Oleh Effendy Wongso
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
Suasana di kantin tidak terlalu ramai.
Begitu melihat muka saya, Bang Thoyib langsung melebarkan bibirnya. Dengan
gesit pula dia menyiapkan semangkok bakso tanpa mie kesukaan saya. Dia sudah
tahu makanan fave saya.
Arini dan Herman tampak mesra, makan
barengan di meja sudut belakang kantin. Kedua anak itu memang tengah fall in
love. Dan mereka melambaikan tangan begitu melihat saya yang duduk di meja
depan kantin. Setelah kejadian dua hari yang lalu di kelas, teman-teman lebih
respek pada saya. Mereka sudah menghormati dan menganggap saya sebagai pemimpin
ketimbang teman biasa.
“Halo, Bintang. Pesan apa kamu?”
“Bintang, sini duduk bareng. Eh, hari
ini biar saya yang traktir kamu.”
“Di sini sama saya saja. Saya sudah pesan
bakwan, banyak. Sayang kalau mubazir. Ayo, kamu bantuin saya habisin.”
Terus terang, saya sedikit risih
dengan perlakuan mereka. Seperti ada jarak yang membentang tiba-tiba.
Mengantarai hubungan kami sebagai teman biasa. Sejujurnya pula, saya tidak terlalu
suka mereka memperlakukan saya demikian santunnya. Sebab saya tidak ingin
dihormati dan dianggap karena terpaksa. Tentu saja. Saya tidak ingin di muka
mereka patuh dan bermanis-manis, tapi di belakang berulah lagi dengan kelakuan
mereka yang amburadul. Sebagai Ketua Kelas, saya tulus ingin anak-anak jadi
baik. Minimal, tidak kurang ajar terhadap guru-guru.
Di sekolah swasta kami ini guru-guru
memang banyak yang tentatif. Setiap awal ajaran baru biasanya berganti dengan
wajah-wajah baru. Kecuali guru-guru tetap, guru-guru tentatif biasanya kurang
dapat beradaptasi dengan siswa-siswa sekolah kami yang bandel ini. Secara
psikologis hal itu dapat menyebabkan siswa-siswa bertindak seenaknya. Membolos
atau datang ke kelas sesuka hati mengikuti mata pelajaran guru bersangkutan.
Hal itu diperburuk lagi oleh Ketua
Kelas terdahulu. Orangnya tidak tegas sama sekali. Lembek dan cuek-bebek.
Setiap hari justru dia yang datang belakangan dengan mata mengantuk. Kalau apel
bendera, cowok gemuk itu tidak pernah sigap. Barisan selalu kacau seperti orang
yang habis kalah perang. Dia sendiri juga indisipliner! Kancing-kancing atas
bajunya selalu terbuka sehingga tatonya yang norak bergambar bunga mawar di
dada kirinya itu terpamer ke mana-mana. Lengan bajunya selalu disingsing sampai
ke pangkal lengan sebatas bahu, sehingga baju seragam sekolah yang dikenakannya
lebih mirip you can see ketimbang seragam Osis. Selalu membolos. Laporan tidak
pernah lengkap dan betul. Tapi anak-anak suka padanya karena dia boros. Suka
traktir satu kelas makan-makan dan minum-minum di kantin. Bersama Ryan
Gunawarman, mereka memang setali tiga uang!
Awal Tahun Ajaran Baru ini Dewan
Sekolah memutuskan hal yang di luar dugaan. Dan hal itu merupakan kejutan tidak
disangka-sangka buat saya. Rico Bernardus Tarampa mengundurkan diri secara suka
rela sebagai Ketua Kelas karena akan pindah ke Balikpapan mengikuti orangtuanya
yang bertugas di sana. Setelah Dewan Sekolah mempertimbangkan prestasi
cemerlang saya, yang merupakan rangking pertama sepuluh besar sekolah dan saya
pernah menjuarai lomba pidato tingkat SMP, maka Bintang Handoko pun diangkat
menjadi Ketua Kelas yang baru. Sekaligus sebagai Ketua Osis yang baru melalui
prosedur prestasi tahunan sekolah!
Mulanya saya menolak pilihan Dewan
Sekolah yang menganugerahkan tanggung jawab besar itu ke pundak saya. Bukan
karena saya tidak pede. Tapi saya tahu, beban-beban tugas yang bakal saya pikul
itu secara otomatis akan mengganggu konsentrasi belajar saya.
