Oleh
Effendy Wongso
Balam
adalah bayang semu
seperti
gemintang berselubung gemawan
lalu
apalah arti seorang dewi di Negeri Tengah
bila
tak mampu pancarkan benderang
seperti
gemintan nan masif
Fa
Mulan
Aku
Bukan Dewi di Negeri Tengah
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Beberapa
hari yang lalu ketika berangkat menuju ke pos pengawasan Tembok Besar ia juga
sempat diserang. Namun tidak sebanyak penyerangnya malam ini di hutan Hwa.
Pemimpin parewa yang menyerangnya beberapa hari lalu di tempat yang sama adalah
Zhung Pao Ling. Salah seorang prajurit intelijen kepercayaan Jenderal Gau Ming.
Tetapi
pemuda handal itu tewas di tangannya, dan menutup misteri dalang di balik usaha
pembunuhan dirinya. Ia yakin parewa yang menyerangnya malam ini pastilah para
suro dalang yang sama. Mereka pasti kembali berusaha membunuhnya.
Dan
ketika kedua gadis yang ditemuinya di tengah hutan Hwa tadi itu melewati jalan
setapak ini, mereka diserang oleh para suro yang hendak mencabut nyawanya.
Malam yang temaram dan balam telah melamurkan mata mereka, menyerang
membabi-buta tanpa mengetahui detil sosok musuh yang hendak disasarnya.
Masih
menangkis anak-anak panah yang sudah mulai berkurang melesat ke arahnya, Bao
Ling tiba-tiba melompat dari atas punggung kudanya. Ia berguling seperti
trenggiling ketika tubuhnya mendarat di tanah, dan menghilang di balik gegulma.
Sesaat
ia seolah-olah menghilang.
Namun
tidak lama kemudian ia muncul serupa halimun yang menggelimun di pucuk sebatang
mahoni. Lantas ia melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya.
Di
atas ketinggian pepohonan itulah matanya yang nanar berusaha menelusuri dan
mencari tempat musuh-musuhnya bersembunyi. Tetapi malap malam mengaburkan
segalanya sehingga sejauh mata memandang hanya tampak rerimbun daun yang
membentuk bayang musuh majasi.
Tetapi
bahang amarah yang menggelegak seperti lahar kepundan dalam diri sang parewa
mengenyahkan ketenangan batin yang selama ini menjadi salah satu senjata paling
ampuh untuk seorang pesilat. Ia keluar dari tempat persembunyiannya di balik
sebatang mahoni, tidak jauh dari tempat kedua gadis itu meringkuk sembunyi.
Enam
orang pemuda berseragam senada tampak mengitari area sekitar kudanya berada.
Sesekali melangkah gingkang dan menebas-nebas rerumpun gulma dengan golok
mereka. Bao Ling masih mengintip di atas dahan pohon. Membiarkan para parewa
itu menyabet-nyabet angin, sesekali mematahkan reranting pepohonan.
“Cepat
keluar kamu bangsat!”
Salah
seorang pemuda berpakaian lain dibandingkan seragam keenam pemuda yang keluar
lebih dulu tadi terdengar berteriak cupar. Ia baru keluar dari tempat
persembunyiaannya dengan air muka cua, tidak sabar ingin memusnahkan musuhnya.
“Ayo,
pengecut! Kenapa, hah?! Takut?!”
Bao
Ling tidak menggubris kalimat-kalimat sarkastis yang diteriakkan oleh pemuda
yang bertaucang itu. Ia tidak terpengaruh kalimat-kalimatnya yang memancing
emosi. Ia masih menunggu situasi yang tepat untuk balas menyerang dari balik
kegelapan. Ia pun masih membiarkan para parewa itu menghabiskan tenaga mereka
sendiri dengan meletupkan amarah, menebas-nebas gegulma dan dedaunan di dalam
hutan Hwa.
Tetapi
sesuatu seperti menyentaknya saat seorang parewa itu mendekati tempat
persembunyian gadis yang ditemuinya di tengah hutan tadi. Ia dapat mengendus
bahaya ketika golok parewa itu mengayun hendak menebas gegulma tempat
persembunyian kedua gadis itu. Menyadari nyawa kedua gadis itu di ujung tanduk,
ia pun menampakkan dirinya setelah berteriak lantang. Sontak menghentikan
tebasan golok parewa itu.
“Saya
di sini!”
Bao
Ling mendarat di tanah.
Ia
berdiri dengan sikap menantang, menenteng tombaknya di bahu. Pemuda bertaucang
yang tampaknya sebagai pemimpin parewa itu memicingkan matanya menahan geram yang
berkecamuk di hatinya.
“Kalian
siapa?!” tanya Bao Ling tegas tetapi tenang tanpa umbar amarah. “Untuk apa
kalian menginginkan nyawa saya?!”
