Oleh
Effendy Wongso
Gasingan
tubuhku berputar di Samsara
kadang
melayang seperti walet
namun
tak jua kutemukan
ranah
bijak untuk berpijak
Mata
pedangku pun terus berpijar
seperti
matahari-matahari
sekecil
partikel debu
di
bentara Nova
Aku
lelah
Samsara
ini menyakitkanku
Fa
Mulan
Dalam
Bentara Nova
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Ia
melengos sebentar ke belakang ketika satu kakinya menyentuh tanah. Dengan
entakan keting pada tanah pula, ia terpantul kembali ke udara serta berputar
gemulai bak sehelai bulu ayam putih sebelum tombaknya yang panjang merancap
dada musuhnya. Pemuda bertaucang itu mati dengan tangan yang masih memegang
gagang goloknya. Ia belum sempat melepaskan rancapan senjata tajamnya yang
lebar mengilap tersebut dari batang pohon ketika tombak Bao Ling dengan cepat
melubangi dada dan merobek jantungnya di balik sebilah tulang iganya yang
patah.
“Ketua
Wu Kuo!”
Seorang
parewa berteriak histeris, bangkit berdiri lalu memungut goloknya yang
terpental tidak jauh dari tempatnya terjerembab tadi. Ia berlari kesetanan ke
arah Bao Ling yang masih merancapkan tombak ke dada musuhnya yang sudah tak
bernapas lagi.
Tetapi
langkah parewa yang hendak membunuhnya itu terhenti sebelum goloknya yang tajam
itu mencacah badannya. Tombak yang tadi merancap di jasad Wu Kuo telah
berpindah ke dada parewa yang beringas itu sesaat setelah melayang secepat
kilat. Tubuh anak muda itu ambruk tak bernyawa. Goloknya jatuh mendenting
membentur tanah bersama debum keras tubuhnya yang liat.
Bao
Ling melompat ke arah jasad parewa yang sudah membujur kaku di tanah itu,
menarik tombaknya dari tubuh musuhnya yang mati dengan sepasang mata membuka.
Para parewa lainnya berdiri secepat mungkin, lalu menghambur kabur
menyelamatkan diri masing-masing di sela-sela pepohonan dalam kekelaman malam,
tanpa memungut golok serta busur dan karpai anak panah mereka lagi saat melihat
pemimpin dan salah seorang sahabat mereka tewas mengenaskan.
Bao
Ling menghela napas panjang.
Didekatinya
mayat pemuda bertaucang yang dipanggil dengan nama Wu Kuo tadi. Diamatinya
seksama wajah saring dan keras itu. Kali ini ia bukan merupakan salah satu
prajurit dari Istana Da-du seperti Zhung Pao Ling. Namun, ia yakin mereka
adalah para suro dari dalang yang sama. Sebuah konspirasi yang kini berkembang
lebih jauh dengan melibatkan dirinya. Tak ada barang bukti apa-apa yang dapat
membongkar risalah misterius itu. Semuanya nihil ketika ia mencoba merogoh
sesuatu di dalam saku pakaian jasad pemuda itu.
Ia
berjalan dengan benak sarat ke arah tempat persembunyian kedua gadis yang hanya
sekali ditemuinya di tengah hutan Hwa petang tadi. Diam-diam dibuntutinya kedua
gadis itu tadi karena penasaran dengan identitas diri yang mereka rahasiakan
kepadanya. Ia yakin kedua gadis itu bukan rakyat jelata atau pengelana seperti
yang mereka katakan. Diikutinya kedua gadis itu sampai berhenti di tengah hutan
karena penyerangan yang dilakukan para parewa tersebut.
“Kita
sudah aman, Nona-nona!” ujar Bao Ling setelah tiba di sebatang pohon tempat
kedua gadis itu bersembunyi. Di sana, ia mengempaskan dirinya duduk menyandar
pada batang pohon. Ia merasa lelah. Benaknya mulai dipenuhi beban psikis.
“Te-terima
kasih, Prajurit Bao!” balas Fang Mei lirih. “Anda sudah menyelamatkan nyawa
kami.”
Bao
Ling memalingkan kepalanya, menengok ke balik batang pohon besar yang
disandarinya. Ia tersenyum. Dilihatnya kedua gadis itu meringkuk seperti kelinci
yang menggigil kedinginan seusai diguyur hujan dalam hutan.
“Bukan
kalian yang menjadi sasaran pembunuhan tadi,” jelas Bao Ling. “Tapi sayalah
yang menjadi target mereka.”
Sergah
Fang Mei terpotong. “Ta-tapi….”
“Mereka
hanya salah sasaran, menyangka kalian adalah saya,” jelas Bao Ling, tampak
berusaha menenangkan.
Fang
Mei terdiam.
Ia
belum dapat mengatasi keterkejutannya. Sesaat lalu ia serasa mati. Nyawanya
seolah-olah mengambang di udara ketika melihat Putri Yuan Ren Xie dihujani
anak-anak panah oleh orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kuda Sang
Putri pun mati terancap sebilah anak panah. Mengempaskan Sang Putri sampai tak
sadarkan diri.
Dan
seandainya saja mereka tidak ditolong oleh prajurit kurir yang berasal dari
Istana Da-du itu, entah apa yang akan terjadi dengan nasib mereka. Firasatnya
memang menjadi kenyataan. Hutan asing dan rimba bukanlah tempat yang aman untuk
melakukan perjalanan jauh. Setiap saat nyawa mereka dapat terancam. Putri Yuan
Ren Xie yang pongah dan keras kepala itu memang telah termakan oleh
kesombongannya. Ia kena batunya sendiri.
Diliriknya
Putri Yuan Ren Xie yang sudah siuman tetapi masih tampak lunglai, dan berbaring
berbantalkan pahanya.
“Putri,
kita sekarang sudah aman!” bisik Fang Mei sembari mengusap peluh di dahi Putri
Yuan Ren Xie dengan pipah lebar lengan bajunya yang menjuntai serupa kipas.
“Musuh-musuh yang menyerang kita secara misterius tadi telah kabur. Dua orang
malah mati dibunuh Prajurit Bao.”
Daun
telinga Bao Ling bergerak, menegak menangkap kalimat Fang Mei. Tetapi senyap
malam tidak dapat melamur suara bisikan itu sehingga kalimat serupa mantra itu
menyihirnya untuk segera takluk dan berlutut di hadapan kedua gadis itu.
“Ma-maafkan
saya, Tuan Putri!” ujar Bao Ling terbata-bata. “Sa-saya tidak tahu kalau Anda
semua adalah Putri!”
Fang
Mei tersenyum. “Saya bukan Putri. Saya hanya dayang Istana Kiangsu. Yang Putri
adalah….”
Bao
Ling masih berlutut. Diliriknya bibir Fang Mei yang bergerak miring mengaba,
menunjuk Putri Yuan Ren Xie yang masih berbaring di pahanya sebagai Tuan Putri
itu dengan ekor matanya tanpa berani mengangkat muka. Ia masih menunjukkan
sikap terkejut.
“Tapi….”
“Sudahlah,
Prajurit Bao. Tidak usah berlutut begitu. Seharusnya kamilah yang menyampaikan
rasa terima kasih kepada Anda karena telah menyelamatkan nyawa kami,” papar
Putri Yuan Ren Xie, akhirnya mengungkap jelas identitas mereka yang sebenarnya.
Ia masih berbaring di atas paha Fang Mei. Ia merasa risih dihormati sedemikian
rupa di luar protokoler Istana Kiangsu. “Kami berdua memang bukan rakyat
jelata. Saya Yuan Ren Xie dan….”
“Saya
Fang Mei. Dayang. Bukan Putri,” timpal Fang Mei ceriwis, memintas kalimat Putri
Yuan Ren Xie yang belum rampung. “Kami dari Istana Kiangsu. Putri Yuan Ren Xie
adalah putri tunggal Pangeran Yuan Ren Qing, saudara kandung Kaisar Yuan Ren
Zhan.”
Bao
Ling semakin merundukkan kepala. “Ma-maafkan saya, Putri. Saya telah berlaku
kurang santun terhadap Anda!”
“Berdirilah,
Prajurit Bao. Tidak usah berlutut begitu,” balas Putri Yuan Ren Xie lalu
tersenyum di akhir kalimatnya. Ia berusaha bangun dari berbaring.
Fang
Mei memapahnya kembali untuk duduk bersila di hadapan Bao Ling yang belum
berani menyudahi sujudannya. Fang Mei terkikik. Menahan tawa dengan telapak
tangannya.
“Tapi,
selama ini saya telah bersikap kurang santun terhadap Anda, Putri,” urai Bao
Ling dengan lugu. “Saya pantas dihukum mati.”
“Tidak
ada alasan untuk menghukum mati Anda, Prajurit Bao,” sahut Putri Yuan Ren Xie
teduh. “Saya hanya ingin Anda mematuhi perintah saya.”
“Saya
siap melaksanakan semua perintah, Putri!”
“Bagus.”
“Apa
yang dapat saya lakukan untuk Putri?”
“Kawal
kami ke Ibukota Da-du.”
“Saya
siap mengawal Anda, Putri. Saya siap menjaga keselamatan Putri.”
“Bagus.
Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya kalau kami berdua ini adalah kerabat
Istana Kiangsu. Saya harap Anda bermasa bodoh bila bertemu siapa saja yang
ingin mencari kami berdua.”
“Maaf,
Putri. Untuk apa?!”
“Jangan
membantah. Ini perintah!”
“Ba-baik.
Saya akan laksanakan perintah Putri.”
Fang
Mei tertawa keras. Ia tidak dapat menahan geli yang menggelitik hatinya lagi.
Putri Yuan Ren Xie menghardiknya supaya diam dengan satu anggukan pada kepala.
Namun gadis jangkung itu tetap tertawa terbahak-bahak dengan suara falseto.
Mengabaikan bahasa tubuh Putri Yuan Ren Xie yang tengah jengah karena akhirnya
meminta pengawalan yang sempat ditampiknya mati-matian di awal pertemuan mereka
petang tadi. (blogkatahatiku.blogspot.com)