Oleh
Effendy Wongso
Andai
saja Rajawali tak pongah
maka
sumringalah Dewata
sayang
indah arta mengilau
sehingga
membutakan matanya
yang
tajam serupa belati
Kao
Ching
Rajawali
yang Malang
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Nyanyian
rerimbun daun bambu yang diembus angin masih menyentuh dinding-dinding gulita.
Suara itu menelusup di antara gulma dan reranting. Beberapa partikel itu
menghilang ke senyap langit. Lalu sebagian kecil masuk ke dalam gubuk, membelai
indera pendengaran kedua anak manusia itu dalam syahdu birama malam.
Kao
Ching mengungkap terus-terang. “Beberapa hari lagi pasukan Mongol akan
menyerang Yuan, Mulan!”
“Saya
sudah tahu dari jasus Yuan yang sudah lama mengintai di daerah ini. Terima
kasih atas risalah Anda, Pendekar Kao,” tanggap Fa Mulan, memejamkan matanya
sesaat.
Kao
Ching menarik napas panjang. “Saya prihatin atas rencana penyerangan Mongol
itu, Mulan.”
“Mungkin
semua itu takdir. Saya pun gamang. Pada akhirnya rakyat jugalah yang akan
menderita akibat perang. Ah, kita harus bagaimana lagi?!” sahut Fa Mulan resah.
“Yah,
saya pun sudah pasrah, Mulan. Saya tidak memiliki legitimasi apa-apa
mengurungkan niat ayah angkat saya untuk menyerang Tionggoan. Beliau sudah
dibahang ambisi, sebentuk jumawitas setelah berhasil menaklukkan beberapa
daerah gegurun dan kota kecil di luar Tionggoan.”
“Ya,
sudahlah, Pendekar Kao. Maharana tak mungkin dielakkan lagi. Saya hanya bisa
berharap semoga semuanya lekas berlalu.”
“Ya,
semoga semuanya lekas berlalu.”
Fa
Mulan mengembuskan napas keras.
Ia
menundukkan kepala, menatap lantai tanah merah di dalam gubuk sebagai reaksi
kerisauannya. Pandangannya mengitari kaki-kaki meja, dan berhenti pada jendul
di sisi dalam sepatunya. Tiba-tiba, kelopak matanya meruak. Tertuju fokus pada
benda yang menyisip di antara matakaki dan batas sepatu. Ia teringat sesuatu
yang sudah lama menyertainya ke mana pun juga.
Belati
‘Rajawali Satu’!
“Belati
‘Rajawali Satu’!” serunya tanpa sadar.
Kao
Ching terperangah. Menatap lamat gadis yang berseru tanpa sadar di hadapannya.
Ia seolah mendengar swara dari svargaloka. Matanya berbinar-binar. Permata
belahan jiwanya yang hilang karena kecerobohannya telah teridentifikasi melalui
gadis yang tengah duduk di hadapannya.
“Belati
‘Rajawali Satu’?!” tanyanya mendesis. “Kenapa Anda bisa tahu perihal belati
tersebut?!”
Fa
Mulan mengeluarkan belati milik Kao Ching yang terjatuh saat bertarung
dengannya di pos pengawasan Tembok Besar lalu, yang selalu disimpannya pada
sisi sebelah dalam lapiknya.
Kao
Ching menahan napas ketika melihat kilau keemasan belati yang beberapa saat
menghilang darinya. Ia mengembuskan napas. Sungguh. Dewata seolah mengutus
gadis itu untuk menyerahkan kembali belahan jiwanya yang hilang.
“Belati
ini milik Anda, Pendekar Kao!” sahut Fa Mulan, menyodorkan belati bersarung
emas itu kepada pemiliknya yang semula. “Jatuh tercecer saat kita bertarung
dulu. Saya menemukannya, dan selalu membawanya ke mana pun saya pergi. Saya
berharap suatu saat belati ini akan kembali kepada pemiliknya. Dan ternyata
belati ini memang berjodoh dengan Anda. Nampaknya belati ini sangat berarti
buat Anda. Betul, bukan?”
Kao
Ching mengangguk dalam-dalam, menerima belati bersarung emas yang diangsurkan
Fa Mulan kepadanya di atas meja. Dipandanginya lamat-lamat belati itu setelah
berada di tangannya. Membolak-balik mata belati yang tajam serta mengilap
tersebut beberapa saat setelah mengeluarkannya dari sarungnya yang estetik.
“Terima
kasih, Mulan. Terima kasih karena Anda telah menyimpan belati saya dengan baik.
Belati ini merupakan benda wasiat mendiang ayah kandung saya kepada saya.
Sebenarnya ada dua. Belati yang lainnya, yang bernama ‘Rajawali Dua’ telah
diberikan kepada Auw Yang Kauw,” ucapnya berterima kasih, lalu menjelaskan
muasal belatinya tersebut.
“Auw
Yang Kauw?” Fa Mulan bertanya penasaran. “Siapa dia, Pendekar Kao?”
Kao
Ching memaparkan. “Auw Yang Kauw adalah saudara angkat setaklik saya yang kini
tinggal di Kiangsu. Dia sebenarnya totok Mongol. Tapi dia memakai nama
Tionggoan seperti saya sejak lahir.”
“Saudara
angkat setaklik?” tanya Fa Mulan dengan dahi mengerut. “Maksud Anda apa,
Pendekar Kao?”
“Kisahnya
panjang,” jawab Kao Ching. “Ya, kisahnya sangat panjang, kenapa sampai dia
memakai nama salah satu suku Han, bahkan berasimilasi dan tinggal di Tionggoan.
Bila berjodoh, kita akan bertemu lagi dan, saya akan menceritakan kepada Anda
detil kisah masa kecil saya dan Auw Yang Kauw alias Si Putra Matahari itu,
Mulan.”
Fa
Mulan mengangguk.
Memang
bukan saat yang tepat bila malam ini ia mendengar kisah silam Kao Ching yang
pasti menyimpan banyak kenangan. Sebab malam ini ia merasa lelah.
Sangat
lelah. (blogkatahatiku.blogspot.com)