![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari, setiap orang pasti membutuhkan alat tulis
kantor (ATK). Kebutuhan terhadap ATK memiliki tujuan riil, yakni melakukan
pencatatan tertulis untuk menjadi bukti fisik dari sebuah laporan yang tengah disusun
atau dilaporkannya. Ini berlaku, terutama pada suatu institusi, perusahaan
maupun organisasi, juga pelajar dan mahasiswa yang masih duduk di bangku
sekolah atau kuliah. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan penjualan ATK yang
terus meningkat secara signifikan.
Hal
tersebut diungkapkan penulis dan pemerhati bisnis-sosial, Khiva Amanda saat
dikonfirmasi beberapa waktu lalu via milis terkait perkembangan transaksional
produk ATK yang mencengangkan dari tahun ke tahun. Disebutkan, berdasarkan data
yang dilansir oleh Kementerian Perdagangan, pada 2012 lalu saja tercatat
transaksional penjualan ATK di Tanah Air mencapai sekitar Rp 7 triliun. Adapun
perkembangan terpesat terjadi di DKI Jakarta. Dari data tersebut, Sulawesi
Selatan (Sulsel) menempati peringkat kedelapan sebagai daerah dengan tingkat
penjualan ATK terbesar di Indonesia, dengan nilai transaksi mencapai Rp 130
miliar.
“Terjadinya
transaksional yang cukup besar ini berkat peran berbagai pihak, tidak hanya
individu yang membutuhkan alat tulis, melainkan perusahaan, institusi, sekolah dan
universitas, serta berbagai organisasi juga membutuhkan ATK,” ujarnya.
Khiva
menganalogikan, jika manusia kebutuhan pokoknya adalah nasi, maka perusahaan,
sekolah, maupun instansi-instansi maupun komunal formal lainnya kebutuhan
pokoknya adalah ATK. Menurutnya, kebutuhan terhadap ATK terdongkrak karena
semua orang membutuhkan laporan tertulis dan nyata yang berbentuk “fisik”.
“Ya,
terutama ATK seperti kertas, pulpen, tinta, dan lain-lainnya. Nah, itu tidak
bisa dipisahkan dalam kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkapnya.
Disebutkan,
dari sekian banyak instansi tersebut pasti setiap harinya membutuhkan ATK. “Nah,
banyak orang yang tidak sadar bahwa kebutuhan pokok mereka selain pangan, sandang,
dan papan adalah ATK. Pasalnya, tanpa ATK mereka tidak bisa menjalankan
kegiatan sehari-hari mereka, misalnya anak sekolah, mahasiswa, ataupun para
pekerja tentunya membutuhkan ATK untuk melakukan pencatatan,” contohnya.
Dipaparkan,
jumlah pengusaha kecil yang bergerak di sektor ini setiap tahunnya mengalami
peningkatan, begitu pula dengan jumlah pengusaha menengah dan pengusaha besar.
Namun dari data yang diperolehnya dari Kementerian Perdagangan, dalam kurun
waktu beberapa tahun ini, terutama pada 2010-2011 lalu, sejumlah pengusaha
menengah-besar mengalami sedikit penurunan transaksional penjualan.
“Jika
kita mencermati paradigma ini, hal tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti strategi bisnis dan kinerja yang kurang maksimal saat mengelola
bisnis yang sebetulnya ‘primer’ ini. Ya, kita tahu kan, sebenarnya jumlah
penjualan ATK dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang stabil. Ini
juga berarti bisnis di bidang ini seperti tidak ada matinya,” imbuhnya.
Menyoal
peran pemerintah, khususnya dalam mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) di sektor ini, wanita berkacamata minus tersebut mengungkapkan bahwa
peran institusi plat merah tersebut sudah semakin aktif mendorong UMKM dalam
berbagai daya upaya.
“Ya,
ini termasuk banyaknya bank pemerintah seperti BRI yang menawarkan kredit usaha
kecil untuk masyarakat dengan syarat yang mudah,” jelasnya.
Kendati
demikian, Khiva tak menafikan adanya beberapa faktor yang menyebabkan penurunan
dalam usaha ini lantaran minimnya inovasi pada usaha yang dijalankan oleh para
pelaku usaha. “Pada bisnis alat tulis ini, bila usaha yang Anda jalankan tidak
memiliki diferensiasi tersendiri, maka akan dengan mudah tersingkir dari peta
persaingan. Ya, jelas karena saat ini konsumen justru membutuhkan sesuatu yang
berbeda, bukannya konsep konservatif seperti dulu lagi,” pesannya.
Diferensiasi
yang dimaksud adalah strategi bisnis yang cocok dengan kondisi pasar. “Terus
terang, banyak perusahaan dalam bisnis ini hanya mengandalkan strategi harga,
dengan melakukan ‘war-price’ misalnya. Nah, itu kan sebenarnya berbahaya di
mana pengusaha hanya menawarkan harga termurah. Cara-cara itu sebenarnya tidak
dapat memenuhi keinginan konsumen yang majemuk,” paparnya.
Selain
itu, sistem pengelolaan pemasok yang tidak efektif juga turut menurunkan
kinerja pengusaha ATK. Hal ini diungkapkan Khiva mengingat para pelaku di
bisnis ini cenderung mengandalkan satu pemasok saja.
“Ini
andil yang bikin minimnya variasi untuk melakukan strategi tepat guna dan
diferensiasi produk. Faktor klasik lainnya adalah kurangnya kecermatan
pengelolaan modal dan kendali kredit, terutama dalam pengelolaan kredit.
Pengambilan kredit over limit (di bank) yang tidak memperhitungkan plafon
jaminan memiliki tingkat risiko yang tinggi. Nah, ini yang sering terjadi
sehingga beberapa pengusaha mengalami kolaps,” ulasnya.
Diuraikan, akibatnya
pengusaha mengalami “fatal-error” lantaran modal tersebut tak disesuaikan
terhadap kebutuhan operasional, sehingga salah kaprah dalam mengalkulasi antara
kredit dan modal terhadap kemampuan dalam membayar utang. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment