“Nama Kakak Eyang, ya?”
Saya mengangguk. Sekilas menatap wajah tirus
yang mengarah begitu dekat ke pipi kanan saya. Saya meneruskan mengawasi
panggung.
“Lho, kok Eyang sih?”
“Memangnya kenapa?”
Dia tersenyum. Samar. Lalu menggeleng pelan.
“Nggak apa-apa,” begitu jawabnya. “Cuma aneh.”
“Lha, kok aneh?” Kali ini saya menatapnya
serius. Cowok ceking itu sudah terkekeh. Bahunya bergetar hebat. Tapi dia sama
sekali tidak meledek saya. Saya tahu, seperti orang-orang yang baru mengenal
saya, mereka pasti akan menertawakan nama saya. Eyang.
“Eyang kan, artinya….”
“Nenek-nenek!” ketus saya, menyalibi.
Bagaimanapun juga, saya tidak dapat menutupi
perasaan saya. Saya bosan ditanyai-tanyai tentang nama saya yang kedengaran
aneh di telinga orang lain. Padahal, apa sih jeleknya nama Eyang itu?! Bagi
saya, itu merupakan nama terbaik dan terindah sedunia. Iya, sedunia! Karena
menurut Mama, nama Eyang punya makna yang dalam. Formalnya sih, sakral. Ah,
saya tidak tahu pasti. Karena nama tersebut sudah dilekatkan kepada saya
sejak saya masih orok. Tentu saja saya
tidak boleh protes, menolak, atau demo pada orangtua saya yang notabene memberi
saya nama yang tidak lazim. Iyalah, masa sih saya harus menggelar poster atau
spanduk antinama seperti pada saat
maraknya mahasiswa-mahasiswa se-Indonesia menyuarakan reformasi! Kalau iya,
Mama dan Papa, juga Oom Bayu, adik Mama pasti akan terkekeh alias terkikik ala
kuntilanak seperti kalau sedang nonton program acara lawak di stasiun TV.
Eyang, Eyang! Kamu ini sedang ngelawak atau
apa, sih? begitu pasti kata mereka, lantas meneruskan tawa yang sama sekali
tidak sedap di pendengaran saya.
Pufh!
Lalu, saya harus bagaimana dong?!
Mencak-mencak hanya gara-gara sebuah nama?! Huh, bukankah ada pepatah mengatakan: ‘Apalah artinya sebuah nama?!’.
So, nama itu tidak, atau paling tidak, tidak menjadi masalah buat saya. Lalu,
kenapa dipersoalkan?! Lha, kalau Komnas HAM sampai tahu hanya gara-gara sebuah
nama dibesar-besarkan, mungkin mereka akan mengirimkan duta atau wakil untuk
mengusut tuntas kasus ‘nama’ tersebut. Iyalah. Soalnya perkara sepele itu kalau
dikipas-kipas atau dikompor-komporin terus kan,
mengganggu kebebasan ber-‘nama’. Itu berarti mengganggu aktivitas
sehari-hari. Tidak enak dibawa kerja. Tidak enak dibawa makan. Tidak enak
dibawa tidur. Tidak enak dibawa melamun. Tidak enak de-el-el de-el-el. Pokoknya, tidak enak
segala-galanya. Persis kalau orang lagi sakit gigi!
Tapi memang dasar. Orang-orang sih biasanya
punya sifat laten yang tidak terpuji. Sudah dari sononya. Dan kebiasaan
tersebut, yang acap kali dikasih nama hobi itu tidak lain dan tidak bukan
adalah: G-O-S-I-S-P! Singkatan dari, Digosok-gosok
Semakin Sip! Padahal mereka tidak tahu bahan obyekan yang digosok-gosok itu
bisa senewen. Dosa, tahu! Tapi, apa mereka sadar bahwa ngegosip itu juga merupakan
dosa?! Apa mereka tidak tahu kalau si korban gosip itu bahkan tertekan jiwanya
kayak memikul sembako sekian puluh ton?! Apa mereka tidak punya nurani untuk
melihat bagaimana sengsaranya si korban gosip itu?! Hah, dikiranya yang menderita
hanya korban PHK pabrik-buruh-kasar yang
pada akhirnya bisa makan nasi-tiwul?!
Kayak artis saja. Tiap hari digosipin.
Apalagi kalau bukan persoalan nama: E-Y-A-N-G?! Iyalah. Eyang Sastrowijoyo
sekian tahun ini tidak kalah pamornya sama selebritis. Tidak kalah gemerlapnya
dengan para bintang yang mukanya sering nongol di layar kaca. Tidak kalah
larisnya dibandingkan film Titanic yang kesohor itu. Paling tidak, nama Eyang
bisa disejajarkan sama ketenaran Kate Winslet!
Oke, oke. Berbalik dari kekesalan yang bikin
nyut-nyut kepala dan bikin senut-senut gigi saya, semua perihal nama itu ada
juga hikmahnya. Saya bisa jadi lebih sabaran. Tidak suka misuh-misuh kayak dulu
lagi. Mau marah-marah gimana? Apa harus nabok orang atau kenalan baru saya yang
mempersoalkan nama saya itu?! Atau, apa saya harus menuntut mereka ke
pengadilan lantaran bawa-bawa nama saya yang kedengaran aneh itu?! Apa saya
harus nyewa pengacara top OC Kaligis atau Adnan Buyung Nasution untuk menyeret
mereka ke bui?! Hihihi… apa kata dunia? Lelucon terbesar abad ini!
“Kak Eyang…!”
Kata Mama, nama Eyang sengaja dipilih di
antara nama-nama lain semisal Susi, Wati, Siti, de-el-el de-el-el. Karena nama
Eyang sudah diperhitungkan matang-matang. Diperhitungkan menurut primbon dan
kerabat-kerabatnya. Konon, untuk mendapatkan nama buat saya, Mama sampai mutih
selama seminggu. Ah, tauk-lah. Kalau Mama mutih, pastilah Papa ngitem.
Ya, itulah. Demi sebuah nama. Kata Mama lagi,
Eyang dipilihkan kepada saya supaya saya dapat menjadi eyang-eyang alias
nenek-nenek alias panjang umur. Supaya saya nantinya dapat beranak-pinak sampai
cicit.
“Kak Eyang…!”
“Oups…!”
“Ngelamunin siapa, sih?”
Cowok ceking itu menatap saya terpaku. Saya
tidak menyangka kalau pikiran saya bisa ngelencer jauh begitu.
“Ngelamunin pacar saya!” jawab saya, mencoba
menutupi kekikukan saya.
“Pasti special.”
“Martabak kali.”
Dia tertawa.
“Kak Eyang….”
“Apa?”
“Pacarnya ganteng, ya?”
“Kalau nggak ganteng mana saya mau?”
“Oya?”
“He-eh.”
“Asli?!” Dia mengacungkan jarinya
menggambarkan suer.
“Apa saya pernah bohong sama kamu?” balas
saya.
Dia menggeleng dengan lugunya. Saya tertawa,
nyaris ngakak. Dia menatap saya terheran-heran. Heh, tentu saja saya tidak
pernah berbohong kepadanya. Wong saya baru kenalan dengan dia pagi tadi, kok.
Meski dia ngaku sudah mengenal saya lama sebagai kakak kelasnya, tapi saya sendiri
kan tidak kenal sama dia. Memangnya Arjuna Arief Santoso yang sebenarnya
berembel-embel Raden itu seleb apa?!
“Kenapa ketawa, Kak Eyang?”
“Kamu lucu,” sahut saya agak kecentilan.
“Kamu bisa jadi pelawak.”
“Pelawak?”
“Yap. Seperti Tukul Arwana, Basuki, atau
Timbul.”
Saya sudah ngakak. Dia sama sekali tidak
tersinggung dengan tawa saya yang sebenarnya tidak sopan itu. Malah dia
menyembulkan senyum simpatik. Saya katakan simpatik karena, dia berusaha
menutupi giginya yang notaris (nongol tapi sebaris) itu. Paling tidak, dia
memahami etika ketawa yang baik. Tidak seperti saya yang, meski gadis dari
kalangan baik-baik, kalau ketawa kadang-kadang gulingan di lantai.
“Saya nggak suka mereka,” urainya setelah
meredakan tawa kecilnya.
“Lho, kenapa?” tanya saya dalam nada
bergurau. “Jelek-jelek gitu mereka tajir, lho?
Lihat, gimana larisnya mereka sebagai bintang iklan….”
“Kalau boleh memilih, saya lebih memilih Mr
Bean,” salibnya serius.
“Kenapa Mr Bean?”
“Nggak kenapa-kenapa. Cuma dia nggak sekadar
melucu.”
“Maksud kamu apa?”
“Dia nggak melucu tapi lucu.”
“Maksud kamu….”
“Kak Eyang lihat, Mr Bean itu lucu karena
keluguannya. Ketidaktahuannya. Bukan karena ketololannya, atau kebodohannya.
Kadang-kadang kita tertawa karena, sebenarnya kita menertawakan diri kita
sendiri.” Arjuna Arief Santoso itu bicara panjang-lebar berdiplomasi.
Huh-huh! Saya mulai sebel. Dia sok menggurui.
“Kadang-kadang, Kak Eyang, saya nggak ngerti
gimana jalan pikiran kita,” si Tiang Listrik berjalan itu mulai lagi dengan
kalimat-kalimat filosofinya. Pantas, sebelum berkenalan dengan dia, Rini, teman
sebangku saya di kelas, sempat membisiki saya kalau yang namanya Arjuna Arief
Santoso orangnya rada-rada ‘begini’, begitu katanya sembari memiringkan jari
telunjuk di jidatnya. “Setelah terpenuhi ini, ya mau itu. Setelah terpenuhi
itu, ya mau ini lagi. Manusia, ya kita-kita ini Kak Eyang, nggak ada
puas-puasnya. Dapat seratus mau seribu. Dapat sejuta mau semiliar. Begitu seterusnya.
Nggak ada habis-habisnya. Nggak ada putus-putusnya. Seperti kereta api yang
punya seabrek-abrek gerbong. Kalau keinginan atau cita-cita tersebut nggak
kesampaian, maka kita-kita pada ngamuk, ngambek, nangis, cengeng kayak balita.
Seharusnya kita belajar sama Mr Bean. Dia selalu, bukan selalu ya, tapi
mensyukuri apa yang diperolehnya. Dapat ini, ya dia bersyukur tanpa neko-neko.”
Saya jengkel, tapi sedikit terpikat untuk
menyanggah. “Tapi, memang manusia begitu kok. Punya naluri untuk berkembang.
Nggak cepat merasa puas. Kalau manusia cepat puas seperti Mr Bean gambaranmu
itu, berarti dia bukan manusia. Tapi malaikat.”
Dia menggeleng. “Manusia adalah manusia.
Malaikat adalah malaikat. Kalau manusia nggak punya rasa syukur, itu berarti
manusia nggak ada bedanya dengan mobil tanpa rem. Nah, Kak Eyang, bayangkan deh
kalau mobil itu nggak memiliki rem. Nabrak sana nabrak sini kalau nggak nyungsep
ke jurang.”
Saya terperangah. Sama sekali nggak menyangka
kalimatnya akan ‘mengena’ begitu. Iya, apa bedanya manusia macam begitu dengan
mobil tanpa rem?! Jujur, saya banyak melihat manusia jenis yang digambarkan
Arjuna. Bahkan, bagi saya, manusia-manusia jenis itu tidak ada bedanya dengan
kanibal. Pemakan manusia. Tidak salah kalau ada pepatah miris yang mengatakan
bahwa, ‘manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya’!
“Kak Eyang….”
“Eh, apa?” Saya belum berhasil menguasai
keterkejutan saya.
“Saya mau berterus terang sama Kak Eyang. Boleh?”
Dia menatap saya serius. Dengan sorot matanya yang ganjil.
“Boleh,” angguk saya.
“Saya mencintai Kak Eyang!”
Saya tiba-tiba pingin ketawa. Kalau bisa,
terbahak-bahak. Tapi itu tidak saya
lakukan. Sebab, dia, Arjuna Arief
Santoso, telah mengajari saya sesuatu tentang kejujuran.
“Saya sudah lama naksir Kak Eyang. Sejak hari
pertama MOS. Kak Eyang ingat, waktu itu Kak Eyang merupakan salah satu
panitia.”
Saya menelan ludah saya dengan susah payah.
Dari pingin tertawa tadi tiba-tiba menjadi pingin menangis.
“Kak Eyang nggak marah, kan?”
Saya menggeleng. Perlahan berdiri dan meninggalkan
dia duduk sendiri dengan wajah berharap-harap cemas. Hari ini saya telah
mendapat sebuah pelajaran yang sangat berharga tentang kejujuran. Salah satu
sisi putih hati manusia.
Boleh jadi Arjuna adalah orang sinting
seperti yang dikatakan Rini pada saya. Boleh jadi. Tapi bagi saya, keterusterangannya
kepada saya itu telah mewakili sifat bijak yang sudah jarang dimiliki oleh
orang-orang.
Saya tinggalkan Fashion Cafe dengan hati
baur. Arjuna menirus dalam pandangan saya. Dia bergabung dengan teman-teman
lainnya yang tengah menata dekorasi panggung untuk acara perpisahan sekolah
nanti malam. Wajahnya seperti bayi tanpa dosa.