Oleh
Effendy Wongso
Cinta
adalah pias deru
dari
bayu yang bercampur debu
ia
berembus dari hati manusia
dan
melentuk majas dalam rahimnya sendiri
Kao
Ching
Elegi
Cinta di antara Maharana
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
“Apakah
jabatan itu demikian penting bagimu, A Kauw?”
“Penting
atau tidak, saya hanya ingin dihormati oleh semua orang.”
“Oh,
A Kauw….”
“Sudahlah,
Ibu. Saya hanya tidak ingin dihina. Saya ingin mengangkat harkat keluarga kita
sehingga tak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat melecehkan kita lagi.”
“Ibu
tidak menginginkan segala kemuliaan yang menjadi majas dalam benakmu itu! Yang
Ibu inginkan hanya satu, yaitu kebahagiaanmu. Bukan kejayaan, bukan kekayaan.
Tapi, kebahagiaanmu.”
“Sebelum
cita-cita saya terwujud, selamanya saya tidak pernah akan bahagia.”
“Apalagi
yang kurang, A Kauw?! Bukankah A Ling merupakan permata yang tak ternilai di
dalam keluarga kita?!”
“Jangan
menyebut-nyebut nama cucu Ibu untuk menghalangi niat saya mewujudkan cita-cita
saya!”
“Kalau
begitu, bagaimana dengan Chang Mei?”
“Perempuan
itu pilihan Ibu, bukan pilihan saya. Dan….”
“Ya,
Dewata! Kamu sudah keterlaluan, A Kauw! Biar bagaimanapun, dia adalah istrimu.”
“Dia
istri sekaligus penghalang langkah saya yang Ibu sodorkan kepada saya!”
“Ti-tidak
benar….”
“Saya
harus pergi!”
Pemuda
itu menggabruk sepasang daun pintu sehingga terpelanting dan ruyak. Gubuk yang
menaunginya belasan tahun sungguh tak layak lagi. Ia bersumpah untuk berjuang
memperbaiki derajat kehidupan mereka.
“Nak,
jangan pergi!”
“Saya
harus pergi!”
“Ambisi
akan menghancurkanmu, A Kauw!”
“Saya
sudah tidak tahan hidup menderita, Ibu!”
“Bersabarlah,
A Kauw. Tidak selamanya kita hidup menderita begini.”
“Sampai
kapan kita harus bersabar?!”
“Ta-tapi….”
“Kenapa
Ibu selalu melarang saya?! Kenapa Ibu selalu memasung langkah saya?! Kenapa?!”
“Ibu
tidak memasungmu, A Kauw. Ibu hanya tidak ingin kamu dihancurkan oleh ambisi
dan emosi yang meledak-ledak begitu. Lihat, apa yang telah kamu korbankan demi
cita-cita naifmu.”
“Saya
tidak naif! Saya hanya ingin memperoleh apa yang seharusnya menjadi hak kita!
Oh, sungguh bedebah keadaan yang telah mengombang-ambingkan kita ke dalam
penderitaan ini!”
“Bukan
keadaan yang salah! bukan takdir yang salah! Tidak ada yang salah. Hanya saja
kamulah yang telah dibahang ambisi.”
“Maaf,
saya harus pergi!”
Seketika
itu pemuda tersebut meninggalkan kampung halamannya. Tak ada yang dapat
menghentikan niatnya menyongsong cita-cita setinggi langit. Tak jua tangisan
bayinya yang masih memerah. Juga jeritan pilu perempuan muda yang telah setia
menyertainya selama ini.
“Nak,
belajarlah kepada kesederhanaan Kao Ching!”
Kao
Ching?!
Kepala
pemuda bertubuh jangkung itu serasa meledak. Sepasang gerahamnya mengatup.
Kenapa semua orang membangga-banggakan saudara setakliknya itu?!
Demi
langit dan bumi, ia bersumpah untuk dapat menjadi orang paling terpandang di
Tionggoan! (blogkatahatiku.blogspot.com)