Oleh
Effendy Wongso
Adakah
mara yang lebih bara
dari
maharana serupa Yakkha Alavaka
yang
bengis menakutkan dan congkak?
Wahai,
Raja Diraja
dan
para Kesatria
taklukkanlah
ia
jinakkan
dengan kesabaran
dan
kekuatan putih nurani
Karena
inilah kemenangan sempurna
yang
bermuasal dari saif kebajikan
Bao
Ling
Elegi
Yakkha Alavaka
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Ceruk
langit duha semakin mengelam. Sisa pendar terang keperakan yang menyapa hangat
kerut-merut tanah sudah sedari tadi tenggelam di horizon barat. Sepagi tadi
hanya terdengar derau angin yang menyapu dedaunan pada serumpun bambu di bawah
sana. Sesekali pula terdengar kicau rajawali dengan birama triolnya yang
syahdu. Satu-satu, lepas dan melengking, sampai membaur lalu menghilang di
atmosfer langit. Lalu pada akhirnya keheningan seperti raga tanpa nyawa.
Menangkup alam sampai gulita bergelung, dan kembali tanpa lelah mengiramakan
gerus khas malam. Derik jangkrik, siulan angin padang, koak unggas; adalah
denyut rutin kekelaman. Bilangan malam itu pulalah yang menemaninya kini.
Pekat
melentuk partikel binar di matanya.
Noktah-noktah
putih bertabur basir pada langit yang tadi membiru-jingga ketika ia mendongak.
Setiap sebentar nokturia memaksa kakinya ke salah satu bilik tinja di sisi
buram Tembok Besar. Dan kala ia menjongkok, maka langit menjadi satu-satunya
objek sauh matanya.
Satu-dua
di antara gemintang berlompatan seolah menari. Nun jauh pula di sana, mega nan
memutih tampak kelabu seperti khatifah domba Mongol yang mulai mengusang. Dari
waktu ke waktu, komposisi visual itu mengiramai kesendiriannya. Selalu. Pada
tembok-tembok dan gawir beku yang berlumut serta basa.
Khidmat
itu diresapinya takzim. Menggantikan tabuh galau yang senantiasa mendetak pada
jantungnya. Kali ini tak ada maharana, sehingga bulir-bulir embun sisa fajar
kemarin merupakan kilau jauhar yang tak berbanding.
Tak
sadar ia tersenyum.
Tetesan
darah itu sejenak berganti menjadi butir berlian pada galur landung dedaunan.
Api-api yang melelatu dan membakar perkampungan penduduk kini telah padam. Tak
ada bau tengik kayu yang kobong mengarang, yang menyeruak di antara reruntuhan
rumah para jelata. Di matanya, ranggas bara itu telah menjadi sigi di sepasang
bahu tubuh panjang Tembok Besar. Indah. Seperti mute pada mahkota Sang Kaisar.
“Atas
nama Dewata dan Naga yang perkasa, diberkatilah Yuan dan prajurit Fa Mulan!”
Tetapi
selamanya tidak berlangsung dengan lama.
Serangkai
kalimat aubade menggugah kedamaian itu sesaat setelah derap kuda terdengar
melambat di ujung tendanya. Lima pasang gerit gesekan sepatu prajurit jaga pada
tanah pun melamur, seperti membiarkan lelaki tersebut masuk ke area barak
Tembok Besar. Dan ketika ia gegas beranjak dari tempatnya yang najis dan making
tadi, serta memalingkan kepalanya ke arah suara santun tersebut setibanya di
samping tendanya, hatinya mulai dirayapi gundah.
Tan
Tay?!
Ia
mengusap wajah.
Prajurit
intelijen yang bertugas pada pos pengawasan Tembok Besar itu pasti datang bukan
tanpa musabab. Garizal keprajuritan sontak mengembuskan praduga karu dalam
benaknya, meski sepasang sepatu kulit rusa pemuda bertubuh atletis itu belum
menyentuh bayang pucuk tenda yang menubir pada tanah.
Ia
menghela napas berat.
Udara
nokturnal menghimpit paru-parunya. Keyakinannya menegas pada wajah lesi yang
mengarah lima tindak dari kuda kelabu yang menyampir di sebatang ek dengan
dedaunannya yang menggimbal.
“Ada
indikasi kalau kaum nomad Mongol akan melakukan penyerangan, Asisten Fa!”
Maharana!
Helaan
napas Fa Mulan terdengar seperti dengus. Pemuda itu sudah mengabarinya hal
terburuk yang bakal melanda Tionggoan tidak lama setelah ia berdiri tepat di
dot bayang tenda.
“Maafkan
saya dengan berita buruk itu, Asisten Fa.”
“Tidak.
Tidak apa-apa.”
Fa
Mulan mengangkat telapak tangannya mengaba ‘tidak apa-apa’. Tetapi rahangnya
mengeras. Berita mendadak dari Tan Tay itu menggamangkan hatinya.
“Saya
prihatin soal rencana penyerangan Mongol itu, Asisten Fa. Mudah-mudahan Anda
dapat mengatasi hal itu.”
“Terima
kasih atas aktualitas beritamu. Saya tidak tahu apa yang bakal terjadi
seandainya kamu tidak cepat-cepat dan tanggap melaporkan pergerakan musuh di
daerah perbatasan ini, Tan Tay!”
“Sudah
menjadi tugas saya, Asisten Fa.”
Fa
Mulan menggigit bibirnya.
Diam-diam,
disyukurinya tindakannya yang berani mangkir ke Festival Barongsai.
Keputusannya untuk tidak menghadiri undangan pihak Istana Da-du dalam acara
akbar Festival Barongsai memang merupakan tindakan yang tepat.
Sehari
setelah Bao Ling berangkat kembali ke Ibukota Da-du, ia pun langsung mendapat
kabar buruk dari salah satu prajurit intelijen yang bertugas memantau
perbatasan Tionggoan-Mongolia. Bahwa Tionggoan akan diserang dalam waktu dekat
oleh pasukan Mongol pimpinan Gengkhis Khan.
“Kamu
yakin, Tan Tay?” tanya Fa Mulan, lebih sekedar mempertegas pertanyaannya
ketimbang ketidakyakinannya.
Prajurit
intelijen itu mengangguk tegas. “Saya yakin, Asisten Fa. Kurang lebih tiga
puluh mil dari sini, mereka sudah menyiapkan armada perang berkuda yang hanya
menunggu perintah untuk menyerang. Tenda-tenda yang mereka dirikan di daerah
perbatasan juga merupakan salah satu bukti kalau mereka memang sedang berencana
untuk menyerang Tionggoan.”
“Sudah
saya duga,” desis Fa Mulan, gelisah dengan kabar buruk rencana penyerangan
pasukan Mongol ke Tionggoan. “Beberapa bulan yang lalu saya pernah bertarung
dengan seorang jasus Mongol. Tapi anehnya, dia sepertinya tidak memihak pada
apa yang akan dilakukan oleh pemimpin tertinggi Mongol, yang notabene merupakan
ayah angkatnya sendiri.
“Maksud
Anda….”
“Saya
pernah mendapat informasi tentang penyusunan kekuatan oleh pasukan Mongol di
perbatasan dari seseorang yang mengaku anak angkat Genghis Khan, setelah
bertarung dengannya di sini.”
“Maaf,
saya belum paham, Asisten Fa.”
“Ceritanya
panjang. Kalau ada waktu, saya akan menceritakan ihwal hal itu. Sekarang, kita
harus segera mengantisipasi pergerakan Mongol. Cepat himpun dan perkuat
pengawasan intelijen yang ada di daerah perbatasan. Awasi semua jalan masuk.
Saya akan koordinasikan hal ini kepada Kapten Shang. Kalau bisa, hari ini juga
kamu ke Ibukota Da-du. Tolong sampaikan kawat kepada Jenderal Gau Ming untuk
melapisi perbatasan Tembok Besar ini dengan armada baru. Saya berfirasat kalau
kaum nomad Mongol itu akan menyerang secara besar-besaran. Lebih besar
ketimbang armada pasukan pemberontak Han dulu.”
“Tapi….”
“Tidak
ada waktu lagi untuk menjelaskan perihal anak angkat Genghis Khan yang bernama
Kao Ching itu, Tan Tay. Sekarang, saya akan menyiagakan semua prajurit setelah
menyampaikan keadaan genting ini kepada Kapten Shang. Setelah itu, mungkin saya
akan langsung turun ke daerah perbatasan untuk memata-matai pergerakan pasukan
Mongol. Menakar kekuatan mereka. Saya pikir itulah salah satu upaya terbaik
untuk dapat mengetahui inti kekuatan mereka. Dengan begitu, suatu saat kita
dapat menandingi besarnya armada tempur mereka. Atau, mungkin ada strategi jitu
yang akan kita terapkan setelah meraba sebatas mana kekuatan kaum nomad Mongol
itu. Nah, lekaslah berangkat ke Ibukota Da-du. Mumpung kita masih ada waktu
mempersiapan diri menangkal pasukan Mongol.”Prajurit intelijen itu keluar
dengan langkah setengah berlari. Di luar, ia langsung menuju ke arah kudanya.
Menunggangi lalu menggebah sekuat tenaga kuda yang senantiasa membantunya dalam
bertugas itu. Ia harus secepat mungkin ke Ibukota Da-du.
Sementara
itu Fa Mulan keluar tenda dengan napas memburu. Ia memang berfirasat kalau
suatu saat perkataan Kao Ching kepadanya tempo hari akan menjadi kenyataan.
Tinggal menunggu waktu saja, maka kekuatan mahadahsyat Mongol akan menyerang
Tionggoan seperti nasar-nasar yang menghitam di langit.
Angin
menerbangkan rambutnya ketika ia menyongsong dari arah berlawanan sesaat
setelah menyibak daun tendanya. Ia serupa walet yang terbang rendah,
menggelepak oleh buih tuba yang diteteskan pada sepasang gendang telinganya.
Tidak
ada yang tahu kapan badai maharana itu akan memporak-porandakan Tionggoan lagi.
Namun ia sudah dapat mendengar denyut kematian yang diembuskan seperti taifun,
lalu selang itu akan terdengar nyanyian pilu dari tangis sufi yang rapuh.
(blogkatahatiku.blogspot.com)