Pemuda
itu mengempaskan kucirnya ke belakang punggung setelah mengayun dan menyampir
di dadanya tadi. Gerahamnya menggemeletuk. Wajahnya yang ramping dan keras itu
memerah. Ia belum menjawab pertanyaan Bao Ling. Keenam parewa lainnya sudah
mengerubunginya di samping dan belakang tubuhnya. Mereka semua mengambil
ancang-ancang untuk menebas, mengibas-ibaskan golok mereka seperti kipas para
rani Istana.
“Kamu
tidak perlu tahu saya siapa!” sahut pemuda bertaucang itu akhirnya.
Bao
Ling tersenyum memanas-manasi pemuda parewa itu. “Kalau begitu, atas alasan apa
kalian hendak membunuh saya?!”
“Jangan
banyak cingcong!” teriak pemuda berwajah keras itu marah. “Hari ini, kami akan
memenggal kepalamu!”
“Silakan.
Tapi, saya ingin tahu siapa majikan kalian yang tega mengirim anjing-anjing
buluk seperti kalian untuk mencoba menggigit saya!”
Pemuda
parewa bertaucang itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Emosinya yang
sedari tadi membahang telah membakar hatinya. Diserangnya Bao Ling dengan golok
terhunus ke depan. Ia berlari sekencang-kencangnya, menyeruduk seperti kerbau
liar yang bertanduk golok.
“Kurang
ajar kamu, Setan Istana Da-du!”
Tindakannya
itu diikuti oleh enam parewa lainnya yang mengenakan seragam merah bata serupa
jubah rahib Shaolin. Mereka semua memberondong Bao Ling dengan tebasan-tebasan
golok. Bao Ling memutar tombaknya di leher sekaligus menangkis tebasan golok mereka.
Seiring dengan gasingan tombaknya itu, ia merunduk dengan satu kaki sebagai
penyangga badan, lantas kakinya yang lain berputar menyusur tanah sebelum terangkat
mendepak-depak seperti ekor kalajengking.
Dua
parewa terpelanting terkait kaki lampai Bao Ling. Tetapi mereka segera bangkit
dengan sikap salto, dan kembali mengayunkan golok ke arah kepala Bao Ling.
Namun rupanya Bao Ling sudah mengantisipasi gerakan balasan mereka. Tombaknya
yang menggasing di leher itu mendadak dibenturkannya ke tanah. Hanya sekedip
mata tombak itu memantul elastis dari tanah dan terbang mengarah serupa
bumerang, menghantam kepala kedua parewa itu dengan sangat keras.
Kedua
parewa itu limbung dan jatuh ke tanah bersamaan dengan memantulnya kembali
tombak itu ke tangan Bao Ling. Bao Ling menangkap tombaknya dengan sigap, lalu
ia melompat dengan tubuh terbalik, berdiri di atas gagang tombaknya yang
merancap tanah. Gerakannya itu sertamerta menghindari satu tusukan golok pemuda
bertaucang yang mengarah cepat dari belakang punggungnya tadi. Rupanya ia sudah
mengetahui bakal gerakan-gerakan dan jurus-jurus lawan-lawannya.
Lalu
masih berdiri dengan sikap terbalik di atas udara, ia pun leluasa melancarkan
tendangannya yang memutar-mutar seperti propeler, yang menyapu wajah dan kepala
musuh-musuhnya. Keempat parewa berseragam merah bata yang menyerangnya dari
samping dan belakang tadi terkulai ke tanah tepat ketika kaki Bao Ling kembali
menjejaki tanah.
Hanya
pemuda bertaucang itulah yang dapat menghindari tendangan kerasnya. Ia tadi
berkelit gesit, melompat ke samping dengan gerakan salto, dan kembali berdiri
setelah sepakan bertenaga itu hanya menggaru angin.
Menyadari
musuhnya terdesak, Bao Ling tidak mengendurkan serangannya. Ia kembali melompat
gingkang, dan sesekali memantul pada batang pepohonan sembari mengibas-ibaskan
ujung tombaknya yang lancip dan tajam itu ke arah kepala para parewa yang
berusaha bangun. Alhasil, kibasan tombaknya menghalau tindakan para parewa yang
hendak bangkit dari tanah dan memungut golok mereka yang terlempar barusan.
Pemuda
bertaucang itu semakin mengalap. Ia menebas-nebaskan goloknya dengan mimik
frustasi. Ia mencoba membantu sahabat-sahabatnya yang terdesak tidak berdaya
dengan menyongsong tubuh Bao Ling yang sesaat kini tengah berada di udara.
Namun jurusnya sudah tidak terarah karena kehilangan konsentrasi dan kelelahan.
Goloknya menancap di sebatang pohon ketika ia mengarahkan senjata tajamnya itu
sekuat tenaga ke arah pinggang Bao Ling yang kini tengah melandaikan dirinya ke
tanah.
Tiiiing!
Daun
telinganya bergerak ketika sebuah lentingan golok yang nyaring terdengar
merancap dan menggemeletar pada sebatang pohon. Tanpa melihat pun ia sudah tahu
apa yang terjadi.
Tak
ada pengampunan lagi!
Intuisinya
yang tajam akibat asah basir pertarungan heroik telah menebarkan aroma darah.