“Ini tugas mulia,” bujuk Ibu Neni
Wulandari, Wali Kelas saya, penuh harap.
“Tapi….”
“Ibu yakin kamu sanggup.”
“Bukan begitu….”
“Atau, mungkin kamu takut persiapan
ujian kelulusanmu akan terganggu?”
Saya mengangguk pada waktu itu. Memang
hal itulah yang paling saya takutkan. Selama ini, mulai dari kelas satu,
kelangsungan studi saya memang praktis berasal dari beasiswa. Saya tidak ingin
mengganggu penghasilan ayah saya yang cuma pegawai negeri sipil.
“Dewan Sekolah sudah memikirkan semua
hal itu, Bintang. Kami tidak mungkin mengorbankan prestasimu begitu saja.
Makanya, tugasmu sebagai Ketua Osis akan dihargai sebagai nilai eksklusif pada
kegiatan ekstra kokurikuler. Jadi, jangan khawatir.”
Akhirnya saya terima tawaran itu. Dan
sampai hari ini, tugas saya sebagai Ketua Kelas sudah berjalan satu bulan.
Sudah ada perubahan sedikit ke arah yang lebih baik.
***
Namun si Biang Kerok Jawara Sekolah
itu ternyata masih menyimpan dendam. Picik. Setiap hari ada saja ulahnya yang
bikin saya senewen. Kalau bukan perbuatan iseng seperti menempel sepah permen
karet di bangku saya, dia pasti berkicau seperti burung hantu.
“Hei, dikiranya saya takut karena
dibekingi sama Ibu Neni!”
Si Burung Hantu itu tidak
terang-terangan mengucapkan kalimat itu. Dia memunggungi saya, seolah-olah
berbicara dengan teman-teman lainnya yang sedang berada di kantin. Dia mulai
menyinggung nama Wali Kelas kami.
“Sok disiplin! Sok galak! Bagaimana
kalau jadi….”
“Diaaamm!” Saya bentak Ryan yang
berdiri dengan kaki kanan menginjak salah satu bangku. Gayanya tengil sekali.
“Kenapa?! Tersinggung?!”
Dia membalikkan badan. Berhadapan
langsung dengan saya kini. Saya mengatupkan geraham menahan darah yang
mengubun. Anak itu cengengesan dengan mata memicing. Kurang ajar. Dia malah
mengunyah tusuk gigi dengan pongah.
“Punya jabatan baru, mbok ya yang
wajar. Jangan kelewat euforia begitu, dong!”
“Ka-kamu sudah keterlaluan, Ryan!”
“Tapi tidak seterlalu kelakuan sok
kamu yang….”
Saya tidak dapat menahan emosi lagi.
Saya terjang anak itu dengan melayangkan tinju ke mukanya. Dia mengelak.
Pukulan saya membentur dinding kantin. Anak-anak cewek menjerit-jerit histeris.
Ryan membalas pukulan saya yang luput
tadi dengan sebuah tendangan keras yang mengarah ke perut. Saya terjerembab
kesakitan di lantai. Dia hendak melayangkan satu tendangan lagi ketika saya
berusaha bangkit. Namun urung dilakukannya karena Pak Simon Simanjuntak,
guru BP tiba-tiba memiting dia dari belakang. Ditekuknya anak itu sehingga
badannya terjerembab ke salah satu meja kantin.
“Apa-apaan ini, heh?!” Lelaki gempal
itu menatap saya. Dia masih menelikung tubuh Ryan yang meringis kesakitan
terhimpit di atas meja kantin. Lalu memakinya dengan suara bentak. “Dan kamu
jagoan sekolah! Berani-beraninya hanya sama….”
Ibu Neni datang tergopoh-gopoh,
menggebah kalimat Pak Simon. “A-ada apa ini, Pak Simon?!”
“Anak-anak bengal ini bikin ulah lagi.
Berkelahi seperti jagoan!”
“Astaga! Kamu lagi, Ryan?!” Ibu Neni
melotot. Menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian.
“Ka-kamu tidak apa-apa, Bintang?”
Lusiana bertanya prihatin, membersihkan lengan saya yang terluka dengan tissue.
Beserta Marni, dia membantu mengangkat tubuh saya.
“Astaga! Bin-Bintang?! Kamu tidak
apa-apa, kan?!” Ibu Neni memandang saya dengan mimik iba. Didekatinya saya yang
sudah berdiri dengan kepala menunduk.
