![]() |
britaloka.com/Effendy Wongso |
Kiamat Memang Sudah Dekat
Oleh Dewi Lestari
britaloka.com - Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa
magis cenderung komikal, melibatkan naga berkepala tujuh atau jembatan dari
rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan intervensi pihak eksternal, yakni
Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang tak terduga.
Lalu,
jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi sebelah
utara, melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia,
menyusutkan populasi Amerika Serikat (AS) hingga separuh, merusak berat
Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia hingga enam meter,
menciutkan populasi Bumi sekurangnya 20 persen, lalu membiarkan sisanya
dicengkeram iklim ekstrem dan kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah
definisi hari kiamat?
Saya terusik ketika membaca buku Graham
Hancock, “Fingerprints of The Gods". Dengan bukti-bukti yang ia kompilasi
dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan Mesir, Hancock menemukan jejak
peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern hari ini, tapi hilang
sekitar 10 ribu tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang mengempaskan ras
manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa Bumi telah
beberapa kali mengalami “climate shift”.
***
Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap
hari kiamat. Mereka percaya lima siklus kehidupan (atau “matahari”) telah
terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock meyakininya sebagai
warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa matahari kelima (Tonatiuh),
yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir pada 23 Desember
2012 AD.
Sementara itu, peradaban Mesir Kuno
menghitung siklus axial Bumi terhadap ke-12 rasi bintang. Siklus yang totalnya
25.920 tahun ini bergeser teratur, masing-masing 2160 tahun untuk tiap rasi.
Posisi kita sekarang, rasi Pisces, telah menuju penghabisan, bertransisi ke
Aquarius dengan pergolakan dahsyat.
Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg
Braden dalam bukunya “Awakening to Zero Point” meninjau fenomena polar
shifting, yakni bertukarnya Kutub Utara dan Kutub Selatan yang ditandai melemahnya
intensitas medan magnet Bumi, tercatat sudah turun sebanyak 38 persen
dibandingkan 2000 tahun lalu, dan dipercaya akan sampai ke titik nol sekitar
tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14 kali terjadi dalam kurun waktu 4,5
juta tahun.
Di luar dari kontroversi saintifik soal teori
Hancock dan Braden, sukar untuk disangkal bahwa Bumi kita memang tak lagi sama.
Pada 1998 tercatat sebagai salah satu puncak perilaku alam yang luar biasa. El
Nino, disusul La Nina, lalu Tibet dan Afrika Selatan masing-masing mengalami
musim dingin dan banjir terburuk dalam 50 tahun terakhir. Memasuki 2005,
tsunami memporak-porandakan Asia, lalu Katrina menghantam AS. Entah apa lagi
yang akan kita hadapi.
Namun, pemahaman kita merangkak lamban
seperti siput dibandingkan alam yang bagai kuda mengamuk. Isu pemanasan global
membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para skeptis dan birokrat. Di
Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah harga BBM
melonjak, setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan
sampah dapur hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah
longsor dan memakan korban.
Selain upaya kalangan industri yang dirugikan
turunnya konsumsi energi fosil, lambannya respons kita juga disebabkan
perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga fenomena yang tersebar
acak, jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh. Dan tanpa sebuah model
analisis yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana katastrofik ini
hanya menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita dibanjiri data
dan gejala tanpa sebuah kerangka diagnosis.
Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun
stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit dikorelasikan dengan efek
panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika orang
beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman, tetapi terus
membuang sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari
pemanasan global, dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala
hari kiamat.
Ada tidaknya hubungan knalpot mobil kita
dengan cairnya es di kutub, bukankah kualitas udara yang baik berefek positif
bagi semua? Lupakan plang “Sayangilah Lingkungan”. Kita telah sampai pada era
tindakan nyata. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu
menunggu siapa-siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan waktu kita, demi
peradaban, demi yang kita cinta.
Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang
kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat. Tidak ada angkot lain yang
menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang baik akan memelihara
dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.