”
Kao
Niang menggumam. Ia sudah tahu kalimat apa yang hendak disampaikan oleh
sahabatnya itu. Airmatanya kembali menitik.
“Saya
prihatin,” desisnya.
Layla
Khubilai bertanya pelan. “Kamu sudah tahu?”
Anggukan
getasnya menjawabi.
Dibelainya
rambut tipis bayinya yang masih memerah. Dirapatkannya selimut beledu kulit
rusa yang membebat tubuh mungil itu yang kini telah tertidur. Perempuan yang
tengah terkapar dalam luka di hadapannya tengah menggigit bibir. Keras. Sampai
nyaris berdarah.
“Hamdan….”
“Dia
juga tewas di tangan pasukan pemberontak pimpinan Jenderal Bughut Orchibat,
Layla!”
“Ke-kenapa….”
“Seperti
juga suamimu Abadur, Hamdan suami saya pun merupakan korban perang. Biarlah
Dewata yang menghukum pembunuh-pembunuh kejam itu, Layla!”
“Sa-saya….”
“Mungkin
peristiwa tragis yang menimpa kita berdua ini merupakan takdir langit. Kita
tidak boleh berkubang terus-menerus dalam kesedihan, Layla. Bayi kita masih
memerlukan perhatian kita!”
“Tapi….”
“Besarkan
bayi-bayi kita ini. Semoga mereka nantinya dapat menjadi pahlawan kebenaran
bagi Mongolia.”
“Tapi
kita tidak memiliki siapa-siapa lagi, Kao Niang!”
“Kita
harus mandiri!”
“Mana
bisa….”
“Layla,
kalau sudah cukup besar, bayi-bayi ini dapat kita titipkan kepada Temujin.
Beliau adalah pemimpin bijak yang welas asih. Saya yakin beliau dapat mendidik
anak-anak kita dengan baik.”
Kepala
Layla Khubilai menegak.
Sepasang
matanya berbinar riang setelah disaput dukacita kehilangan orang yang paling
dikasihinya. Ia mengangguk. Sertamerta mengakuri usulan Kao Niang, sahabatnya
dari suku Han bersuamikan Mongol.
“Temujin
tidak memiliki anak laki-laki,” jelas Kao
Niang. “Pasti dengan senang hati beliau akan menerima anak-anak kita!”
“Terima
kasih, Dewata nan Agung!” Layla mendongak, seolah memanjatkan doa syukur ke
langit, di balik tenda kulit kempa lembu. “Tolonglah kami. Biarkan bayi-bayi
kami ini dapat hidup layak bersama Temujin!”
Seperti
merasakan pijar bahagia sahabatnya itu, Kao Niang kontan menepuk lembut
punggung tangan Layla Khubilai dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya
menggendong bayinya yang masih terlelap, dan sesekali terlihat menguap.
“Nama
bayimu siapa, Kao Niang?”
Kao
Niang mengembangkan senyumnya. Obat penawar lara ada pada wajah polos tanpa
dosa bayinya. Tempat menaruh segala harapan. Karenanya ia memutuskan untuk
tetap hidup.
“Kao
Ching!”
“Kao
Ching?!”
“Kao
yang teguh. Kao adalah marga kami. Sementara Ching dalam bahasa Han berharafiah
teguh. Saya tidak ingin peristiwa tragis yang merenggut ayahnya menjadi
kenangan abadi di benak saya. Makanya, bayi ini tak saya beri nama marga
Hamdan. Biarlah semua berlalu ditelan sang waktu. Bayi ini saya beri nama yang
berasal dari marga keluarga saya. Kao. Jadi, bayi ini bernama Kao Ching. Si
Teguh Kao .”
“Kamu
cukup bijak untuk dapat melupakan masalah.”
“Yah,
hanya itu saja yang dapat saya lakukan.”
“Saya
salut dengan ketabahan kamu!”
“Saya
berusaha sebisa mungkin melupakan semua peristiwa tragis itu. Saya hanya dapat
menaruh harapan setinggi-tingginya kepada Kao Ching.”
“Saya
berniat mengikuti langkahmu!”
“Jadi….”
“Bayi
ini belum bernama. Setiap menyebut nama Abadur, hati saya seperti ditusuk
pedang. Saya ingin melupakan dia seperti kamu melupakan Hamdan.”
“Kamu
beri nama apa bayimu, Layla?”
“Saya
belum menemukan nama yang cocok. Yang pasti, saya tidak ingin menggunakan marga
ayahnya.”
“Yah,
mungkin itu lebih baik. Mongolia memang menyimpan banyak kenangan buruk di
dalam benak kita masing-masing.”
“Bagaimana
kalau kamu yang menamainya, Kao Niang?”
Kao
Niang terkesiap.
Terkejut
atas permintaan Layla Khubilai. Dalam kalangan suku Han, permintaan barusan
merupakan penghormatan yang tiada tara. Ia melebarkan bibir. Mengurai senyum
bijak.
“Mana
boleh begitu, Layla. Nama merupakan roh anak kita. Tidak boleh dinamai
sembarangan. Terlebih-lebih diberikan oleh sembarang orang. Saya tidak boleh….”
“Tapi,
saya tidak ingin bayi saya ini mereplikasi sifat ayahnya. Dia tidak boleh
menjadi prajurit. Saya harus menjauhkan dia dari bayang kelam Mongolia.
Makanya….”
“Makanya
kamu meminta saya menamainya dengan nama Han, bukan?”
Perempuan
berwajah tirus kecoklatan itu mengangguk.
Sepasang
mata besarnya masih membasah. Tetapi ia tidak dirangsa nelangsa lagi. Hatinya
sedikit lapang bila mengingat buah hatinya yang masih tertinggal. Tempat
menumbuhkan segala harapan.
“Tolonglah,
Kao Niang….”
“Saya
tidak bisa, Layla. Bukannya saya tidak mau menolongmu. Tapi, dalam kultur kami,
hal tersebut sangat tabu.”
“Ja-jadi….”
“Dia
tetap Mongol meskipun berganti nama sekalipun, Layla!”
“Tapi….”
“Kao
Ching lain. Dia masih memiliki darah Han. Kamu tahu….”
“Kao
Niang….”
“Bersabarlah,
Layla. Mungkin sedikit hari kamu dapat menemukan nama yang tepat untuk bayimu.”
“Tapi,
saya….”
“Biarlah
bayimu tumbuh secara alamiah, Layla. Nama untuk dia hanya soal waktu. Melupakan
kenangan sepat tidak sertamerta dapat dilakukan, meski bayimu itu berganti
kulit sekalipun.”
“Baiklah
kalau kamu bersikeras menolak, Kao Niang. Tapi, paling tidak kamu mengusulkan
satu nama untuk bayi saya ini.”
“Nama
Han?”
“Tentu
saja. Saya tidak ingin kenangan Mongol selalu bercokol di benak saya.”
“Tapi….”
“Ayolah,
Kao Niang. Anggap saja saya sedang memohon, sekali ini saja. Hanya satu nama.”
“Tapi
saya tidak berhak….”
“Kamu
berhak, Kao Niang!”
“Arwah
Abadur akan menyalahkan saya!”
“Tidak.
Bukankah dia pernah mengatakan kalau anak-anak kita nanti akan dipersatukan
dalam ijab?”
Kao
Niang kembali terkesiap.
Ia
teringat sesuatu. Tentang taklik yang pernah disepakati oleh Hamdan dan Abadur.
Kelak bila anak mereka lahir sebagai perempuan dan laki-laki, maka kedua anak tersebut
akan dinikahkan. Bila kedua-duanya terlahir sebagai laki-laki atau perempuan,
maka mereka akan dijadikan saudara angkat. Maka Hamdan dan Abadur pun sepakat
untuk membuat benda materiil simbol ikatan itu.
Dibuatlah
dua belati bersarung emas. Anak yang terlahir duluan akan mendapat belati yang
berukir aksara ‘Rajawali Satu’, dan anak yang terlahir kemudian akan mendapat
belati serupa berukir aksara ‘Rajawali Dua’.
“Auw
Yang Kauw, Si Rajawali Dua!”
Badan
Layla Khubilai sontak menegak. Ia mengernyit dengan pikiran magel. Atas dasar
apa sahabatnya itu memilih nama Han itu? Dan seperti sudah tahu apa yang
bersemayam di benaknya, Kao Niang langsung menjawabi pertanyaan yang hanya
berdenting sekilas di kepalanya tersebut.
“Auw
Yang Kauw berarti Putra Matahari. Si Putra Matahari. Matahari yang diharapkan
dapat terus-menerus memancarkan sinarnya untuk kehidupan manusia.”
“Rajawali
Dua….”
“Itu
nama belati bersarung emas untuk putramu. Abadur pasti sudah menceritakan
kepadamu, bukan?”
Sesaat
Layla Khubilai masih mengernyit.
Mencoba
menghimpun serangkaian kalimat yang pernah disampaikan oleh mendiang suaminya
menyikapi taklik yang sudah disepakatinya dengan almarhum Hamdan. Dan akhirnya
ia mengangguk setelah memori hal itu terkuak di benaknya.
“Karena
bayimu lahir lebih lambat tiga hari dari bayi saya, maka otomatis dia menerima
belati ‘Rajawali Dua’ itu, Layla.”
“Saya
paham. Jadi hari ini, Kao Ching bayimu, dan bayi saya, Auw Yang Kauw, resmi
menjadi saudara angkat!”
“Ya.
Semoga kedua bayi kita ini dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan
negara kita, Mongolia!”
“Semoga
Dewata melimpahkan anugerah kepada bayi-bayi kita.”
Layla
Khubilai kembali mendongak. Kao Niang mengikuti tingkah perempuan muda tersebut
tanpa sadar. Seolah sedang berusaha mengintip Dewata di balik tenda kulit kempa
lembu.
Namun
yang terlihat hanyalah kerangka-kerangka tenda dari tiang-tiang mahoni. Juga
partikel-partikel rambun yang menitik di punggung tiang-tiang tersebut akibat
embusan angin yang menelusup di celah-celah sobekan tenda. Beberapa di
antaranya melekat di dinding-dinding tenda. Lainnya jatuh tepat di wajah dan
rambut kedua perempuan muda itu. (blogkatahatiku.blogspot.com)