“A-aduh! Kok, kamu berkelahi sih,
Bintang? Padahal, Ibu kan sudah bilang kalau ada apa-apa melapor saja ke Guru
BP. Atau, sama Ibu.”
Airmata saya menitik. Saya menyesal
tidak dapat menahan emosi. Dan bertindak gegabah karena merasa memiliki sedikit
kemampuan beladiri taekwondo. Ternyata Ryan lebih kuat dari prakiraan saya.
Berdua kami masuk ke ruang BP. Setelah mendengarkan penjelasan
masing-masing, maka tidak ada keputusan yang dapat meringankan hukuman untuk
Ryan.
Keesokan harinya diadakan rapat
penting menangani kasus perkelahian kami kemarin. Dewan Sekolah
mempertimbangkan dengan cermat bahwa Ryan bersalah dan harus mendapat hukuman.
Dia diskorsing tiga hari.
***
Sejak kejadian itu, saya lihat Ryan
selalu menghindar bertemu dengan saya kecuali di dalam kelas. Aneh. Dia juga
tidak berulah lagi, mengusili saya seperti biasa. Mungkin karena jera setelah
mendapat hukuman dari sekolah. Tapi saya yakin anak itu pasti masih menyimpan
dendam.
Namun saya tidak terlalu mengacuhkan
pertikaian kami lagi. Saya sibuk dengan urusan sekolah. Mendekati masa ebtanas,
yang juga merupakan saat-saat terakhir di sekolah, saya memang berkonsentrasi
penuh terhadap pelajaran sehingga perlahan-lahan melupakan kejadian lima bulan
lalu itu.
Dan sampai datang sepucuk surat dari
Ryan via Lusiana. Setelah semuanya sudah tidak mungkin dapat bersama-sama
sekelas seperti dulu lagi. Kami semua harus berpisah satu dengan yang lainnya.
Masing-masing menempuh jalan sendiri-sendiri. Memilih Perguruan Tinggi mana
yang akan kami masuki sebagai kesinambungan jenjang pendidikan.
How are you, Bintang?
Sebelumnya saya mau meminta maaf
karena selama ini saya selalu bikin kamu kesal. Saya selalu jahatin kamu. Saya
tahu kamu pasti membenci saya. Makanya, saya menulis surat ini supaya kamu
dapat mengerti kalau selama ini saya telah menyesal. Hei, penyesalan memang
datangnya selalu belakangan. Di saat kita tidak bakal dapat bersama-sama lagi
seperti dulu. Tapi, it’s okay. Daripada tidak sama sekali, lebih baik ada
sepucuk surat unek-unek ini, kan?
Bintang yang manis,
Meskipun mulanya saya membenci kamu
karena merasa kamu tuh sok banget, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata apa
yang kamu lakukan selama ini demi reputasi dan nama baik kelas kita. Buktinya,
kelas kita memperoleh predikat kelas terbaik dan terteladan.
So, untuk itu saya angkat topi. Karena
kamu merupakan cewek paling berani yang pernah saya kenal. Kamu lebih berani
ketimbang cowok-cowok manapun di sekolah. Kamu juga smart banget!
Eh, ini bukan rayuan pulau kelapa ya,
Bintang! Tapi, memang kenyataan. Tahu tidak, setelah kasus di kantin itu saya
kok jadinya malah selalu ingat kamu. Saya tidak nyangka kamu berani melawan
saya, padahal tahu sendiri kan kalau seantero sekolah tidak ada yang berani
sama saya. You are the great girl, Bintang! Saya salut sama kamu.
Dan sebetulnya gelar jawara itu hanya
pantas untuk kamu. Bukan saya yang bengal ini!
Nah, hati saya sudah sedikit lapang
setelah menulis surat ini. Tapi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan terus
terang. Boleh tidak? Kamu jangan marah tapi ya, Bintang?
Hm, saya suka sama kamu!
Sudah dulu, ya?
Bye!
Ryan Gunawarman
Saya menitikkan airmata. Ternyata si
Burung Hantu itu sudah sadar. Saya bahagia membaca suratnya. Tapi juga sedih
karena kami tidak mungkin dapat bersatu seperti dulu lagi. Itulah stori saya
yang paling indah semasa di SMU. Dan saya akan menyimpannya sebagai kenangan
yang tak terlupakan.
Selamanya.
(blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment